: Kepada M
Pada mula pertama adalah mimpi yang memasuki panggung tidurku
baiknya kuceritakan sebagai panduan menyampul lakon
belasan tahun umur pertemuan
Syahdan
Bagai dua angsa penuh luka
kita kembali bertemu di hutan tua
Dalam keletihan yang agung
tak kurang-kurang berbagi tawa
tak mau habis tukar cerita;
Kita menertawakan sepasang merpati di tepi kolam
Mendengar lolong anjing malang di dalam kawah
Menyaksikan kawanan domba yang haus kepayahan
Juga tangis anak kancil merengek minta pulang
Sedang seekor kuda dalam diriku letih
diburu, diburu, memburu
dukamu
Di hutan ini
kita bergumam tentang kota
Di mana Nietzsche dilahirkan?
Lalu merangkum tanya seorang Goethe;
Was Soll uns stets vereinen? Die lieb' Die lieb'
Betapa pun ingin kukatakan yang lebih dari sepenggal larik Goethe itu :
manipulasikan saja setumpuk bencanamu
pada setumpak punggung ini
sampai lukamu lekas mengablur.
Gema panggung kelak merubah jejak-langkah
menjadi cerita Tokabuka yang belum habis ditulis
mencarik kecup dan pelukan-pelukan kalis
juga kisah tentang bencana-bencana lain yang tak pernah terbaca
Tapi mungkinkah lukamu terkubur
atau malah jadi gema lain serupa lara?
Aku lupa pada keseimbangan diri yang pincang,
Baiknya aku berdiri saja
sehasta lebih depan dari semua mata
menjaga tirai dari kemungkinan riuh
penonton
menjadi kameo yang tak ikut masuk ke dalam lakon utama;
sebagai aktor pengganti yang sesekali engkau panggil saat dibutuhkan
Itu akan berdaya mengisi cerita Tokabuka
dan epilognya akan tersusun lebih anggun dari sekadar kata-kata.
Bagai dua angsa penuh luka
Mencari arah kepulangan di rantau mana
Tersesat di belukar panggungmu
tergerai juga panggungku
Ai
Keseimbanganku memang pincang
dan siaga di bawah panggung
sedia melengkapi cerita Tokabuka
Berjaga bilamana naskahmu rumpang
aku masih menyimpan salinan ceritanya
Sila panggil saat kau butuh.
Bogor, 25 Agustus 2023