Kata Samsudin
Cerpen
Kutipan Cerpen Kata Samsudin
Karya apparecium
Baca selengkapnya di Penakota.id
Langkahnya berat, seberat beban yang sudah ia pikul selama bertahun-tahun. Tanggung jawab yang sangat besar itu selalu membuatnya tidak ingin mati. Karena jika ia mati, tidak akan yang sanggup memikul tanggung jawab yang ia pikul selama ini.

Namanya Samsudin, seorang lelaki tua yang terlihat muda. Senyum selalu terukir dari bibirnya, semangat selalu berkobar dalam dirinya. Matanya bulat, sorot matanya tajam. Rahangnya tegap, wajahnya pun belum terlihat berkeriput. Giginya masih sempurna, belum ada yang tanggal, sebagaimana seharusnya gigi seorang lelaki tua. Tidak pernah ada yang menyangka Samsudin memikul beban yang sangat berat. Karena hidupnya sangat terlihat sempurna. Tidak pernah memiliki konflik apa pun dengan siapa pun. Hidup yang sempurna, yang selalu didambakan orang lain.

“Kata Samsudin, hidup itu harus dilalui dengan senyuman,” ucap seorang buruh yang sedang bekerja. ia mencoba memberikan semangat kepada rekannya yang sudah tidak semangat hidup. Katanya, upah yang ia terima tidak cukup untuk kebutuhan hidupnya, istrinya meminta bercerai saja karena membeli sabun untuk mencuci pakaian dalam pun sangat sulit, upah suaminya hanya cukup untuk makan saja.

Buruh yang putus asa itu bernama Amir, masih muda dan seharusnya masih penuh semangat. Tapi ini kebalikannya, ia malah kehilangan semangat di masa mudanya. “Persetan dengan si Samsudin! Aku bahkan tak mengenalinya.” Amir tidak menghiraukan perkataan temannya.

“Karena kau tak kenal Samsudin, maka kau berani mengatakan hal itu. Jika saja kau tahu Samsudin, kau pasti memohon ingin menjadi Samsudin, dan ingin mendengar perkataan emas Samsudin.” Buruh itu tetap meyakinkan Amir bahwa Samsudin adalah orang yang bisa dijadikan motivator.

Amir mengernyitkan keningnya. “Memang siapa Samsudin? Buruh yang kau kenal di tempat ini juga?” Amir terlihat sudah sedikit tertarik pada Samsudin.

“Namanya Samsudin, seorang lelaki tua yang terlihat muda. Senyum selalu terukir dari bibirnya, semangat selalu berkobar dalam dirinya. Matanya bulat, sorot matanya tajam. Rahangnya tegap, wajahnya pun belum terlihat berkeriput. Giginya masih sempurna, belum ada yang tanggal, sebagaimana seharusnya gigi seorang lelaki tua. Samsudin tidak pernah mempunyai beban yang sangat berat. Karena hidupnya sangatlah terlihat sempurna. Tidak pernah memiliki konflik apapun dengan siapapun. Hidup yang sempurna, yang selalu didambakan orang lain.” Buruh itu bercerita dengan sangat khidmat.

Amir hanya mendengarkan dengan baik, ia tidak percaya. Mana mungkin ada seseorang yang tidak memiliki beban dalam hidupnya? Memangnya ia selalu mempunyai banyak uang? Tidak pernah kekurangan makanan? Selalu ada yang melayani birahinya? Tidak pernah dimarahi atasan? Mustahil sekali jika Samsudin memang seperti itu.

“Lalu, Samsudin pernah menolongmu apa?” Amir bertanya pada buruh itu.

Buruh itu lalu melirik Amir. Ia tertawa. “Aduh, Mir! Memangnya karena siapa aku bisa menjadi seorang buruh seperti sekarang? Tentu saja karena Samsudin.”

“Samsudin melakukan apa?” Amir bertanya lagi.

Buruh itu lalu memperbaiki duduknya, ia mencari tempat yang lebih nyaman. Lalu mengajak Amir duduk di sebelahnya. “Sini, biar kuceritakan tentang Samsudin.”

Amir mengikuti buruh itu, ia duduk di sampingnya. Menunggu buruh itu berbicara, bercerita tentang Samsudin. “Cepat ceritakan, apa jasa si Samsudin itu?”

“Begini,” ucap buruh itu. Ia menarik napasnya terlebih dahulu. “Samsudin adalah orang yang menyarankanku menjadi seorang buruh seperti sekarang. Dulu, aku sepertimu. Seorang pemuda yang penuh dengan rasa putus asa. Bedanya, aku tidak memiliki seorang istri untuk dipertanggungjawabkan. Tapi tetap saja, aku harus bertanggung jawab atas hidupku sendiri.”

“Lalu? Lanjutkan!” Amir menyuruh buruh itu agar terus bercerita.

Buruh itu lalu tersenyum, “Sepertinya kau sudah mulai tertarik, ya?” ledeknya. “Oke, kita lanjutkan. Aku sempat tidak ingin hidup, aku bahkan hampir mati bunuh diri karena tidak ada orang yang mempercayaiku. Aku lari ke sungai yang dekat dengan pabrik ini. Di belakang sana,” buruh itu lalu menunjuk ke arah belakang pabrik.

“Lalu? Kapan peran si Samsudinnya?” Amir semakin tidak sabar.

“Saat aku hampir saja menyelesaikan hidup yang penuh penderitaan ini, tiba-tiba tanganku dipegang oleh seseorang. Dan orang itu adalah Samsudin. Senyum terukir dari bibirnya, semangat seakan berkobar dalam dirinya. Matanya bulat, sorot matanya tajam. Rahangnya tegap, wajahnya pun belum terlihat berkeriput. Giginya masih sempurna, belum ada yang tanggal, sebagaimana seharusnya gigi seorang lelaki tua. Aku langsung tahu, bahwa Samsudin adalah malaikat penyelamatku.”

“Lalu Samsudin menyuruhmu bekerja di sini? Hanya begitu?” Amir memotong perkataan buruh tadi. Ia sudah bosan mendengar kata Samsudin.

Buruh itu lalu tersenyum. “Tidak, Samsudin hanya menyuruhku tersenyum. Kata Samsudin, hidup kadang harus ditertawakan.”

“Dan kau, merasa baikkan karena hal itu?”

“Tentu saja!” buruh itu menjawab dengan penuh semangat. “Samsudin adalah seorang yang sangat hebat. Harus ada yang tahu bagaimana kata Samsudin, dan kau! Anak muda yang penuh dengan keputusasaan, coba dengarkan kata Samsudin. Tertawakan saja hidup ini.”

Buruh itu lalu meninggalkan Amir. Amir masih tidak mengerti, apa pengaruhnya kata Samsudin pada kehidupan si buruh itu? Hanya menyuruh menertawakan hidup saja, bukan? Apakah benar hidupnya langsung berubah? Rasa putus asanya langsung menghilang? Wah, hebat jika iya.

Matahari terasa sangat terik. Suara beberapa buruh yang sedang istirahat sangat mengganggu pendengaran Amir. Belum lagi cerita tentang Samsudin yang ia dengar tadi. Amir masih terus bertanya-tanya siapa si Samsudin itu. Benarkah jasanya sebesar itu? Benarkah ia bisa mengubah pandangan hidup seseorang? Ah, sial! Dasar Samsudin sialan, membuat Amir merasa pusing sekali saat ini.

Amir lalu memutuskan untuk kembali bekerja saja, malas juga bermalas-malasan dengan para buruh pemalas. Walaupun memang sekarang adalah jam istirahat, tapi tidak maslah, kan, jika bekerja saja? Yang untung juga kan diri sendiri.

Pekerjaan-pekerjaan yang harus Amir selesaikan hari ini akhirnya sudah selesai juga. Matahari pun sudah beristirahat, begitu pula seharusnya Amir. Ia memutuskan untuk pulang karena ia tidak mengambil sif malam.

Di luar pabrik, banyak sekali gerombolan-gerombolan orang yang berjajar di belakang pabrik. Amir tidak terlalu menghiraukannya, ia tidak suka dengan keramaian, lebih baik pulang dan menemui istri tercintanya yang mengancam ingin bercerai jika Amir masih belum bisa membelikan sabun untuk mencuci pakaian dalam.

“Amir, kau mau ke mana?” seorang buruh yang ia kenal menepuk bahunya.

“Pulang, sudah malam,” Amir menjawab dengan singkat.

“Kau tidak ingin melihat korban yang bunuh diri itu? Ya sudah, aku duluan,” ucap buruh itu dengan terburu-buru.

Kecelakaan malah ditonton, bukan ditangani. Penyakit.

Amir lalu merasa sedikit penasaran karena teringat pada cerita si buruh tadi, ia bilang ia pernah ingin bunuh diri di sana. Amir lalu melangkahkan kakinya, ia berjalan dengan cepat dan menerobos orang-orang itu. “Siapa yang bunuh diri?” tanya Amir.

“Samsudin.”

Amir merasa kakinya lemas, Samsudin? Orang yang selama ini ia pikirkan malah mati bunuh diri. Katanya Samsudin itu tidak memiliki beban, ada-ada saja.

Karena penasaran, Amir lalu melihat mayat korban, betapa terkejutnya Amir, ternyata Samsudin adalah buruh yang bercerita tadi. Ia baru sadar, ciri-ciri Samsudin yang diceritakan buruh tadi memang sangat mirip dengan dirinya sendiri.

“Ia sudah lama mengarang cerita ini, akhirnya terwujud juga keinginannya.” Seorang buruh berbisik pada temannya.

“Ya, benar. Sepertinya ia sudah sangat bosan menceritakan cerita ‘Kata Samsudin’ ke semua buruh. Jadi ia putus asa.”

“Hahaha, dasar si Samsudin ini.”

Lalu, cerita ‘Kata Samsudin’ pun mati di kalangan buruh itu. Bersamaan dengan matinya Samsudin. Namun, cerita itu tidak akan pernah mati di dunia lain. Karena aku, pendengar terakhir cerita ‘Kata Samsudin’ telah berhasil menyampaikannya pada masyarakat umum. Bukan hanya buruh.
28 May 2018 13:11
160
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: