/1/
Pagi belum jauh dari cangkir kopimu,
dan yang terdengar cuma sayup hujan.
Minggu seperti ranjang tua terbalut
selimut tebal. Patahan sayap laron di pintu
mengabarkan kesuwungan yang liyan
pada tatap matamu. Tak ada Bapa,
tak ada sabda juga penebusan dosa.
Waktu yang tersangkut di tembok kusam itu
mendetakkan sunyi lubuk duli sanubari;
Segalanya adalah rindu. Menunggu atau
ditunggu, kau tahu: Minggu bernaung
dalam tangkupan telapak tanganmu.
/2/
Kau tersenyum melihat seekor kupu-kupu
menghinggapi bunga plastik di atas meja,
sementara jemarimu terus mengusap debu
di selembar foto keluarga. Kau tahu, semua
yang berwatak haru akan harum jua dengan
pelukan ibu yang hangat seperti Minggu.
Kau menunduk. Matahari kian meninggi
dan percik hujan di kaca perlahan lenyap,
malih menjadi kultus sabda; Hosea 6:3.
Dan di seberang jalan, Yohanes pemandu pun
berseru: "Itulah anak domba yang dulu nyaris
hilang!". Minggu yang berulang baru saja
menemukan hatimu.
(sorowajan, 2019)