Pada bercak hijau pudar musim gugur,
Seorang Themis menjetikkan jarinya ke udara
menyulap remah roti menjadi tafsir azali
bertabur tiga huruf mati tanpa titik
dan mulai menyantapnya.
Tak pernah ia menginginkan secawan anggur
dari laki-laki gembala yang datang dari utara
menunggang keledai tanpa jubah pelindung.
Tapi ketika panahnya menembus luka kecil di keningnya
yang dibentuk dari taksa dan mimpi-mimpi yang kandas,
ia percaya: perahunya akan seimbang.
Maka didatanginya tiga ahli nujum paling lantang di kotanya
yang pandai melafaz doa-doa paling batil
dan meramu rumus dosa paling musykil.
Dari tangan ketiganya tumbuh aroma purnama
bersama auman serigala yang menggetarkan sekujur dukanya.
Ia tahu cintanya rentan,
tapi kejora paling terang yang keluar
dari kedua mata lelaki itu jauh lebih menawan
dari bercak hijau pudar musim gugur.
Themis bergetar
Tubuhnya demam
Ulu hatinya mengejang
Udara lumpuh
Sayapnya koyak
Sejak itu, ia tahu
Neraca di tangannya tidak pernah lagi seimbang
ā
Perempuan itu melipat kesedihannya dan mulai membaca
ramalan paling mutakhir tentang siapa yang akan mati pertama
di hari ulang tahunnya yang kedua puluh empat:
ia atau kejora paling terang yang keluar dari kedua mata lelaki itu.
(Jatinangor, 2019)