Sejak malam jumat kemarin, aku bertetapan duduk mengamati sepasang bunga dan daun. Angin, bersepoi lembut pertanda akan tiba hujan. Sambil mencerna kehidupan, aku terbuai dalam gerak gerik bunga dan daun. Mereka berbincang pasal dunia yang fana. Mereka bakal mengerti salah satu diantaranya akan gugur, layu, rapuh, jatuh, hingga separuh kesadaran hilang terbawa luka yang menganga.
Bunga itu pun mulai mengajukan pertanyaan; "kenapa semakin bertambah usia, manusia muda menjadi renta tua. Rambutnya berubah memutih?"
Aku terdiam, melihat tanaman itu menanyakan perihal tersebut. Lalu kujawab dengan perlahan jelasku, "ya begitulah mati nanti aku akan dikafankan dengan kain putih tanpa ada sehelai pakain bagus yang melekat seperti pertama kali aku hidup telanjang datang ke bumi."
"Lalu mengapa manusia semakin tidak jelas memaknai dunia ini?" Tanya daun yang sudah tidak sabar menyela.
Jawabku, "bukan karena kami tidak mengerti dunia lagi tetapi tuhan sedang menjelaskan pandangan bahwa memang benar dunia hanya fana, dan makhluk kehidupan itu nyata. Tuhan semakin menjelaskan bahwa dunia ini hanya sementara, dan akhirat telah jelas diubun kepala."
Langit menggelegar, pertanda cuaca mendung mulai menghujam. Kemudian, suara ibu yang memanggilku memecahkan suasana perbincangan. Membuat bunga dan daun mematung sambil menutup obrolan.
Hujan pun turun membasahi semua isi makhluk yang hidup dibumi, dan cerita singkat malam itu menyadarkan aku semakin percaya bahwa dengan bersyukur dan berdoa tuhan senantiasa menjaga hambanya.
masih terdengar sampai disini
dukaMu abadi. Malam pun sesaat terhenti
sewaktu dingin pun terdiam, diluar
langit yang membayang samar
kueja setia, semua pun yang sempat tiba
sehabis menempuh ladang Qain dan bukit Golgota
sehabis menyekap beribu kata, disini
di rongga - rongga yang mengecil ini
kusapa dukaMu jua, yang dahulu
yang meniupkan ruang dan waktu
yang capai menyusun Huruf dan terbaca:
sepi manusia, jelaga