Astari
Cerpen
Kutipan Cerpen Astari
Karya apparecium
Baca selengkapnya di Penakota.id
"Aku masih ingin sekolah, Mak." Astari menundukkan wajahnya.

Mak masih saja mengoceh. Mak kesal karena Astari tidak pernah membantunya bekerja, Astari terlalu sibuk dengan sekolahnya. Padahal, Astari sudah nunggak uang sekolah selama tiga bulan.

"Sekolah itu harus pakai duit, memang kau punya?" tanya Mak ketus.

Astari hanya diam. Memang ia tidak memiliki biaya yang cukup untuk melanjutkan sekolahnya. Untuk lulus Sekolah Dasar saja sudah sangat sulit, apalagi untuk SMP, SMA, mimpi-mimpi masuk perguruan tinggi dan menjadi sarjana.

Mak menarik napas panjang. "Dengarkan Mak, Astari. Kau ini perempuan, yang terpenting kau bisa memasak dan mengurus rumah. Sesudah menikah nanti kau tak akan ditanya mengenai pelajaran-pelajaran yang kau pelajari di sekolah."

"Tapi Astari ingin sekolah, Mak."

"Silakan, urus sendiri biayanya. Kau tahu sendiri bagaimana keadaan ekonomi keluarga kita." Mak mengatur napasnya. Lalu melangkahkan kaki keluar, masih banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan di ladang.

Astari masih menundukkan kepalanya, ia sangat ingin melanjutkan sekolahnya. Jika tidak sampai perguruan tinggi, setidaknya ia tamat SMA saja. Tapi, Mak terus saja menyuruhnya putus sekolah. Anak gadis di desa pun kebanyakan hanya sekolah sampai SD, itu pun banyak yang tidak tamat. Selalu seperti itu yang diucapkan Mak.

Astari mengambil tasnya, ia memakai sepatu untuk menuju sekolah, bagaimana pun juga ia harus sekolah. Untuk biaya sekolah, ia yakin pasti ada rezekinya, walaupun entah kapan rezeki itu datang.

Udara di sekolah adalah udara terindah yang pernah dihirup oleh Astari. Hatinya selalu terpaut ke tempat ini, baginya sekolah adalah surga. Ia bisa melihat masa depannya yang bercahaya melalui gedung ini, ia bisa melihat Maknya tidak akan kelelahan lagi bekerja di ladang. Ia bisa melihat segala yang ia inginkan di sini. Maka sangat sulit bagi Astari untuk melepaskan pendidikannya begitu saja. Ia masih ingin sekolah, bahkan setinggi mungkin.

"Astari, dipanggil Bu Sari," seru Tika, temannya.

Astari mengangguk.

Rasanya sangat berat untuk melangkahkan kaki ke ruangan Bu Sari, Kamboja tahu ia pasti akan ditanya mengenai pembayaran SPP yang sudah telat beberapa bulan. "Mudahkan, Gusti Allah," batinnya.

"Permisi, Bu," ucap Astari seramah mungkin. Ia melangkahkan kaki mendekati meja Bu Sari.

"Duduklah dulu," perintah Bu Sari.

Astari duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Bu Sari. Jantungnya berdegup kencang, ia sangat takut apabila Bu Sari mengeluarkannya karena SPP yang tidak sanggup ia bayar. Sekolahnya ada sekolah swasta, bayaran bulanan ini pasti sangat berpengaruh pada gaji setiap guru, jika Astari terus saja menunggak pastinya Kamboja bisa segera dikeluarkan dari sekolah.

"Kau pasti tahu alasan ibu memanggilmu, kan?" tanya Bu Sari dengan nada bicara yang terdengar ramah.

"Maafkan saya, Bu. Nanti saya bicarakan dengan ibu saya." Astari berbicara seakan dari mulutnya hanya pantas kalimat itu saja yang keluar.

"Ibumu kerja apa, Nak?" tanya Bu Sari dengan hati-hati. Bu Sari sepertinya takut kalau-kalau menyinggung hati Astari.

"Berkebun, Bu. Tapi bukan di ladang sendiri," jawab Astari.

"Ayah?" tanya Bu Sari lagi.

Astari mengangkat wajahnya, kesedihan tersirat dari wajah manisnya. Astari menggelengkan kepala. Bu Sari langsung mengerti arti dari gelengan kepala Kamboja. Ia juga merasa sedikit tidak enak sekarang, Astari adalah anak yang cukup pintar, ia selalu langganan juara kelas.

Bu Sari menarik napas panjang, ia mengusap bahu Astari. "Baiklah, biar kita bicarakan ini lain waktu saja. Sekolah yang giat, jika ibumu sudah ada uang segera temui ibu," jelas Bu Sari dengan nada yang tetap ramah.

Astari mengangguk lalu berpamitan pada Bu Sari. Walaupun Bu Sari tidak mengeluarkannya, jantung Astari masih tetap berdegup kencang. Bagaimana pun biaya sekolah pasti harus dibayar. Bu Sari memang baik, tapi siapa yang tahu jika sewaktu-waktu Bu Sari memutuskan untuk mengeluarkan Astari dari sekolah.

Di rumah, Mak sudah duduk dengan badan yang penuh oleh keringat, tidak seperti biasanya Mak sudah pulang sebelum hari gelap.

"Mak sudah pulang?" tanya Astari. Lalu mencium tangan Mak.

"Belum, Mak lupa membawa bekal jadi pulang sebentar untuk makan siang."

"Nanti Astari ikut ke ladang, Mak. Agar pekerjaannya cepat selesai," ucap Astari.

"Harusnya kau bantu Mak dari pagi. Memangnya kau belum dikeluarkan dari sekolah?"

Hati Astari terasa sesak. Ucapan Mak sangat menohok. "Astari akan sekolah sampai sarjana, Mak." Astari berkata dengan yakin, walaupun hatinya masih merasa sakit, dan otaknya masih berpikir bagaimana caranya mendapatkan biaya untuk sekolah sampai sarjana.

"Terserah, cepatlah ganti pakaian. Kita ke ladang." Mak berdiri. Lalu berjalan dengan sebotol air di tangan kanannya. Astari hanya memerhatikan punggung Mak yang semakin lama semakin menjauh, dan menghilang.

Astari melepaskan tatapannya. Ia pergi ke kamar dan berganti pakaian, hari ini Astari harus lebih giat membantu Mak bekerja agar Mak mendapat gaji yang baik. Astari harus membayar uang sekolahnya.

Astari berjalan penuh semangat, wajahnya yang manis terlihat semakin manis saat terkena sinar matahari. Dari jauh Mak memandang Astari, sakit hati Mak melihat anak semata wayangnya yang ingin terus bersekolah tapi tak Mak tak sanggup membayar biayanya.

Saat sampai di ladang, Astari langsung saja membantu Mak memanen jagung-jagung milik juragan. "Kalau panennya bagus juragan akan memberi gaji lebih, Mak?" tanya Astari dengan hati-hati. Tangannya masih memetik jagung.

"Kerja saja. Kalau juragan ngasih lebih pun tak akan Mak bayarkan untuk biaya sekolahmu."

Lagi-lagi hati Astari terasa sesak. Ucapan Mak akhir-akhir ini selalu seperti itu. Semenjak Mak datang ke sekolah dan menemui Bu Sari untuk membayar uang SPP, Mak jadi sering marah saat Astari membahas tentang sekolah. Entah apa yang Bu Sari ucapkan pada Mak, tapi pastinya kalimat itu sedikit melukai perasaan Mak.

"Kau berhenti sekolah saja, Astari. Kau belajar masak saja yang baik, mengurus rumah, dan semua pekerjaan seorang wanita. Bukan terus memikirkan sekolahmu itu."

Astari diam. Seolah ia tidak mendengar Mak berucap.

Mak mengambil jagung yang sudah Astari petik, cukup banyak. Sepertinya panen kali ini Mak akan mendapatkan gaji lebih. Tapi walau pun Mak mendapat gaji lebih, ia sudah bertekad tidak akan membayarkan uangnya untuk pelunasan biaya sekolah Astari. Mak terlanjur tidak suka pada Bu Sari.

Sepulang dari ladang Astari langsung membersihkan badannya. Mak pun begitu. Suasana malam di kampung mereka sangat sepi, benar-benar sepi. Hanya ada suara jangkrik yang bersahutan.

Selesai mandi, Mak langsung memasuki kamarnya, begitu pula Astari. Mereka mungkin saling tidak menganggap keberadaan masing-masing. Astari masih kesal karena Mak tidak mau melunasi biaya sekolahnya. Sedangkan Mak, ia juga masih kesal karena Astari memaksa untuk sekolah. Kekesalan mereka akhirnya mereka bawa sampai ke alam mimpi.

Pagi-pagi sekali Astari sudah siap, ia berangkat ke sekolah sebelum Mak bangun. Karena kalau sampai Mak bangun, ia pasti melarang Astari untuk berangkat sekolah seperti biasanya. Sepanjang perjalanan Astari terus merangkai kata-kata untuk berterus terang pada Bu Sari, bagaimana pun juga Astari harus sekolah, tidak mungkin ia harus berhenti padahal sudah sampai puncaknya, Astari sudah kelas enam.

Setelah selesai pelajaran pertama Astari langsung menemui Bu Sari di ruang administrasi, Bu Sari memang guru yang menangani bagian administrasi saja. Usianya pun sudah tidak muda lagi, kalau dibandingkan dengan Mak, Bu Sari terlihat lebih tua dari Mak, hanya saja tampilannya begitu bugar, mungkin karena Bu Sari tidak pernah kelelahan bekerja di ladang seperti Mak.

"Permisi, Bu," ucap Astari sopan. Ia berjalan menuju meja Bu Sari.

"Masuk, Nak."

Astari duduk. Astari menarik napas panjang, mempersiapkan diri untuk mengatakan hal yang sangat buruk baginya, dan mempersiapkan diri untuk mendengar dirinya akan dikeluarkan dari sekolah. "Mak saya tidak sanggup membayar uang sekolah, Bu," ucap Astari.

Bu Sari mengusap bahu Astari. "Lalu bagaimana?"

"Saya masih ingin sekolah, Bu."

Bu Sari tersenyum mendengar ucapan Astari. Ia melihat semangat yang sangat hebat di diri Astari. "Teruslah bersekolah, untuk biaya sampai lulus biar ibu yang selesaikan."

Astari mengangkat wajahnya, sangat jelas wajahnya menampilkan kebahagiaan dan kebingungan. "Ibu benar-benar akan membiayai saya?" tanya Astari untuk memastikan.

Bu Sari mengangguk sambil tersenyum.

"Terima kasih, Bu. Terima kasih. Sebagai gantinya saya harus melakukan apa?"

"Belajarlah yang giat."

"Saya janji akan belajar dengan giat, Bu. Tapi, apakah ibu membutuhkan seorang pekerja di rumah? Saya bisa membantu Ibu," tawar Astari.

Bu Sari tersenyum lagi. Ia sudah menyangka Astari akan berbicara seperti itu. Ia sudah tahu Astari pasti menawarkan dirinya untuk bekerja pada Bu Sari.

"Baiklah kalau begitu, datang saja ke rumah saya setiap hari minggu, ya!"

Astari mengangguk.

Sepulang sekolah, seperti biasa, Astari pergi ke ladang untuk membantu Mak. Hari ini ia tidak perlu repot membujuk Mak untuk menyisihkan gajinya. Toh, biaya untuk sekolah SD sudah ditanggung oleh Bu Sari. Astari tidak dapat menyembunyikan kebahagiaannya, selama bekerja ia tak henti-hentinya tersenyum. Membayangkan ia akan ujian, lalu lulus. Ia juga membayangkan akan masuk SMP negeri, walaupun jaraknya agak jauh, tapi itu satu-satunya cara agar Astari terbebas dari biaya sekolah. Mungkin ia hanya perlu memikirkan membeli seragam dan buku saja.

Hingga malam hari Astari masih saja senyum-senyum sendiri, Mak yang melihatnya merasa tidak nyaman. "Bisa stroke kau lama-lama tersenyum terus seperti itu," ucap Mak ketus.

Astari tidak menganggapnya, Astari malah semakin tersenyum. Ia merasa bangga, ia akan segera membuktikan kepada Mak ia akan lulus sekolah dan menjadi sarjana.

"Mak, besok Astari tidak ikut ke ladang, ya."

Mak langsung melihat ke arah Astari. "Kenapa?"

"Astari ada kerjaan, Mak. Lumayan, untuk biaya sekolah," jawab Astari masih dengan senyuman.

"Terserah kau saja." Mak merasa sedikit tenang, Astari sudah tidak terlalu fokus pada sekolahnya. Baguslah ia mulai menyukai pekerjaan, pasti ia akan mencuci piring atau menyetrika di rumah orang.

Astari tidak bisa menahan bahagianya, ia ingin segera besok dan bekerja di rumah Bu Sari. Bu Sari seperti malaikat penyelamat hidupnya. Ternyata pengurus administrasi sekolah sangatlah baik.

Keesokan harinya, Astari sudah rapi sekali dengan pakaian yang menurutnya paling sopan. Astari mencari Mak, hendak berpamitan. Tapi ternyata Mak sudah pergi ke ladang. "Mak sepetinya sedang bersemangat sepertiku." Astari tersenyum.

Dari jauh sudah terlihat rumah Bu Sari, tidak terlalu besar namun terlihat seperti sangat menyenangkan. Astari sangat bahagia melihatnya.

"Permisi...." Astari mengetuk pintu. Tidak lama kemudian Bu Sari keluar dan mempersilakan Astari masuk.

Astari merasa tidak enak Bu Sari memperlakukannya terlalu sopan. Astari langsung menanyakan tugas pertamanya. "Apa yang harus saya kerjakan, Bu? Saya bisa mencuci dengan bersih kok, Bu, tenang saja," ucap Astari dengan bahagia. Astari masih tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.

"Memang benar kata guru-guru. Kau anak yang rajin." Bu Sari menyentuh rambut Astari dengan penuh kasih sayang.

"Tidak juga, Bu," jawab Astari dengan malu.

"Kau tunggu dulu saja di sini, kerjanya nanti saja. Istirahat dulu saja. Nanti Ibu ajak kau ke tempat kau harus mengerjakan sesuatu."

"Baik,Bu!" jawab Astari dengan semangat.

Tak sabar hatinya untuk segera bekerja. Astari sangat ingin membantu malaikatnya, Bu Sari sudah menyelamatkan pendidikannya.

Di ladang Mak bekerja dengan tidak fokus. Bayangan Astari yang merengek ingin sekolah sangat mengganggu Mak. Hatinya teriris jika mengingat semangat Astari. Tapi, Mak tidak mampu membayar sekolah Astari. Mak tanpa sadar terbawa ke masa lalunya, saat Mak seperti Astari, tapi masa depannya harus gagal, lagi-lagi karena biaya.

Mak juga merasa sakit hati terlebih saat melihat Bu Sari. Bu Sari adalah penjaga administrasi yang merusak masa depan Mak. Mak tidak menyangka sekarang anaknya juga harus berhadapan dengan Bu Sari. Tiba-tiba Mak mengingat Astari, katanya Astari akan bekerja.

"Astari... lindungi Astari, Gusti." Mak berucap sambil berjalan dengan cepat. Pikirannya tak karuan memikirkan Astari.

Mak teringat masa lalunya, Mak teringat Bu Sari. Setiap langkah Mak menuju rumah Bu Sari seolah semakin mengantarkan Mak ke masa lalunya.

"Wati, kau siap bekerja, kan?" Bu Sari bertanya pada Mak kecil.

Wati hanya mengangguk. Ia tidak sabar ingin segera bekerja untuk malaikat penyelamatnya.

Bu Sari tampak rapi sekali, ia juga sangat wangi. Wati semakin kagum pada Bu Sari. Bu Sari mengajaknya pergi dengan menggunakan motor yang Bu Sari miliki. Saat itu sangat jarang orang yang memiliki motor. Bu Sari termasuk orang yang cukup kaya, Wati sendiri tak mengerti kenapa Bu Sari mau bekerja di bagian administrasi sekolah.

Bu Sari membawanya ke tempat yang ramai. Banyak sekali pasangan di tempat itu. Wati kurang nyaman. Bu Sari lalu mengajak Wati ke sebuah ruangan kecil untuk bertemu beberapa orang pria. "Nih, kubawakan yang masih segar." Bu Sari berucap sembari tertawa dan tangannya merangkul Wati.

Wati tidak mengerti. "Bu, apakah saya harus mencuci piring di sini?" tanya Wati dengan hati-hati.

Semua yang ada di sana tertawa mendengar ucapan Wati.

"Benar-benar polos. Saya suka," ucap seorang lelaki yang mengenakan kemeja gading.

Bu Sari pun ikut tertawa.

"Kau bekerja di sini, ikuti saja perintah teman Ibu, Ibu tinggal dulu sebentar, ya."

Wati merasa tidak nyaman. Ia menggelengkan kepalanya. "Saya ingin bekerja pada Ibu."

"Ibu ada urusan sebentar, tunggu."

Wati duduk menurut saja. Malaikatnya tidak mungkin membahayakannya.

Seorang lelaki lalu mendekatinya, mencolek pipi Wati, lalu tertawa. Di ruangan itu ada beberapa lelaki, Wati tidak sempat menghitungnya karena hatinya masih tak karuan.

Semakin banyak lelaki yang merayunya, Wati menangis kecil, para lelaki itu malah tertawa dan semakin menjadi-menjadi. Wati berteriak namun tak ada yang mendengarnya. Bu Sari pun tidak kunjung kembali. Wati menangis hingga lelah, para lelaki itu pun terus menjamahnya, hingga akhirnya Wati tidak sadar bahwa ia tertidur kelelahan. Paginya ia melihat tubuhnya yang polos sudah benar-benar polos, tanpa adanya balutan kain sehelai pun. Wati menangis, mencari pakaiannya dan buru-buru menutupi tubuhnya.

Wati terus menangis dan tak lama kemudian Bu Sari datang, Wati menghampirinya, ia menghujat Bu Sari. Bu Sari hanya tersenyum. Wati tidak bisa melakukan apa pun selain menangis.

"Saya ingin menjadi sarjana, Bu." Kalimat itu terus terlontar dari bibirnya.

"Makanya kau harus kerja!" Bu Sari menjawab dengan ketus.

Wati masih terus menangis. Kalimat itu terus keluar dari mulutnya.

Rumah Bu Sari membuyarkan bayangan Mak pada masa kelamnya. Masa lalu yang memaksa Mak harus putus sekolah dan berbohong pada Astari bahwa ayahnya meninggal dunia. Mak terpaksa karena Mak tak tahu di antara lelaki saat itu yang mana ayah Astari.

Mak mengetuk pintu dengan kencang, tapi tak ada yang menjawabnya. Mak tahu, ia sudah terlambat.

Di tempat lain, Astari sedang bergembira. Ia sudah tak sabar akan mencuci piring di tempat yang ramai, pasti gajinya besar, batin Astari.

Juni, 2018
20 Jun 2018 18:36
111
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: