Kutulis kau ringkas.
Jeda di sela-sela kata
bukan untuk diterka, dan jejak yang bergeser
sekadar isyarat sederhana.
Tunggu aku di ambang ambungmu
sebelum langit sewarna tembaga tua
dan burung-burung pulang ke sarangnya
aku akan tiba dengan debar yang dulu juga.
Kita tentu boleh saling bertanya
perihal waktu atau sesuatu yang biru
untuk mendedah yang tak terjamah
dan menggantung bagai sajak tak rampung.
Sehingga dengan satu kedipan mata,
meski tanpa bersintuhan
kita mampu meringkus ragu dan risau
di antara aku dan kau;
Saat itu, kau yakin,
gial yang berwatak ambyar
sekadar separuh geletar
yang gagal merengkuh kemelut batin
yang membikin harapan luput
bagai pasir dalam tangkupan telapak tangan:
semakin kuat menggenggam
maka semakin berkurang.
Sekarat adalah bagian liyan dari penerimaan.
Dongeng agung yang kita bangun
akan terus diterpa badaiĀ
memiuh aku dan kau:
Tujuh kuatren yang menyambar tatapanmu itu
menjadi saksi betapa ringkihnya ingin kita.
(sorowajan, 2019)