Jalan setapak yang rumpil itu masih mengenalku
Sebuah jejak menginjak guguran daun jati. Di ujung
Tikungannya sebuah gubuk masih khusyuk menemani
Para petani yang sejenak menghindari terik tengah hari
Kapuk-kapuk yang beterbangan di udara seakan menyapa
Dan memahami sunyi yang akan kupersembahkan
Untukmu sebelum rembang petang tiba. Kuharap tak ada
Haru saat mengusap gurat namamu di bilah batu
Aku datang bukan untuk mengukur rindu yang mewaktu
Bukan pula untuk belajar kebajikan pada serakan kamboja
Di pelataran rumahmu yang membuat mataku berbicara:
Jika cinta senantiasa abai pada jarak, aku adalah lumut
Di luar musim yang melekati gurat namamu di bilah batu;
Betapa nonsens, di sini kefanaan tak punya penghabisan
(dusunmaja, 2019)