Bagaimana mengeja kenangan
bila huruf-hurufnya tanggal
dan tanda titiknya terus menempel
di punggungmu?
Seseorang memahatnya di sana.
Entah bagaimana kau buta
dan yang tersisa ialah gigil
yang lebih dingin dari sunyi
Sungai Musi.
Di sepanjang tepinya kita bisa menyaksikan
suara-suara, pelukan, dan cinta yang fana.
Kau duduk.
Tidak bersimpuh.
Rapuh di dadamu adalah piutang yang
kau gadaikan untuk seseorang
yang telah memahatnya di sana.
Kau berdiri.
Tidak dengan kaki.
Seseorang di dalam tubuhmu bersabda:
“empat tahun aku meneguk kidung azali
dari bibir perempuan itu. Kulafazkan aminnya.
Kukhatamkan dukanya. Kukultuskan kepergiannya.
Tapi tidak kunjung aku tahu,
siapa pemenangnya?”
Di tepi Sungai Musi kau bangkit dan bertanya,
“yang mana sepi, yang mana mimpi?”
Sekujur tubuhmu luruh menjadi camar.
Kota ini gemetar.
Kita sama-sama bisa mendengar
sebuah rekuiem duka diputar
tapi kau tidak juga gentar.
Saban tahun kemudian,
pada jarak yang tak bisa kau takar,
seseorang lain menemukanmu.
Mendapati bahwa
kau berdiri dengan kaki
dan dengan leluasa mengeja
apa yang mereka sebut:
kenangan.
(Bandung, 2019)