Kita Sama-Sama Mengilhami Aan Mansyur
Cerpen
Kutipan Cerpen Kita Sama-Sama Mengilhami Aan Mansyur
Karya ayacanina
Baca selengkapnya di Penakota.id

Akhirnya kau pergi dan aku akan menemukanmu di mana-mana. Di udara dingin yang menyusup di bawah pintu atau di baris-baris puisi lama yang diterjemahkan dari bahasa-bahasa jauh. (Akhirnya Kau Hilang, Aan Mansyur)


 


Dua tahun sejak kau pergi dengan cara baik-baik — seperti tamu yang pulang dengan salam dan tuan rumah memberkatinya, “terima kasih kunjungannya. Hati-hati, ya!” — dan tidak pernah menanyakan kabarku sementara kau makin asyik bercumbu dengan gincu merah muda itu (aku lebih suka merah tua), selama itu pula aku berusaha menjaga kewarasanku.


 


Jatinangor yang sempit ini tak bisa selamanya menampung kesedihanku. Kafe itu sudah tidak ada, kau tahu? Kafe yang baristanya selalu kelihatan mengantuk dan kita gemar menertawainya. Ada gambar monyet di logo kafe itu. Kita bertanya-tanya, apakah si monyet menikmati kopi dengan pisang yang langsung dimakan atau digoreng dulu — kita tak pernah membahasnya lagi setelah si monyet menyaksikan langsung drama malam itu: aku sekonyong-konyong pergi meninggalkan vietnam drip yang masih utuh dan kau berusaha mengejarku.


 


Aku tidak ingin dikejar. Palu sudah diketuk tiga kali dan kau tak perlu meminta persetujuanku. Selamat tinggalmu permanen dan hanya bisa berubah bentuk menjadi puisi. Ya, kekasih, kau adalah puisi bahkan sebelum aku mencintai puisi itu sendiri. Kau memberiku buku Chairil Anwar dan sekumpulan sajak Sapardi dan aku tidak memberimu apa-apa kecuali ciuman buru-buru di kamar kosku. Satu-satunya yang kuingat adalah jemarimu yang mengusap mesra bibirku, “lipstikmu luntur,” dan kita mengikik setelahnya.


 


Yang fana adalah kita, kenangan abadi.¹


 


Kesedihanku melahirkan semak belukar dan labirin tak punya ujung di sekujur tubuhku. Labirin ini membawaku pada lorong-lorong sunyi; sebuah munajat abadi: ibadah puisi. Kubayangkan mawar liar menjalar di dadamu. Warnanya merah muda dan beraroma perempuan — perempuanmu. Saban hari kau dan dia menyiraminya dengan rencana-rencana masa depan.


 


“Ayo kita mulai menabung!”


 


“Kau mau kita menikah di gedung atau cukup di masjid dekat rumahmu?”


 


“Aku cuma ingin punya dua anak.”


 


“Nanti kita bangun rumah di pinggir kota, ya”


 


Semakin aku membayangkannya, semakin aku meragukan ibadah puisiku.


 


Dua tahun. Dua tahun aku memeliharamu dalam ratusan bait dan mereka porak poranda ketika menjumpai tubuh yang selama ini coba mereka bunuh rupanya masih hidup dan sehat sentosa.


 


Maret 2018: kau muncul dan kata-kataku jatuh berserakan.


 


Jadi, bagaimana? Kau sudah punya anak berapa? — Kau tertawa. Pahit. Aku masih jadi budak industri penuh, katamu. Kau tertawa lagi. Tertawa pada waktu, pada suasana, pada keadaan, pada dirimu sendiri. Oh, kupikir Hagia Sophia sudah lahir.


 


Hagia Sophia — kita pernah membicarakan ini. Nama untuk anak perempuanmu kelak. Aku sudah tidak peduli.


 


Aan Mansyur, masih ingat? — Matamu membuatku ingin mengecup puisi. Aku bawa bukunya, katamu. Kau membuka Tidak Ada New York Hari Ini, membolak-balik halamannya, dan berhenti pada sebuah puisi.


 


Aku tidak pernah betul-betul pulang, kau membaca judulnya.


 


Aku tidak pernah betul-betul pulang. Tidak bisa. Ke semua tempat kuseret tubuh sendiri sebagai petualang tersesat....


 


Kau membaca tiga bait pertama puisi itu dengan tenang. Suaramu berat dan aku masih menyukainya. Dulu aku suka membacakanmu puisi. Kebanyakan puisi Sapardi atau Rendra, kadang-kadang aku iseng membacakan puisi buatanku sendiri (yang buruk itu). Kau selalu bilang suaraku pas untuk lagu pengantar tidurmu.


 


Aku menyimak sampai bait terakhir.


 


Setiap hari tumbuh retakan baru di tubuhku. Kuterima seluruh seolah kelak terbit matahari lain dari sana. Ya, ribuan Matahari....


 


Aku tidak merasa ada titik dalam pembacaanmu. Mengambang. Kau seperti mengganti tanda titik di ujung puisi itu dengan tanda elipsis panjang tak berkesudahan. Kau lantas menatapku. Lekat-lekat. Tepat di mataku. Apa yang kau cari? Tidak ada ribuan matahari di sini. Kau seperti mencari sesuatu dari diriku yang sudah kau curi sendiri. Lucu.


 


Maaf, ya. Dulu aku tak menepati janji untuk menonton AADC 2 denganmu, katamu sungguh-sungguh. Aduh, aku bahkan sudah tidak ingat janji yang itu, aku tertawa. Tertawa pada waktu, pada suasana, pada keadaan, pada kemunculanmu.


 


Jatinangor makin sesak, aku makin lasak. Semenjak kepergianmu, diam berarti membunuh diri sendiri. Aku berjalan ke segala arah dan mencari apa yang tidak betul-betul kupahami. Puisi-puisiku abadi dan kau akan dihantui status-status media sosial yang membicarakannya. Mereka berduka bersamaku mengolok-olokmu dengan syahdu.


 


Kekasih, kau tidak perlu datang untuk sekali lagi meminta persetujuanku. Barangkali Tuhan cuma sedang bercanda denganku, toh aku makin pandai menertawakan kemalanganku sendiri.


 


Di meja itu puisi terhidang. Sementara aku melahapnya hampir setiap hari, kau masih mengilhaminya diam-diam sebab perempuanmu adalah jenis orang yang tak punya waktu membaca sajak.²


 


Kita sama-sama mengilhami puisi-puisi Aan Mansyur. Sejak kemunculanmu itu, pada jarak yang kian membentang hebat, tiap kali kau melafazkan “aku tidak pernah betul-betul pulang….”, saat itulah kita berdua tahu: kau akan kawin, beranak dan berbahagia, sedang aku mengembara serupa Ahasveros.³


 


~


¹Diilhami dari puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul Yang Fana Adalah Waktu. Kau pasti tahu bunyinya: yang fana adalah waktu, kita abadi.


²Diilhami dari puisi Aan Mansyur yang berjudul Sajak Buat Seseorang yang Tak Punya Waktu Membaca Sajak. Sajak yang unik menurutku. Sindiran yang romantis; singkat, lembut, sekaligus menggelitik.


³Petikan dari puisi Chairil Anwar yang berjudul Tak Sepadan.


 

20 May 2019 13:24
1.7K
Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Indonesia
17 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: