Katakanlah, kekasih,
mengapa bisa Sungai Nil mengalir di sekujur tubuhmu
tapi kau kian kerontang?
Ikan-ikan kehausan, pohon akasia gugur di punggungmu,
dan aku menyaksikan segalanya di balik muslihat
seekor rubah dan kaok burung gagak.
Berapa banyak pura-pura yang menyaru
di sepanjang jalan ini?
Kita tahu tidak pernah ada titik
—persimpangan di antara kita hanya perihal koma
dan huruf miring yang dipaksakan
semata-mata untuk mengaburkan rindu.
Di mana lagi bisa kuternak ubur-ubur,
katak yang dikutuk, dan seribu domba
kalau bukan di lidahmu?
Di mana lagi bisa kutanak batu dan
menyulapnya jadi mie instan rasa ayam spesial
kalau bukan di dadamu?
Beruang kutub menjelajahi Cina, bihun
warna merah muda, mata-mata luar angkasa.
Matamu rindang padang ilalang.
Di hadapanmu, seseorang berlindung di dalamnya
dari gersang dan tanda elipsis panjang.
Dunia begitu luas dan kita tidak pernah
ke mana-mana.
Beritahu aku, kekasih,
mengapa bisa aku membelah sungaimu,
berenang di dalamnya, dan sengaja tenggelam?
Udara menjadi kuning, angin menjadi ribut.
Ikan-ikan di perutku berguncang
mencari air yang lebih biru dari mataku.
Berapa banyak cuma-cuma yang menyaru
sebagai jalan pulang?
Kita tahu tidak pernah ada
—cuma…
Bertanyalah, kekasih
Bertanyalah lewat bibirku,
sudah sampai di mana kita?
(Jatinangor, 2019)