oranment
play icon
Komedi Betawi "Putri Nyasar": Dijodohkan ala-ala Paternalisme
Resensi
Kutipan Resensi Komedi Betawi "Putri Nyasar": Dijodohkan ala-ala Paternalisme
Karya anisasetiani
Baca selengkapnya di Penakota.id

"Masih aja dijodohin, emangnya ini jaman Sitti Nurbaya."


 


~


 


Mengingat Sitti Nurbaya dalam novel karangan Marah Rusli, tentu akan terngiang-ngiang komentar di atas. Nasib Sitti Nurbaya bagi masyarakat kita erat berkaitan dengan “dijodohkan.” Padahal, jika ditelaah dan cermati, Sitti Nurbaya ini tidak dijodohkan, melainkan “terpaksa berjodoh” dengan Daruk Meringgih. Sayangnya, sebagian besar masyarakat kita lebih mengaitkan Sitti Nurbaya dengan perjodohan semacam itu. Lebih kompleksnya lagi, Sitti Nurbaya dijadikan simbol sebuah tradisi atau budaya.


 


Cerita Sitti Nurbaya memang sudah lama berlalu, tetapi ungkapan “dijodoh-jodohkan” tidak akan pernah lekang dimakan waktu. Bahkan, hal itu masih saja berlaku di era modern seperti saat ini. Bahkan, ketika teknologi mutakhir mampu mempertemukan jodoh, ketika banyaknya aplikasi untuk mencari jodoh mulai menunjukkan keberhasilannya, ungkapan “dijodoh-jodohkan” masih sangat sering kita dengar. Terlebih lagi, jika ada salah seorang teman yang belum menemukan jodoh di usianya yang ke-30 kemudian orang tuanya bertindak sebagai biro jodoh. 


 


Berbicara masalah orang tua yang menjadi biro jodoh anaknya, kita akan teringat dengan paham paternalisme. Paham ini dicetuskan oleh ahli sosiologi bernama Michael Banton dalam Racial Theories (1987). Paternalisme atau paternalistis sendiri berarti pola hubungan antarmasyarakat yang mana kelompok masyakarat pendatang memegang dominasi atas kelompok masyarakat lainnya. Dengan adanya paternalisme ini, pasti akan ada pemimpin sebagai atasan dan yang dipimpin sebagai bawahan. Di dalam psikologi, pasternalisme artinya sikap memperlakukan orang dewasa seperti anak kecil dengan membatasi kebebasan dirinya dalam mengambil keputusan.


 


Putri Nyasar: Cerita Cinta yang Klasik


 


Begitu pula yang terjadi di dalam sistem jodoh-menjodohkan yang dilakukan oleh orang tua kita. Hal itu pula yang menjadi daya tarik tersendiri di dalam Komedi Betawi berjudul Putri Nyasar. Saya menyaksikan komedi ini pada 22 JUni 2019 dalam rangka menyelesaikan tugas kuliah. Kemudian, saya pikir akan cocok juga jika saya tuangkan ke dalam opini sederhana dan dibaca orang lain. Komedi Betawi yang dibesut oleh Syaiful Amri ini ditampilkan di Setu Babakan pada perayaan ulang tahun Jakarta yang ke-492 tahun.


 


Secara garis besar, Putri Nyasar berkisah tentang pelarian putri kerajaan karena ini dijodohkan dengan putra kerajaan lain. Kemudian, ia bertemu dengan seorang tukang tambal ban. Keduanya saling jatuh cinta. Namun, siapa sangka ternyata tukang tambal ban ini adalah putra kerajaan yang juga kabur. Akhirnya, bisa ditebak bahwa keduanya menikah dan bahagia. Hebatnya, di dalam cerita Putri Nyasar yang dijodohkan dengan putri kerajaan yaitu tukang tambal ban memang sudah ditakdirkan menjadi jodohnya. Cerita akan berbeda dan konflik tentunya bermunculan jika putra kerajaan tadi bukanlah jodoh putri kerajaan.


 


Paternalisme yang Harus Dipatuhi


 


Hal ini sesuai dengan pendapat Joel dalam Harm to Self (1986) yang menyatakan bahwa paternalisme yang dilakukan terhadap orang dewasa sekalipun artinya mereka masih dianggap anak-anak. Paham yang seperti inilah yang masih dipegang teguh oleh masyakarat kita. Sebagai anak yang baik dan patuh tentunya kita tidak bisa menolak permintaan mahaagung tersebut. Namun, jika yang diminta adalah hal yang paling penting dalam hidup kita, harus dipikirkan dua kali.


 


Masalah jodoh, dari sudut pandang orang tua, adalah hal penting bagi anaknya. Untuk itulah, mereka tidak mau jika anaknya salah pilih pasangan hidup. Bagi mereka, tugas mereka adalah mencarikan pasangan untuk anaknya. Hal itu tidak boleh ditentang sekalipun oleh anaknya. Maka dari itu, pemikiran seperti itulah yang merupakan paternalisme dalam lingkup paling sederhana.


 


Namun, di satu sisi, tentunya anak tidak ingin masalah pasangan hidup dicampuri oleh orang tuanya. Sebisa mungkin, mereka akan menolak dengan cara yang halus. Jika dengan cara halus pun tidak bisa, mau tidak mau dengan cara yang ekstrem seperti kawin lari atau bahkan kabur seperti yang ada di komedi Betawi Putri Nyasar. Sayangnya, terkadang pelarian dari perjodohan orang tua oleh sebagian masyarakat kita dianggap sebagai ketidakpatuhan anak.


 


Terlepas dari itu semua, sebenarnya, masalah perjodohan yang dialami dalam cerita Putri Nyasar adalah perihal paternalisme yang masih menguat di masyarakat kita. Paternalisme antara orang tua dan anak ini memang sulit sekali dilepaskan. Bahkan kala anak sudah tumbuh dewasa dan mencoba mencari jalan hidup yang diingininya, orang tua kerapkali turut andil. Bagi mereka, anak tetaplah anak yang masih kecil dan membutuhkan pelindung. Padahal, anak merasa sudah cukup dewasa untuk mencari pasangan hidupnya sendiri tanpa perlu dijodoh-jodohkan. Pemikiran seperti inilah yang merupakan bentuk budaya paternalisme yang merambah ke lingkup jodoh sekalipun.


 


Jadi, nikmati sajalah ungkapan "masih aja dijodohin, emangnya ini jaman Sitti Nurbaya" selagi kita masih bisa mendengarnya.

calendar
08 Sep 2019 18:10
view
319
wisataliterasi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Indonesia
idle liked
7 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
close
instagram
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
close
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh:
example ig