DIDALAM kamar disesakkan oleh kumpulan asap vape yang mencekik. Terdapat satu celah bagi udara untuk bisa keluar dari ruangan itu, setiap partikel asap itu layaknya berlomba untuk segera bisa keluar dari sini. Pengapnya asap dicampur bau keringat badan sungguh menyentil hidung. Meskipun asap vape mempunyai aroma rasa namun asap tetaplah asap. Dikasur kapuk di kamar hotel melati favoritku, aku berbaring telanjang, menatap plafon bebercak hitam dimana-mana lantaran tampiasan air hujan. Di salah satu sudut kamar, terdapat seekor laba-laba besar sedang sibuk merajut rumah, dan dialah yang menjadi saksi aktivitasku didalam kamar ini.
Disamping kasur tidur tak beranjang ini, meja kecil berdiri teguh dipijaki dua jam tangan, sebungkus rokok sampoerna mild mentol, liquid vape, dompet, sepasang telepon genggam dan dua bungkus kondom yang sudah terpakai. Kacamataku juga duduk disana, menjadi saksi kegiatan seksual yang beberapa jam lalu menyemburkan air suci birahi ku. Aziz masih telentang disampingku, menyandarkan kepalanya dengan kedua telapak tangannya. Aku memejamkan mata sesaat sebelum merangkul dadanya yang penuh dengan bulu-bulu kehangatan dan memainkan rambut tipis di dadanya. Ini membuat berahiku kembali naik.
“Mau pergi kemana kau Aziz? Bertahanlah disini, dirumahku saja.”
Aziz menaruh vape yang baru saja ia isap. Giliran matanya yang tertutup, diikuti helaan napas Panjang. Jawaban seperti biasa yang ia lontarkan setiap aku memintanya bermalam bersamaku. Setelah sebuah kode yang ia berikan, ia biasanya memberi asalan yang didasari keberadaan tunangan nya. Sebenarnya, aku tidak begitu cemburu. Tak peduli Aziz sudah tunangan atau belum, selama aku masih bisa bersamanya sesering mungkin. Kamar yang tidak begitu layak untuk sepasang manusia ini pun tak masalah bagiku, asal aku bisa mencumbu dan menghirup aroma tubuhnya setiap saat kuingin. Aku bisa menerima dan tak ingin menuntutnya untuk membatalkan pernikahannya. Kami bisa mendapatkan apa yang kami mau setiap kali bersua dan melepas berahi.
Suara kipas angin cosmos dan suara nyamuk yang melengking mengisi sunyinya malam itu. Aku melihatnya, sepertinya ia gelisah ingin meniggalkan kamar ini. Ada sedikit takut dalam benak yang membuat dadaku sesak. Aziz bangun dari baringnya, dan meninggalkan tanganku di kasur. Pantulan lampu neon kekuningan, yang menggambarkan keindahan tubuhnya yang atletis, menciptakan bayangan otot-otot nya. Aziz meminum botol air mineral yang ada diatas meja. “Aku ingin pulang.” katanya singkat, setelah meminum segelas air. Seketika, rasa nikmat seusai bersenggama berubah menjadi rasa rindu yang amat mendalam. Saat menatapku menangis, Aziz menghampiriku dan mencium keningku sambil membelai rambutku. “Iam sorry. Aku harus pergi.” Kali ini volume air mata yang turun bertambah dua kali lipat. “Jangan bersedih, sayang.” Bisik Aziz. Ia mencium bibirku. Inilah yang kutakuti, akhir-akhir yang selalu menghantui perasaanku. Kini, nyata terjadi padaku.
Seraya bisa membaca isi pikiranku, akhirnya Aziz memberitahuku, “Calon istriku tahu. Ia minta membatalkan pernikahannya.” Aku terbisu. Aziz dihantui oleh bayang-bayang ketakutan, namun sebenarnya itu yang kuharapkan. Akan tetapi, tahu Aziz lebih memilih calon istrinya itu adalah sebuah kepahitan buatku. Ternyata aku adalah hanya sebuah pelarian seksual dari kehidupannya. Ia berkata, “Aku tak ingin kau berharap”
“Mengapa?”
“Sebab harapan itu seperti coklat buat anak-anak kecil, setelah didapat, rasa itu akan habis juga, bersama dengan manisnya yang kau rasakan dan mampu membuat gigimu rusak dan membuat kalori mu bertambah.”
Mendengar pernyataannya, membuat diriku menjadi dingin. Keresahan dan kenelangsaan kini memuncaki perasaanku. Aku seperti tak mengenalnya sama sekali. Kamar hotel kelas melati ini semakin sendu menjadi saksi akhir dari hubunganku. Sudah habis ideku untuk meyakinkan nya kembali seperti yang kukatakan setelah kami bercumbu.
“Aku cinta padamu, Aziz.”
Butuh sekitar setengah menit bagi Aziz untuk menahan tangis di bola matanya.
“Aku juga cinta padamu, Agus.”
Kami pun berpisah setelah bersenggama untuk yang terakhir kalinya. Inilah yang teringat olehku sampai aku berkeluarga dan menjadi seorang kakek.
Selesai.