oranment
play icon
Dia yang Dikasihi dan yang Mengasihi
Kutipan Cerpen Dia yang Dikasihi dan yang Mengasihi
Karya ayleenlatieshanundt
Baca selengkapnya di Penakota.id

“Ardan!”, ibu teriak dari bawah. “Cepat bangun! Kau mau telat sekolah, hah?”


Ardan akhirnya bangun dari kasurnya dengan tidak semangat. Dia menatap keluar jendela dan menyaksikan matahari yang sudah terbit dari tadi. Lalu dia menoleh ke arah cermin dan langsung berhadap-hadapan dengan pantulannya yang disertai rambut berantakan. 


“Jam berapa sih ini?”, tanya Ardan pada dirinya sendiri – sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sedikit gatal. “Jam 7 kah? Aduh, aku telat bangun lagi?” 


Ardan mengangkat bahunya, “Bodo amat, aku izin sakit saja ke wali kelas. Toh ga penting juga sekolah hari ini. Aku juga masih ngantuk. Oke, balik tidur–”


“ARDAN MADE!!”, sahut ibu – memanggil dengan nama lengkapnya. “PENGEN BOLOS KAU YA?!”


“Apa sih, mak!”, sahut Ardan dengan keras. Diteriaki ibunya, bahkan sampai dipanggil nama lengkapnya, wah, Ardan segera memberes-bereskan dirinya dan menyiapkan tas sekolah dan buku pelajarannya. “Ini Ardan udah mau turun kok! Masih pagi, jangan teriak-teriak dong, mak!”


“Makanya kalau ga mau diteriaki mulu tiap pagi, bangun tepat waktu!”, ibu menoleh setelah mendengar suara derap kaki yang sedang menuruni tangga. Anaknya segera mengambil sepatu di rak dan langsung mengikat talinya dengan tergesa-gesa. 


Ibu menaruh sebuah piring berisi nasi merah, beserta dengan ikan kue bakar dan sayur capcay di samping. “Makan dulu, nak. Kau perlu energi”. Terlihat asap dari makanan itu mengepul dan aroma sedapnya mengisi ruang makan. 


Namun, aroma sedap itu tidak menggoda Ardan sama sekali. “Astaga, emak yang nyuruh aku cepat-cepat supaya tidak telat. Kenapa sekarang malah nyuruh makan? Ga jelas deh mak”


“Loh? Telat ataupun engga, kau harus tetap makan dong.”


Seusai mengikat tali sepatu, Ardan segera berdiri dan meraih tasnya. “Ga perlu, mak. Ardan makan aja di kantin sekolah”


Ibu melipat tangannya di dada. “Oh gitu, kau lebih mau makan makanan junk food kantin sekolah ya daripada makanan ibu.”


Ardan menepuk dahinya. “Aduuuh, ga gitu mak!”


Ibu menghela nafasnya. “Masih bingung loh ibu, kenapa ya si Louis itu mau temenan deket sama kau? Tanggung jawab simpel seperti bangun tepat waktu saja kau ga bisa; sampai tega-teganya lewatin makanan ibu untuk makanan kantin!”


Ardan yang hendak meraih pegangan pintu, segera menghentikan gerakannya dan berbalik menghadap ibunya. Mukanya sudah terlihat mulai jengkel. “Apaan sih, mak? Apa hubungannya Louis dengan ini? Kenapa sih emak ga pernah suka Ardan temenan ama dia?”


“Karena ibu tau kelakuan anak remaja”, balas ibu. “Waktu pertama kali ibu liat kamu dan dia bersama-sama, ibu udah tau dia ada maunya sama kamu”


“Ya iyalah lah mak. Namanya temen, pasti harus saling membantu. Kalaupun emak ngomongin tentang materi, emang kita keluarga kaya? Engga juga tuh! Kelebihan Ardan cuman kepintaran Ardan doang”


“Nah, itu tuh!”, Ibu menunjuk-nunjuk ke arah Ardan. “Louis mau minta bantuan untuk jawaban aja pas ujian. Bener kan, ibu?”


Ardan sudah sangat jengkel sekarang. “Mak! Ga usah sok tau deh! Dia gak kayak gitu orangnya, tau!” Walaupun Ardan mengatakan demikian, tetap saja dia sempat mengingat beberapa kejadian dimana Louis meminta jawaban saat ujian. Namun itu tidak terlalu diperhatikan olehnya.


“Kalau emak cuman mau ngata-ngatain Louis saja, Ardan pergi dulu kalau begitu!”, Ardan langsung membanting pintu rumahnya dan meninggalkan ibunya. 




“Heii Ardannn”, Louis, teman baik Ardan, mendekatinya seusai bel sekolah berbunyi. Ardan yang sedang memasukkan buku-bukunya ke dalam tas segera menoleh. Melihat teman baiknya, Ardan segera tersenyum.


Louis menepuk bahu temannya dan tersenyum lebar. “Makasih ya bro, udah bantuin tadi pas ujian. Kau membantu banget! Hahahahahaha”


Ardan mengacungkan jempolnya. “Anytime bro!”


Louis tertawa. “Hei, nanti jam 4 sore, gimana kalau kita nongkrong di tempat biasa kita–”


Tiba-tiba, wali kelas mereka masuk ke dalam kelas dan segera mendekati Ardan dan Louis. Wali kelas memberikan kertas ujian Ardan yang sudah dinilai dengan…tidak lembut. Dari raut muka sang wali kelas, sudah bisa ditebak nilainya Ardan tidak memuaskan.


“Ardan, Ardan…”, wali kelas menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kenapa nilaimu bisa menurun akhir-akhir ini? Kau tidak lulus!”


Ardan menerima kertas ujiannya dengan tidak peduli. “Iya, pak. Saya akan pelajari ulang.”


Setelah sang wali berjalan pergi, Ardan memasukkan kertas ujiannya ke dalam tas dengan sikap bodo amat. 


“Tunggu”, kata Louis. “Aku mengikuti jawaban kau saat ujian tadi. Berarti nilaiku…”


“Ah, sudahlah”, kata Ardan – sudah melupakan nilainya. “Apa yang kau katakan tadi? Nongkrong di…?”


Louis segera berkata, “Tidak jadi, tidak jadi. Emm.. Aku pulang dulu ya. Sampai ketemu besok, Dan”. Tanpa menunggu jawaban Ardan, Louis langsung beranjak pergi keluar kelas dengan hentakan kaki yang kasar – meninggalkan Ardan yang kebingungan.




“Tuh kan! Bener kata ibu!”, ibu berkata sesaat setelah Ardan menceritakan kejadian tadi siang di sekolah. 


Ardan yang sedang makan malam, menaruh sendoknya. “Apanya yang bener, mak? Dia cuman ada keperluan lain, makanya dia batalin nongkrongnya!”


Lalu, ibu menyadari hal lainnya; “Kenapa kau juga berbagi jawaban dengannya pas ujian?”


Ardan mulai lanjut makan lagi. “Yaa, dia perlu, mak. Itulah gunanya teman baik”


“Bukan begitu teman yang baik, nak!”, sahut ibu. “Selain itu, kau lihat? Nilai kau bahkan menurun! Dia memberikan pengaruh buruk ke kau. Jauh-jauh sajalah dari dia, nak”


“Astaga mak, cuman bagi-bagi jawaban dikit, apa masalahnya? Toh, buat Ardan, dia teman yang sangat baik karena selalu bantu Ardan kalau ada masalah. Lebih enak curhat ke dia daripada ke emak” 


“Wah, sudah berani melawan kamu ya. Kalau kamu tidak mau dengerin ibu lagi, tinggal saja kau di rumah Louis!”


Emosi Ardan sudah memuncak. Dia membanting sendoknya dan berdiri dengan kasar– mendorong kursinya hingga terjatuh. “Ibu kenapa sih?!! Selalu sok tau kehidupan Ardan dan perasaan Ardan?! Maaf ya, bu, tapi menurut Ardan, ibu sama sekali TIDAK mengerti perasaan Ardan! Ibu juga tidak perhatian pada Ardan, dan tidak sayang pada Ardan! Ardan benci ibu!”


Ardan segera lari keluar rumah, dan lagi-lagi, membanting pintu di belakangnya.


“Ardan!! Tunggu!!”, teriak ibunya – membuka pintu rumah. Namun, Ardan sudah tidak terlihat dimana-mana. “Ardan…kemana dia?” Saat ibu melihat ke atas langit, dilihatnya lah bintang-bintang sudah tidak berkelap-kelip. Bulan tidak terlihat karena ternyata sudah ditutupi awan. Langit menjadi gelap, dan tetes air pertama bisa turun kapan saja. “Haduh, sudah mulai mendung lagi…”




Ardan menendang kerikil kecil yang ada di jalan. “Kenapa sih ibu selalu gini? Terserah aku dong mau berteman dengan siapa. Aku kan sudah remaja!”


Disaat dia sedang bersungut-sungut, Ardan tiba-tiba menyadari bahwa dia mengenali jalan ini. Jalan ini sering digunakannya dan Louis untuk pergi ke tempat nongkrong favorit mereka. Dan betul saja, di sebelah kiri perempatan di depan, berdirilah tempat makan yang sering mereka datangi.


“Oh iya”, kata Ardan. “Aku ingat Louis berkata dia ingin mengajakku kesitu jam 4 sore. Sudah malam gini, tidak mungkin dia akan disana. Apalagi tanpaku. Tapi tidak ada salahnya untuk nengok sebentar.”


Ardan menoleh ke arah kaca tembus pandang tempat makan itu. Dan betapa kagetnya dia saat dia melihat sahabatnya sedang duduk di salah satu kursi disana. Ardan masuk ke dalam resto itu. “Hei! Loui–”, Ardan berhenti memanggilnya saat dia melihat bahwa Louis tidak sendirian. Dia bersama 3 teman lainnya dan sepertinya sedang bersenang-senang. 


“Hei, Lou!”, kata seorang dari mereka sambil menepuk bahu Louis. “Mau pergi ke ke rumah Ivan ga habis ini? Kita sleepover!”


“LOH?! Kenapa rumahku?!”, balas orang yang bernama Ivan. Mereka semua tertawa. 


“Ajak temanmu itu, Louis!”, kata seorang yang lain. “Yang…siapa namanya? Oh iya, si Ardan yang pintar itu! Karena kertas jawaban yang kamu minta dari dia, kita jadi bisa tau jawaban-jawabannya pas ulangan! Kita berhutang banget padanya!”


Louis berkata, “Apanya yang berhutang? Kalian kan sudah beli jawabannya. Sudah lunas itu!”


Hah? Louis menggunakan kertas-kertas jawaban itu untuk dijual pada mereka?, pikir Ardan. Bukannya itu sedikit keterlaluan?


Louis melanjutkan, “Lagipula, dia akhir-akhir ini nilainya jeblok! Turun drastis! Aduh, kalau gini terus, apa gunanya lagi dia?”. Mendengar Louis mengatakan itu, Ardan langsung tersentak. 


“Hah? Serius?”, tanya Ivan, “Bah kalau gitu mah, ga usah ajak dia! Waduh, jangan-jangan kertas jawaban yang kamu kirim tadi salah lagi!”


Louis menghela nafas panjang. “Sayangnya iya. Hari ini saat nilai Ardan diberikan, wah nilainya bahkan tidak melewati KKM! Sudah tidak ada gunanya dia bagi kita”


“Bahahaha! Ya sudah, kira cari saja orang lain yang lebih pintar dari Ardan”, kata seseorang. “Gimana kalau si Jeno?”


“Wah boleh tuh! Si Hana juga boleh. Kira-kira yang mana lebih menguntungkan, ya? Yang ga bakal pernah jeblok kayak si Ardan itu!” Mereka semua tertawa puas.


Ardan – merasa dikhianati – sudah beranjak keluar tempat makan itu dari tadi …




Melihat hujan turun dengan deras di luar jendela, Ibu menjadi tambah khawatir akan keberadaan anak tunggalnya. “Sudah jam segini, hujan deras, kemana sebenarnya anak itu?” Sesaat setelah itu, Ibu teringat akan satu tempat dimana anaknya mungkin berada. Ibu tidak yakin apakah Ardan akan berada disana, namun Ibu tetap ingin mengecek tempat itu. Memegang keputusan itu, Ibu mengambil sebuah payung, membukanya, dan berjalan keluar rumah – melewati hujan deras tersebut.


Memasuki sebuah hutan lebat, sang ibu terus melewati pepohonan dan hujan yang masih belum berhenti. Ibu memegang pegangan payungnya dengan amat erat dan terus berlari tanpa henti. Kakinya mulai keram, lengan dan kakinya sudah penuh dengan goresan dan memar, namun Ibu tetap terus berlari, berlari, dan berlari.


Hingga sampailah ia di sebuah rumah kecil tua, di tengah pohon-pohon. Yang sang ibu tahu adalah, setiap kali Ardan tidak pulang, dia pasti berada disini. Ibu mulai mendekati pintu depan rumah tersebut dan mengetuk dua kali.


Tok… Tok… Ardan, kau ada di dalam?”, tanya Ibu. Tidak ada respon. Ibu mencoba mengetuk lagi. “Ardan?” Masih belum ada suara apapun. Disaat Ibu ingin mengetuk lagi, terdengar sebuah benda terjatuh di dalam rumah itu. Suaranya nyaring sekali hingga sedikit mengejutkan Ibu.


“Ardan, kau tidak apa-apa?”, ibu bertanya lagi. “Ayolah, pulang. Ibu tau kau ada disana”


Ardan masih tidak ingin merespon.


Ibu menghela nafas. “Kalau begitu, ibu tunggu saja sampai kau mau keluar”. Berdiri di depan pintu rumah tua, memegang payung, di tengah hutan dan hujan lebat, seorang ibu menunggu. 


Sekitar setengah jam kemudian, Ardan – dengan suara yang tersendat – membuka suara,


“Ibu…?”


“Iya, nak?”


Ardan mengelap mata dan hidungnya, “Ibu benar. Louis hanya memanfaatkan kepintaran Ardan doang. Tadi Ardan melihat dia ngomong-ngomong sama teman-temannya tentang Ardan.”


Mendengar hal itu, Ibu menghela nafas panjang.


“Orang yang Ardan percaya banget, ternyata orangnya gitu.” Air mata Ardan mulai membasahi permukaan matanya. “Ga ada yang bisa Ardan percaya sekarang. Ga ada yang peduli sama Ardan. Ga ada yang sayang sama Ardan–”


DUMMMM!!! 


Tiba-tiba, pintu rumah itu mengeluarkan bunyi yang keras. Lalu, hening. Setelah itu, suara derap langkah kaki terdengar sedang berlari mendekat ke pintu, dan bunyi keras itu kembali terdengar. 


DUMMMM!!! 


Ardan mengangkat kepalanya. “Ibu? Ibu ngapain?”


“Ayo, nak. Kita pulang bersama.”, ibu berkata – kembali membanting tubuhnya ke pintu dan suara dum keras terdengar lagi. Pintu itu terkunci dari dalam, dan sepertinya Ardan tidak ingin membukanya. Menyadari hal ini, Ibu menaruh payungnya, membiarkan dirinya terkena hujan deras, dan mulai mendobrak pintu – berharap pintu itu bisa terbuka.


Tidak berani membayangkan tubuh ibunya yang mungkin sekarang sudah memar habis mendobrak beberapa kali, Ardan berkata dengan panik, “Bu, sudahlah, ibu pulang saja. Biarin Ardan sendiri disini!”


Kembali mendobrak pintu itu, Ibu berkata, “Ibu tidak akan meninggalkan tempat ini kalau kau tidak keluar!”


“Serius, bu, ibu pulang saja—” Tiba tiba suara dum berhenti – digantikan oleh suara batuk-batuk dari luar. 


“Tuh, ibu ‘kan tidak tahan terhadap cuaca dingin. Ini hujan deras sekali! Kumohon, bu, pulanglah –” Namun, suara dum itu kembali terdengar. 


Ardan, yang tidak bisa lagi menahan kepanikan dan kesedihan pada suaranya, memohon terus-menerus agar ibunya berhenti. Tapi, suara dum itu tidak berhenti. Bahkan tidak berkurang. Ardan menutup kedua kupingnya – tidak tega mendengar tubuh ibunya yang terus-terusan terbanting ke pintu keras. “Bu..! Kumohon, hentikan! Ibu bisa sakit!” 


Setelah berkali-kali ibunya membanting tubuhnya ke pintu itu, setelah berkali-kali Ardan juga memohon agar ibunya berhenti, akhirnya beberapa detik kemudian, suara dum itu berhenti. Sekarang, digantikan oleh batuk-batuk yang terdengar lebih parah daripada sebelumnya.


Saat Ibu sedang batuk-batuk, sambil bersiap-siap untuk membanting tubuhnya lagi, Ardan mengambil kesempatan singkat ini untuk berbicara,


“Bu…”, Ardan berbicara dengan sangat pelan. “Ardan sudah sangat tidak mendengarkan ibu. Sudah ngeyel. Tidak percaya perkataan ibu..” Argan menggigit bibirnya. “Bahkan… sudah berkata bahwa Ardan membenci ibu… Jadi, biarkan Ardan tinggal disini saja, walaupun hanya semalam.” Ardan mengepalkan tangannya. “Emang ibu senang punya anak kayak Ardan gini?”


“Hah?!! Apa maksudmu Ardan?!”, tanya Ibu. “Ardan, kau itu anak ibu! Ardan adalah tulang-daging ibu sendiri! Walaupun Ardan menjadi anak suka ngeyel, tidak penurut, tidak mau mendengarkan, ibu akan tetap sayang sama Ardan. Itu karena Ardan adalah anak ibu!”


“Tapi…bu…”, isak Ardan. “Ibu kan marah-marahin Ardan mulu…”


Kehabisan energi, Ibu menghela napas. “Ya sudah, Ardan kalau tidak percaya tidak apa-apa. Tapi sekarang Ardan keluar dulu yuk. Kita pulang”. Ardan seakan-akan bisa merasakan senyuman ramah ibunya di luar. “Ibu sudah masak makanan kesukaan Ardan loh. Nasi dengan ikan Gurame asam-manis. Ardan belum makan ‘kan dari tadi?”


Setelah hening beberapa saat, Ardan berdiri. Dia berjalan ke arah pintu itu, dan akhirnya, membuka kuncinya. Pada saat dia membuka pintu itu, dia melihat sosok ibunya, tapi tidak berani menatap mukanya. Namun, Ardan menyadari tangan ibunya yang penuh dengan luka dan goresan. Ardan memandang memar-memar itu; pada lengan, bahu, leher, hingga akhirnya matanya berpapasan dengan mata ibunya. 


Sambil mengepalkan tangannya erat-erat, Ardan menahan isakan tangisnya. Lihatlah.. Tubuh sang ibu sudah dipenuhi memar dimana-mana. Goresan dan luka sehabis menelusuri hutan tadi juga belum pulih. Mukanya bahkan lecet dan terlihat biru. Namun senyuman pada bibir ibunya masih lebar dan penuh kebahagiaan.


"Akhirnya kamu mau pulang ya, nak", ibunya senyum dengan lebar hingga giginya terlihat.


Ibu melihat ada sebuah luka kecil yang berdarah di pipi Ardan. Ibu segera mengelapnya menggunakan bagian bajunya. “Aduh, Ardan, hati-hati dong ya”, Ibu berkata dengan senyuman, yang lalu terpotong dengan batuknya. Ardan tidak menyukai perasaan sedih ini; ibunya mengelap sebuah luka kecil padanya dengan lembut, namun ia sendiri dipenuhi oleh luka-luka besar yang tak terhitung jumlahnya.


Bedanya adalah… Tidak ada yang mengelap luka sang ibu. Ibu sudah tahu. Tapi senyumannya tetap ramah. Matanya menatap anaknya dengan penuh kasih.


Lalu, Ibu mengambil payung yang terletak di tanah. Ia mengangkatnya ke atas Ardan sehingga Ardan terlindung dari hujan. Ardan menatap ibunya yang sama sekali tidak dilindungi payung. Melainkan, ia berkata dengan senyuman, “Ayo, dipegang, Ardan ga mau basah kan?”


Disaat itu, Ardan langsung melompat ke arah ibunya dan memeluknya seerat mungkin.


"Maafin Ardan, bu!", seru Ardan sekencang mungkin. Air mata terus mengalir pada wajahnya. "Ardan salah! Ardan salah!"


Payung itu terjatuh. Ardan kembali terkena hujan, tapi dia tidak peduli. Ardan terus menangis dalam dekapan ibunya. Semua air matanya keluar. Tangisannya menggema ke seluruh hutan, tapi dia tidak peduli. Benar-benar tidak peduli.


Ibu yang amat terkejut, langsung mendekap Ardan, “Nak, kenapa menangis? Ada yang sakit?”


Ardan hanya menggeleng dengan kuat. Hujan yang turun memberikan hawa dingin. Namun Ardan merasakan kehangatan dalam dekapan ibunya. Terakhir dia memeluk ibunya, adalah saat dia masih kecil. Betapa senangnya dia memeluk ibunya dulu. Dan sekarang, perasaan itu kembali datang, dan mengingatkannya betapa hangat dan nyamannya dekapan seorang ibu. Kehangatan tersebut... membuat Ardan tersenyum. 


“Bu…”, Ardan memanggil.


“Iya, nak?”, sang ibu mengelus rambut anaknya.


Merasakan belaian sang ibu yang amat lembut, Ardan tersenyum dengan lebar. “Ardan sayang ibu”.



calendar
26 Apr 2022 13:13
view
110
idle liked
4 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
close
instagram
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
close
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh:
example ig