oranment
play icon
ANTARES
Cerpen
Kutipan Cerpen ANTARES
Karya artcancertha
Baca selengkapnya di Penakota.id
Apakah kita bisa memilih jodoh?

"Tidak, tentu saja tidak."Ujarmu malam itu, sedang aku mendengarkan selentingan ceritamu sayup-sayup karena tersamarkan oleh suara detak jantungmu yang menggeletar sesuai irama jarum jam. Aku bersandar nyaman di dadamu mendengarkan ini-itu, seperti yang sering kita lalui bersama dulu. Kita bertukar cerita akibat lagu "Pacar Lima Langkah" yang menderu melalui speaker layar televisi.

“Kau tahu? Aku menyanyikan lagu dangdut itu di acara penikahan kakak perempuanku, dan gagal.” Ujarku malu-malu dan terkikik ketika kau menggoyangkan tubuhmu mengikuti irama tembang dangdut tersebut.

“Dasar jiwa dangdut.” Ledekku

“Lah, namanya juga orang Indonesia, pasti familiar dengan ritme kaya gini dan reflek goyang.” Jawabmu tak mau kalah.

“Kenapa kamu nyanyi lagu itu?” tanyamu sambil mengelus pundakku yang masih nyaman bersandar di atas dadamu.Tanganmu yang lain memegangi telepon seluler yang berisi situs web mengenai berita negara yang tiada habisnya. Matamu tak teralihkan dari sana.

Aku memejamkan mata dan merasakan kenyamanan luar biasa. Hangat tubuh dan aroma wangi lembut yang menguar membuat otot-otot kepalaku mengendur. Aku tegang karena besok harus berpacu dengan waktu mengurus segala macam pekerjaan. Aku sibuk memesan tiket perjalanan ke luar kota untuk besok sore dan menyiapkan segala dokumen sedari pagi. Sebelum berangkat ke luar kota, aku memutuskan untuk bertemu denganmu. Aku membutuhkan sesosok tegap untuk bersandar sejenak dan menabung rindu untuk esok.

“Ya, karena jodohnya adalah tetangga.” Aku menjawab pelan sambil menghirup nafas dalam-dalam, tak ingin melewatkan barang sedikitpun aroma wangi lembut yang kau hadirkan.

“Jauh-jauh mereka menuntut ilmu dan bekerja di negara berbeda, namun bertemu karena jodoh. Hidup memang terkadang tak bisa di tebak. Tapi mereka bertemu di Sidney, Mereka teman semasa SMP.” Lanjutku sambil tetap memejam. Kau tertawa. Ah, tawa itu. Sepertinya sudah lama sekali tidak kudengar.

“Sama seperti temanku. Mereka sama-sama orang Lampung, kemudian menempuh pendidikan dan berkerja di kota berbeda. Tidak sengaja ketika masing-masing sedang ada urusan pekerjaan, mereka bertemu di kota Semarang.” Ujarmu sembari meremas pundakku lembut. “Mereka kemudian SMS-an dan menikah setelah berpacaran selama tiga bulan.”

“Hmm…” jawabku. Kau mendesah dan meregangkan otot kakimu yang kaku sebab kau menyandarkannya secara serampangan di kursi bambu.

“Begitulah jodoh, tidak perlu lima belas tahun, tujuh tahun, tiga tahun ataupun dua tahun…,” lanjutmu. Ada nada yang janggal ketika kau mengucapkan kalimat tersebut. Entahlah, atau memang hatiku yang tiba-tiba terasa sakit ketika mendengarnya. Aku teringat akan janji pernikahan yang dua tahun lalu kau ucapkan namun lambat laun hilang. Ada rasa pilu yang menyeruak ketika aku mencoba melupakannya dan tak membahas apa-apa lagi sesudahnya. Bayangan itu timbul-tenggelam, seperti senja.

Aku mencoba mengalihkan pembicaraan menuju pembahasan yang lain. Aku butuh perisai untuk menutupi sakit ini. Maka aku memberanikan diri mengumpan pembicaraan yang belum pernah ku bicarakan, bahkan selama dua tahun aku pernah bersamamu.

“Aku terkadang bingung dengan anak muda jaman sekarang. Mereka sepertinya berpikir terlalu muluk, terlalu―pintar.” Jeda dalam kalimatku merupakan ekspresi gugup dan ragu. Akankah kau tertarik dengan umpan ini? Syukurlah, kau mulai melirikku melalui sudut matamu. Menjauhkan handphone layar sentuh yang berisi berbagai macam situs berita yang tidak pernah absen kau baca. Seingatku, tidak pernah kau menatapku dalam perbincangan apapun. Kau terus menatap layar ponsel seakan-akan obrolanku adalah sampah yang akan segera kau lupakan.

“Maksudmu?”

“Ehm, maksudku adalah, ini berdasarkan data pribadiku sendiri yang aku kumpulkan secara sengaja melalui obrolan yang seakan-akan tidak sengaja. Kebanyakan anak muda jaman sekarang memiliki keinginan dan menaruh harapan luar biasa terhadap keturunan mereka kelak, dengan cara-cara―yang tidak seusai dengan porsinya.”

“Menarik. Contohnya?” sekarang kau memasang muka profesor ketika menatapku. Seolah-olah sedang menganalisa bibit pengacara di sekolah hukum terkemuka.

“Eh, contohnya adalah, pasangan muda sekarang berpikir lebih berat dan terperinci mengenai sesuatu yang akan dijejalkan kedalam otak anak mereka, bahkan ketika anak mereka masih dalam masa PAUD.” Aku menatapmu, masih ragu-ragu. Beginilah aku dihadapanmu. Selalu merasa sedang mengundi peruntunganku, terus-menerus dan bertahun-tahun. Tidak pernah berhenti aku mencoba mengimbangi logika perspektifmu dan mengembangkan kemampuan hipotesaku terhadap hal-hal yang pelik. Semua kulakukan agar kau kemudian berfikir aku cukup pantas untuk menjadi istri dan mengandung benihmu kelak, bahwa kau selalu menanamkan padaku akan pentingnya kecerdasan seorang ibu. Bukan secara genetis yang kau utamakan, namun dalam hal mendidik dan menyuapi anak dengan pengetahuan.

“Mereka, mostly mengatakan tidak akan menyuapi anak-anak mereka dengan dongeng sebelum tidur, dengan cerita-cerita happy ending Seperti Cinderella, Sleeping Beauty danPeterpan dengan alasan terlalu kebarat-baratan. Namun, aku paham ada maksud di balik itu. Mereka berkata padaku akan menceritakan kisah-kisah inovator seperti Sok ho Gie, Picaso, Roland Barthes, Pram, dan tokoh-tokoh nyata dengan tidak menyertakan hal yang happy ending di akhir cerita.”

“Bukannya itu bagus?” tanggapmu sambil menggengam tanganku yang separuhnya kulingkarkan pada tubuhmu. Aku menggeleng.

“Tidak karena tidak sesuai porsinya. Aku sangat mengerti bahwa serat-serat otak balita sangat bagus dalam mengingat. Itulah mengapa mereka berfikir menanamkan pengetahuan penting pada usia itu. Menurutku, diciptakanya dongeng-dongeng tersebut untuk mereka bukannya tidak ada alasan. Dunia tahu bahwa pondasi manusia dalam perspektifnya adalah berangkat dari diri sendiri.” aku memejamkan mataku kembali, menghirup dalam-dalam aroma ketiakmu. “Dongeng yang berakhir bahagia adalah cara dunia menstimulasi otak manusia untuk positive thinking, memiliki harapan dan motivasi dalam menjalani kehidupannya kelak.”
Aku menelan ludah dan mengatur nafas. Berpikir keras dalam menyampaikan pemikiranku melalui bahasa yang tepat, karena jika tersandung sedikit saja, hal itu akan memicu terjadinya pertengkaran yang entah keberapa kalinya denganmu. Ah, kita memang selalu seperti itu.

“Kamu tahu kan mengapa semakin dewasa orang tidak akan menyukai lagi film kartun yang berisi tentang semangat meraih impian dan cita-cita? Kenapa kita tidak tertarik dengan film warna-warni yang imut dan ceritanya indah-indah? Kenapa?”

“Ya karena semakin dewasa kita sadar untuk membatasi. Kita dituntut berpikir logis dan bertindak sesuai dengan kehidupan.” Jawabmu dengan tatapan sayu. Aku menjentikkan jariku, berusaha tidak peduli dengan reaksi penolakan dan sedihmu karena aku tahu bahan perbincangan ini sangat bertolak belakang dengan pemikiran wanita lain yang kini sangat kau puja idealismenya.

“Exactly. And you know what I mean?”

“Yes I know your point.” Ujarmu seperti biasa, hendak meruntuhkan kepercayaan diri dan hipotesaku lagi namun aku berusaha mengabaikannya.

“Karena semakin dewasa kita semakin sadar bahwa cerita tidak seindah dongeng! Kita akhirnya melakukan hal yang kita bisa, yang kita mampu sesuai dengan hidup kita. Tapi apakah kau tahu mengapa ada beberapa orang yang bisa sukses hidupnya seperti cerita-cerita dongeng? Karena mereka memiliki impian! Mereka mendasarkan diri pada impian-imianterpendam yang dijalin ketika kecil, selalu termotivasi dengan ke-positive-an itu. Lalu, kau tahu apa jadinya anak muda yang sedari kecil sudah dituntut dengan cerita-cerita realita? Meskipun pengemasannya dibuat semenggemaskan mungkin, hal itu tetap tidak bisa menstimulasikan visi dan indera mereka dalam radar yang positif.”

“Itulah guna psikolog.” Kesimpulanmu. Aku menggeleng pelan.

“Bukan itu maksudku. Mungkin mereka memiliki hal positive namun dalam cara pandang yang berbeda dan berimbas pada fase mereka ketika mereka dewasa kelak. Mereka menjadi pribadi dengan tipe pemberontak.”

“Ya tanya aja psikolog gimana nyampein cerita-cerita Sok Ho Gie atau Little Mermaid yang tidak berakhir bahagia dengan penyampaian yang tepat. Pasti bisa dan sama saja.”

Aku terdiam. Itu bukanlah tanggapan yang kuinginkan darimu. Aku menginginkan adanya feed-back, sebuah tukar pikiran yang mengalir pada chemistry. Itulah yang tidak kita temukan pada beberapa bulan terakhir ketika hubunganku berakhir denganmu, bahwa kau membatasi dirimu terhadapku. Tidak pernah ada perbincangan berbobot serius yang mengarah kemana akankah kemana, yang ada hanyalah gurauan-gurauan dan kediaman yang menjemukan. Perbincangan malam ini terhitung perbincangan ketiga setelah perbincangan pertama mengenai komitmen yang kau tawarkan. Perbincangan kedua adalah perbincangan mengenai keputusan yang harus kau ambil, untuk mempertahankan hubungan ini atau memilih perempuan lain yang kau yakini. Semenjak itu, tidak pernah ada keinginan ataupun kesempatan untukku memiliki waktu bertukar pendapat denganmu. Kupikir kau selalu lari, namun kau terus menggenggamku erat, sedih sekali mengetahui bahwa aku bukanlah prioritas namun nyatanya tak jua kau lepas.

Aku mengetahui dengan baik hubunganmu dengan salah satu wanita. Wanita itu, tentu saja seorang wanita yang kupikir rela melakukan apa saja untuk memilikimu. Termasuk tindakannya ketika menghancurkan hubunganku dan merebut kedudukanku di hatimu. Namun yang tidak pernah kumengerti adalah, kau memberinya obrolan-obrolan yang sangat kuinginkan, menyajikannya bersama petualangan yang mendebarkan, berbalas pada hal apapun. Tetapi tidak ketika denganku. Kau menyimpanku seakan-akan aku adalah kristal yang mudah retak. Kau merawatnya dalam lemari kaca dan puas hanya dengan menatapnya saja. Kau tidak mengijinkanku bertetes keringat dalam petualangan bersamamu karena berpikir bahwa aku mudah sakit jika terlalu lelah. Kau tidak memberiku obrolan-obrolan berat karena menurutmu aku hanya pantas bercokol dengan dunia kecantikan. Kau tidak pernah memberiku kesempatan untuk membuktikan diriku bisa mengimbangimu. Padahal aku merasa berjodoh padamu, dengan segala hal apapun yang kau tawarkan. Kau memang tidak adil, dan hidup tidak bisa ditebak, seperti konsep jodoh yang telah kau perbincangkan. Kita tidak bisa memilih jodoh, katamu. Seperti kau yangtidak bisa memilihku, atau mungkin bukanlah sekedar tidak bisa? Kau membuatnya seakan-akan tidak bisa, karena kau tak ingin. Hal ini cukup masuk akal karena adanya pepatah yang mana aku lupa mengutipnya dari film apa— Manusia adalah Tuhan bagi Keputusannya Sendiri.






-Art Cancertha-
Berkat tukar pikiran,
dengan Ayu Utami malam-malam
calendar
16 Jul 2018 14:06
view
241
wisataliterasi
Yogyakarta, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta
idle liked
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
close
instagram
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
close
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh:
example ig