Sebelum menjadi tempat yang ikonik, dulunya hanya sebuah kampung yang dikunjungi oleh dua mahasiswa yang berasal dari Surabaya. Mereka hanya ingin belajar mendalami bahasa Inggris guna menunjang kelulusan dibangku perkuliahan nya. Awalnya, sedikit membuat perasaan mereka gundah. Mbah Yazid, orang yang ingin ditemui mereka sedang tidak ada dikediaman nya. Bertemu lah mereka dengan salah satu pengurus pesantren, beliau bernama Kalend. Seraya menelisik, dari sini lah jasa beliau melahirkan sebuah tempat yang begitu ikonik yang biasa dikenal dengan kampung Inggris di salah satu kota di jawa timur, sekaligus beliau lah yang menjadi the founding father nya, khususnya Basic English Course.
Kini jauh melompat pada era 2014, tahun itu menjadi momen awal mulanya kami merantau. Berbeda kota namun memiliki latar belakang yang sama, yaitu; sama-sama tidak lulus SNMPTN kala itu. Di sekolah atau kursusan yang kami ambil memiliki periode pembelajaran selama 6 bulan dan terbagi menjadi 3 kelas. Pertama, Basic Training Class berdurasi selama 1 bulan. Di fase ini tentunya kami mulai saling memperkenalkan satu sama lainnya. Semuanya beragam dan menjadi titik awal kami beradaptasi dengan lingkungan kursusan. Aku masuk kedalam kelas B. Ternyata cukup banyak yang berasal dari jabodetabek. Yang berasal dari Tangerang; ada saya sendiri, Wahyu, dan Dian. Sedangkan dari Jakarta, Bogor dan Bekasi; ada Agung, Derry, Fajar, Ikbal dan Imam. Selebihnya dari beberapa kota lainnya, dan ada 1 pribumi setempat, pria yang terkenal dengan sifat kalem dan rendah hatinya; ia bernama Aldi.
Dalam tahap pertama, kami sungguh nyaman dengan lingkungan dikelas beserta manusia nya. Baru kali ini aku merasakan belajar dengan suku dan ras yang beragam. Tibalah kami pada fase yang kedua, kelas itu bernama Classic Training Class, pembelajaran yang dimulai dari bulan ke-dua hingga bulan ketiga. Di fase ini, kami telah guyub dan memahami setiap karakter yang kami temui dan mulailah kami dididik lebih ketat lagi untuk menjadi pribadi yang berkarakter nan baik. Kemudian, ada satu geng yang paling mencolok perhatian dikelas kami. Tiga perempuan yang memiliki karakter membaur yang sama. Mereka adalah Dian, Rahma, dan Dita. Para perempuan yang asik, heboh, doyan gosip nan humble kepada siapapun. Itulah mereka yang menjadi 3 srikandi dikelas kami waktu itu; Believe Class.
Dian dan Rahma stay diatap yang sama di sebuah kosan ternama pada periode kami waktu itu – yang bernama Pandan Sari. Sedangkan, Dita berbeda tempat stay, ia tinggal disebuah kosan yang cukup sederhana, letaknya persis dibelakang kosan dua sahabatnya itu. Dita adalah perempuan berdarah Kalimantan blasteran Lombok dengan karakter yang periang dan multitalent. Ia gampang sekali akrab dengan teman-teman barunya. Rahma, gadis Jogja yang tidak terlihat darah jawa nya namun memiliki hati dan perasaan yang begitu baik layaknya perempuan jawa pada umumnya. Sedangkan, Dian, perempuan yang berasal dari Ibu kota, sama periang dan humble nya dengan Dita, namun sedikit memiliki ego yang begitu tinggi. Mereka bertiga mulai menjadi konco kentel setelah mengarungi masa-masa yang indah di kelas believe, terutama pada periode kami TC 128 MAM. Hari demi hari selalu bersama, entah mulai dari nongkrong dengan rekan-rekan kursusan yang lainnya, atau hanya sekedar makan – pasti selalu ada mereka bertiga. Itulah mereka, selama 3 bulan lamanya, mereka selalu bersama seraya lagu yang selalu mempunyai irama.
Selanjutnya, masuklah pada fase terakhir. Yap, fase ini adalah 3 bulan kedua atau periode akhir pada sebuah lembaga kursusan kami, yaitu; Training Class atau biasa disingkat TC. Seperti pada kutipan diatas, TC 128 MAM adalah nama angkatan kami. 128 adalah periode angkatan kami dan MAM singkatan dari periode pembelajaran kami yang dimulai dari bulan Maret-April-Mei. Di fase ini, mereka bertiga tidak lagi sekelas. Dian berada di kelas A. Rahma pun masuk ke kelas C. Sedangkan Dita merambah ke kelas H. Jadwal dan tugas dari masing-masing kelas pun semakin padat hingga jadwal untuk meet-up pun rasanya seperti tersendat. Di fase ini, mereka bertiga masih sesekali menyempatkan untuk nongkrong di kosan pak Kusnan; tempat dimana teman-teman mereka khususnya kaum adam berkumpul. Itu adalah basecampnya mereka. Namun, Rahma jarang nimbrung kali ini. Ia lebih sering menghabiskan waktu dengan teman kelas dan kosannya. Hanya Dita dan Dian yang masih sering berkumpul dengan rekan-rekan, khususnya alumni kelas B pada fase sebelumnya.
Meskipun sedikit renggang, mereka bertiga sesekali berjumpa dan tak luput untuk bertegur sapa layaknya manusia, ketika sedang bertemu atau berpapasan di jalan. Waktu terasa tersisa sebentar lagi. Periode angkatan kami seperti terasa diujung, semakin keras pula diri ini menahan haru dan air mata agar selalu terbendung. Yap, tugas kami akan segera selesai, 6 bulan penuh dengan cerita, makna, suka, duka dan tentunya segelintir pengalaman. Tiga sahabat itu akan pulang ke kota asalnya dengan membawa pulang kesan dan kenangan yang beragam. Sudah hal yang umum, setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan. Itulah yang mereka tidak ingin, namun hidup pun juga harus belajar menerima dan berani untuk menghadapi fase yang berbeda. 3 Srikandi kelasku akan berpisah dan janji-janji untuk meet up dikemudian hari pun sudah dilontarkan dari lisan mereka, setelah acara graduation di Garden Hall.
~ 6 juni 2015, Stasiun Kediri
Hari itu adalah hari dimana kami akan pulang khususnya anak-anak Jabodetabek, menutup catatan dengan sebuah kenangan. Perjalanan yang panjang selama 6 bulan lebih menjadi anak rantau, harus kami sudahi. Dan kini waktunya kami harus pulang dengan hati dan pikiran yang bimbang. Dari ke-3 srikandi itu, sebelumnya ada Rahma yang sudah bertolak lebih awal ke Jogja. Kini, Dian yang akan kembali pulang ke tempat asal bersama rekan-rekan se-jabodetabeknya. Kepulangan kami, diantar oleh beberapa teman yang dibalut dengan haru, cemas dan kesedihan. Dita yang tak kuat membendung air matanya, ia pun menangis dan merangkul teman-temannya yang akan kembali pulang; khususnya kepada Dian. Keduanya saling menangis. Momen yang cukup berat, hingga mereka saling peluk dengan erat. Layaknya film, kisah 6 bulan kami sudah berada di fase klimaks, hingga akhirnya pun – tamat.
Setelah Dian pulang, masih tersisa Dita yang berada di Pare. Ia pun juga akan mempersiapkan kepulangannya. Masih dalam momen haru, Dita tak lupa mengabari Rahma dan Dian. 3 srikandi itu masih tetap rutin berkomunikasian. Meski tak bertemu raga, silahturahmi harus tetap dijaga. Mereka bertiga adalah beberapa teman perempuan yang kutemui disana, yang akan selalu kuingat hingga akhir hayat. Tak terasa sudah cukup lama, atau hampir 2 bulan lebih kami sudah meninggalkan tempat yang menyatukan anak-anak rantau untuk menimba ilmu dan mendidik karakternya. Beberapa dari kami pun melanjutkan studi ke strata berikutnya, yang sudah kami tunda setahun. Adapun rekan kami lainnya, yang memilih untuk bekerja ataupun melanjutkan studi bahasa inggris nya disana.
Di jabodetabek, aku masih selalu menjaga erat tali silahturahmi, khususnya kepada Dian, Rama, dan Wahyu. Kami pun memilih rumah Dian sebagai titik temu untuk kami bersua. Beberapa bulan sekali, kami masih suka berkumpul dirumahnya. Keluarga Dian pun begitu ramah menyambut kami. Layaknya seperti keluarga dan rumah sendiri. Tahun begitu cepat berganti. Kini sudah masuk pada tahun 2017, sudah hampir dua tahun lama tak bertemu teman-teman kami disana. Namun, hal yang tak diduga pun kini datang. Dita merantau ke Jakarta, tepatnya di daerah Bekasi. Ia melanjutkan studi nya ke jenjang berikutnya, sekaligus menjadi guru di salah satu sekolah swasta disana. Kabar ini tentunya membuat hati kami begitu senang, khususnya Dian, dengan hati yang riang.
Ia awalnya memberi kabar kepada Dian, bahwa saat ini ia menginjakkan kaki nya di ibu kota. Dengan penuh harap; Dita bisa bertemu dengan rekan-rekan alumni BEC khususnya basis jabodetabek. Kala itu, hampir tiap malam ia berkomunikasian dengan Dian. Curhatan ataupun candaan, ia curahkan dalam moment itu meskipun via daring. Hal yang tak luput ialah; Dita mengajak kami untuk meet up di akhir pekan. Namun, bukan karena kesibukan masing-masing yang selalu mendelay pertemuan kami. Tapi, sama-sama tidak ada yang bisa menekan ego nya, untuk bisa meluangkan waktu sedikit pun untuknya. Aku sendiri sibuk dengan urusanku dikampus, yang waktu itu sedang ada event, dan sudah mendekati hari-H. Bahkan meskipun sudah selesai event pun, aku masih belum bisa mengatur waktu untuk Dita. Sedangkan Dian, ia pun juga demikian; sibuk dengan aktivitas di himpunan prodi nya. Hampir tiap hari ia pulang malam. Lalu, berbeda dengan Wahyu, sebenarnya ia juga sibuk bekerja, namun ia orang yang fleksibel. Aku dan Wahyu sebenarnya bisa-bisa saja, namun kami satu suara bahwa Dian adalah role mode kami waktu itu, karena ia adalah teman dekat segender dengannya yang berada di Jakarta.
Berhubung Dian tak kunjung menemukan waktu kosongnya, pertemuan kami pun dengan Dita hanyalah sebuah wacana. Namun, hal itu tidak membuatnya kecewa. Ia memaklumi setiap kesibukan teman-temannya. Dita tetap menjadi orang yang asik meskipun hanya via chat ataupun saat kami bertelponan. Perempuan yang begitu periang, dan pandai mencairkan suasana. Dita pun adalah tempat dimana Dian menuangkan keluh kesah nya ketika dikampus, atau bahkan tentang apapun. Tak lupa juga, beberapa kali mereka mengabari Rahma menggunakan fitur video call di aplikasi sosmed mereka. Dalam hati mereka mengucap syukur yang tak terukur, masih bisa reuni bertiga meskipun secara daring. Dalam peretemuan daring itu, terucap lah sebuah janji dari 3 srikandi itu; bahwa ia akan datang ke tanggal 5 syawal pada reuni BEC, beberapa tahun yang akan datang. Kursusan kami memiliki budaya untuk menyambung tali silahturahim untuk para muridnya, yaitu pada setiap tanggal 5 syawal dalam kalender islam.
Mereka bertiga pun sepakat, akan datang pada reuni tersebut. Entah dua atau tiga tahun lagi. Lalu, bukan Dita namanya, jika ia tidak menghubungi teman-teman yang lainnya, khususnya teman pria nya. Ia juga sering menghubungi ku dan Wahyu. sungguh begitu hangatnya hubungan kami. Namun, sayangnya lagi-lagi untuk yang kesekian kalinya, kami masih belum bisa menemui Dita. Tibalah pada bulan Ramadhan di tahun 2017. Bulan yang penuh dengan semarak Bukber nya, namun masih saja nihil; kami belum bisa membagi waktu untuknya, hingga akhirnya lebaran pun datang. Pada momen idul fitri tersebut, ternyata Dita sedang berada di Lombok. Ia pulang kampung bersama saudara nya yang berada di Jakarta. Aku yakin, ia tidak menyimpan rasa kecewa dihati, karena kami belum bisa menemuinya. Dita adalah orang yang baik dan mudah memahami. Momen idul fitri pun sudah lebih dari seminggu. Secara kondisional atau tak sadar, salah satu temanku, yang bernama Reva, menghubungi nya via aplikasi Line saat itu. Dita memberitahu nya bahwa ia sedang berada dikampung. Niat Reva adalah untuk mengajaknya bersua dengan kami, ketika ia sudah kembali lagi ke Jakarta.
ketika Reva menanyakan kapan pulang. Sontak, Dita pun menjawab, “nggak tau, aku lagi sakit.” Lantas dijawab lah pernyataan tersebut dengan kalimat yang penuh empati oleh Reva, ia mengirimkan pesan semoga lekas sembuh untuknya. Ternyata, inilah yang menjadi pesan terakhir darinya. Reva saat itu tidak mempunyai firasat apa-apa. Dan juga sesekali, Dita masih menghubungi Dian, chatingan yang dibalut dengan canda tawa, bersenda gurau atau berjulit sekalipun. Dian pun juga tak menyadari jika sakit yang ia derita itu cukup parah. Setelah itu, sakitnya pun kian parah, hingga akhirnya pun ia dibawa kerumah sakit dan terbaring lemah disana dengan keadaan koma. Salah satu keluarganya disana tahu bahwa Dian adalah teman dekatnya. Lalu, ia memberitahu kabar tentang kondisi Dita dan meminta doa agar ia lekas sembuh.
Namun, takdir tak ada yang tahu, semua yang diharapkan tidak sesuai dengan doa yang kami panjatkan. Pikiran tak karuan, rasa cemas pun tak berhaluan. Dita pun akhirnya mengehembuskan nafas terakhirnya, setelah menjalani hari-hari yang cukup panjang dalam menahan sakitnya. Kami baru mengetahui bahwa ia mengalami pembengkakan pada otak belakangnya. Betapa ironisnya, ketika mendengar kabar ini. TC 128 pun berkabung – khususnya kami yang silih berganti memberi kabar kepada rekan-rekan layaknya sirine bersahutan yang menyampaikan pesan kepada setiap orang yang mendengarnya; Dita telah lebih dulu berpulang kepada Yang kuasa.
Sekarang yang tersisa hanyalah penyesalan. Ini yang menjadi salah satu penyesalan terbesarku dalam hidup. Seorang sahabat yang sama-sama besar di perantauan, hanya ingin bertemu dengan kami meskipun hanya sekali. Seandainya tahu apa yang akan terjadi, saat itu pasti akan ku tekan ego-ku sejenak, untuk bisa menemuinya meski hanya dalam hitungan menit. Kurasa itu cukup untuknya. Kini, air mata berlinang ditemani guyuran hujan yang menggambarkan kesedihan kami semua atas penyesalan ini. Terakhir, biarlah yang menjerat adalah riwayat, dibatu nisan, namamu tlah terpahat. Dan, kini sebuah impian akan pertemuan, yang tersisa hanyalah angan yang tak pernah kunjung.
Lantas, Tidak akan pernah ada pertemuan dan hanya ada kesembuhan yang abadi – di pangkuan-Nya.
Selesai.