Mukjizat Bayi Rindu
Cerpen
Kutipan Cerpen Mukjizat Bayi Rindu
Karya ayacanina
Baca selengkapnya di Penakota.id

 


“Sejatinya, seperti daun-daun yang meranggas dan musti lekas disapu rata, rindu harus dibayar tuntas. Baiknya ia dituntaskan selagi tarafnya rendah,. sebab bila semakin pekat kadarnya, semakin anjing yang dikurung dalam tubuhnya akan menyalak lebih kencang sebelum selesai diberi makan.

Di hari lahirnya rindu, anjingnya masih sangat kecil dan lucu. Tiga puluh hari pertama kau membesarkannya, biasanya bulunya berubah kehitaman dan banyak kutu. Jika kau memandikannya dengan khusyuk setiap fajar datang, kutunya masih jinak. Tidur tenang seakan berharap tidak perlu diciptakan. Lain lagi jika kau tak sabar dengan kelakuannya yang memang seperti anjing: maunya diajak bermain, disuapi, dipangku jika lelah, dan dibuatkan tempat tidur khusus. Pada waktu itu, kutunya akan menggila. Lompat keluar masuk dari sela bulu-bulunya yang semakin pekat hitam. Tiga puluh hari kedua jika kau masih mampu merawatnya, biasanya setiap malam yang bukan malam jumat, suara lolongannya bisa terdengar sampai ujung gang komplek rumahmu. Padahal tak ada dedemit yang mampir main ayunan atau tuyul yang suka iseng minta duit. Kalau tiba malam minggu, lolongannya mengecil, tapi matanya tampak sedih. Ia jadi sering menatapmu lamat-lamat. Bukan mencari matamu, melainkan mencari sesosok yang tidak ada di punggungmu. Tiga puluh hari ketiga dan selanjutnya, hanya ada sedikit pilihan: sang anjing membunuhmu, kau membunuh sang anjing, atau sang anjing mati lemas karena memang mau mati.

 


Malam ini rinduku bahkan belum genap melewati dua puluh hari. Kadang-kadang ia suka meminjam lampu lima watt kamarku untuk menerangi lubang di kepalanya yang bau kebun binatang. Di lubang itu ada banyak pajangan nama-nama serupa perempuan jalang yang kubayangkan setiap kali aku berjalan melewatinya, aku musti mengangkat kepala setinggi-tingginya supaya terlihat tidak bodoh. Ketika mereka bertanya siapa aku, aku menimpali dengan songong dan rendah hati, “aku adalah yang dipilih untuk diselamatkan dari pajangan-pajangan ini.”


Lima hari lalu ketika aku buang hajat sebelum tidur, tiba-tiba muncul wajah serupa kekasihku. Wajah itu berteriak-teriak minta diselamatkan, jangan diguyur. Ia tak mau jatuh ke lubang pembuangan yang bau. Katanya, karena aku kekasihnya, sudah semestinya aku mendengarkan omongannya. Sayang, kenyataannya ia dikelilingi tai. Kalau aku tidak mengambil langkah pasti, aku bisa ditemukan mati konyol esoknya di kamar mandi.


Jauh-jauh hari sebelumnya, ketika rindu haram jadah ini masih hangat di ketiak entah siapa, sementara aku mulai merasa mual dan ngidam mangga muda, aku berinisiatif memesan jimat penangkal rindu. Karena sekarang jaman online, aku mencarinya di berbagai situs dan kutemukan yang harganya cukup murah dengan khasiat bintang tiga. Ditambah lagi, transaksinya dilakukan dengan sistem Cash On Delivery. Kata penjualnya, ia sangat memerhatikan kepuasan pelanggan. Lagipula, ia tak mau kalau sampai disebut penyebar virus rindu. Bila ketahuan aparat, hukumannya berat. Cairannya bisa disuntik paksa ke tubuhnya dan ia harus menanggung beban seumur hidup.


Singkat cerita, aku berhasil mendapatkannya. Si penjual yang ramah dan suka memakai kacamata hitam itu memberiku garansi tiga hari. Pintar juga dia. Tiga hari masih jauh dari kematian.


Penangkal itu berbentuk seperti gantungan kunci yang ada gambar daunnya. Gampang menggunakannya. bisa digantung di mana saja. Di dinding kamar, resleting tas, atau dijadikan anting. Lumayan nih. Biar sakit, tapi tetap harus bergaya, kan?


Sayang, jimatnya mulai tidak bekerja ketika kutemukan ada bayi rindu telanjang terlantar di muka pintu rumahku. Ketika kugendong, ada coretan kecil di telapak tangannya: ini anakmu. Semenjak itu, aku tidak lagi merasa cantik ketika kupakai jimat itu di telingaku. Mungkin karena waktuku tersita habis untuk mengurus bayi rindu haram jadah ini, aku tak sempat mengelapnya sampai mengkilau yang biasanya kulakukan tiga kali sehari. Aku ingat sebetulnya, si penjual mewanti-wanti untuk tidak membiarkan jimat itu merasa diabaikan. Kalau ia sudah ngambek, energinya hilang. Ya sudah. Karena sepertinya percuma, akhirnya kupasang pengumuman di pagar rumahku:


 


DIJUAL CEPAT JIMAT PENANGKAL RINDU. UNTUK BIAYA SEKOLAH BAYI RINDU


 


Sejujurnya aku tidak mengerti mengapa aku masih membesarkan bayi ini dengan segala sisa kekuatan yang ada. Jadi single parent memang susah ternyata. Tak jarang aku mengumpat lantaran kesal dengan tangisannya, dengan ketidakmampuannya untuk mengurus dirinya sendiri. Sampai suatu pagi setelah aku menyusuinya, aku memutuskan mencari bapak bayi rindu ini, laki-laki kurang ajar yang dengan seenaknya melempar tanggung jawab.


Setelah melewati sepuluh persimpangan, tiga tanda dari cabang pohon yang membisikkan kepadaku kemungkinan arah yang paling mungkin, dan bertanya pada burung merpati yang paling tahu arah jalan pulang, aku sampai di sebuah pondok kecil yang terletak hampir di ujung jalan. Tidak ada tetangga atau hewan peliharaan, cuma ada kebun kosong yang ditanami papan pengumuman:


 


TANAH INI MILIK TUHAN SAYA. DIPELIHARA DAN DILINDUNGI OLEH KALENDER MASEHI YANG BERGERAK MUNDUR


 


Ah, kerjaan orang kesepian. Paling-paling habis uang.


Butuh sepuluh ketukan sampai si tuan rumah menampakkan sedikit wajahnya dari sela pintu. Aku yang tak sabar dan sudah terlampau letih langsung mendorong pintu itu sekuatku dan ketika kulihat utuh seluruh tubuh tuan rumah yang berpakaian serba putih tersebut, aku langsung mengenali wajahnya. Mata hitamnya, gurat-gurat kasar itu, dan telinganya yang ditindik tapi tidak pakai anting. Tanpa aba-aba aku lantas mengumpat mencela mengutuk tanpa ampun. Menunjuk-nunjuk wajahnya, menyebut-nyebut bayi yang belum bernama itu. Sejurus kemudian tuan rumah itu menyelaku. Tanpa amarah, tanpa nada mengancam, “sudah kucipta seribu jimat penangkal rindu dan kutitipkan pada lima puluh penjual yang tersebar di kota. Percuma kau datang ke sini. aku sudah tak membuatnya lagi.“


Tai, kau! Dasar lelaki berbulu domba berhidung belang bermulut buaya berwajah seribu! Kusumpahi kau dikubur hidup-hidup oleh Tuhanmu di tanahmu sendiri.


 


~


Begitulah. Sejak hari itu, aku memutuskan untuk membesarkan bayi rindu ini sendirian, sampai beranak cucu. Kalau ia bertanya siapa ayahnya, akan kukatakan, “ayahmu adalah keturunan Adam yang kalah bertarung dengan dirinya sendiri.” Ketika usianya sudah lima belas tahun, ia akan paham bahwa tak penting untuk tahu siapa dan dimana ayahnya, selama ia bisa merawat dendam ibunya.


Akan kupelihara seekor anjing kecil untuk menemani hari-hari kami berdua. Kupastikan bulunya selalu putih tanpa kutu dan tak akan ada lolongan memilukan di setiap malam. Matanya akan selalu mengarah pada mataku dan tidak mencari yang memang tidak ada. Ia tak akan mati. Tak akan ada yang pergi kecuali memang sudah sampai waktunya.


Kelak ketika aku mati, tak akan ada namaku atau nama ayahku yang tergeletak di batu nisan kuburanku. Melainkan hanya ada sejumput kalimat yang diukir dari darahku sendiri: “Di sini tergeletak jasad seorang perempuan yang semasa hidupnya acapkali disetubuhi rindu, tapi selalu rela tidak dibayar.”


 


 


***

26 Dec 2019 20:08
485
9 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: