Pada sebuah penantian, hasrat ku kembali melawan. Belakangan ini, aku melihat seorang lelaki. Duduk bersimpuh menikmati cahaya senja yang membias di wajahnya. Sedang apa ia? Timbul rasa penasaran, yang telah lama hilang ku simpan rapat dalam relung ingatan. "Ah, mengapa aku menjadi terlihat menginginkan, gumam ku atas semua prasangka."
Senja - senja berlalu, aku selalu duduk di tepi pesisir laut, sementara ia duduk di tepi batu karang yang di adu ombak. Langit sama tampak biru, bagai air laut yang bercermin pada langit, sorot mata ini tak pernah kelu untuk berhenti tertarik.
Waswas aku, seketika wajahnya yang cerah diterangi cahaya mengarah kepadaku. Biru matanya sama akan halnya dengan langit dan laut. Dadaku tak kuasa memompa terlalu cepat. Aku berusaha mengalihkan pandangan, namun wajahnya tak lekang dalam pikiran. Seketika tubuhku beranjak, pergi mendahului senja yang belum selesai untuk tenggelam.
Keesokannya aku tidak sempat menemui senja hari itu, bahkan hari ini dan hari lusa yang lalu. Aku tidak datang menemuinya, sebab hujan selalu hadir di sela keinginan rindu yang ingin menjadi pemiliknya.
Senja berikutnya, aku kembali datang. Ia tak tampak, dari tempatnya duduk ditepi batu karang. Ada rasa kehilangan. Seolah aku selalu menginginkan hadirnya lagi dan lagi. Hingga satu jam telah berlalu, senja mulai redup, kau dimana wahai lelaki bertabik sunyi. Udara terasa dingin dan malam pun semakin gelap, tapi tunggu, apa itu? cahaya seperti tungku yang bergerak mengarah kepadaku. Langkahnya perlahan-lahan mulai mendekat, matanya yang biru mulai menatap hangat.
"Cuaca akan turun hujan, mengapa kau masih menunggu malam? Tanyanya yang sedikit penasaran."
"Aku hanya mencari udara segar, dan ini aku akan kembali pulang, jawabku yang terlanjur kaku."
"Sebentar, kau lupa sesuatu, tahannya lagi, selagi aku beranjak pergi."
Ia keluarkan secarik kertas dari balik saku bajunya yang telah lusuh dimakan waktu.
"Ambil ini, untukmu hanya ini yang dapat kuberikan, dan bawalah lampu teplok ini untuk menjagamu di setiap perjalanan pulang, ujarnya sambil menyerahkan barang-barang itu kepadaku."
Tanpa perlu khawatir, tanpa perlu merasa risih, tanganku bergerak menerima pemberian darinya.
"Apa ini, jawabku."
"Sudah pulanglah dulu, hari semakin gerimis hujan akan datang dengan deras, ucapnya mengamati keadaan."
Memang benar angin cukup kencang berhembus, suaranya menyentuh telinga berdengung. Tanpa berpikir panjang, aku mulai melangkah pulang.
"Sampai nanti, pasti kita bertemu lagi, ujarnya penuh meyakinkan." Wajahnya begitu damai dan tenang, jika memandang seperti bercermin pada langit dan laut.
Aku hanya membalas senyuman itu, dan berlalu meninggalkan lelaki bertabik sunyi seorang diri.
Sampai di rumah, aku membuka suratnya. Aku mengerutkan dahi, tak paham apa maksud tulisannya.
aku tengah menantimu, mengejang bunga randu alas
di pucuk kemarau yang mulai gundul itu
berapa Juni saja menguncup dalam diriku dan kemudian layu
yang telah hati-hati ku catat, tapi diam-diam terlepas
awan-awan kecil melintas di atas jembatan itu, aku menantimu
musim telah mengembun di antara bulu-bulu mataku
kudengar berulang suara gelombang udara memecah
nafsu dan gairah telanjang disini, bintang-bintang gelisah
telah rontok kemarau-kemarau yang tipis; ada yang mendadak sepi
ditengah riuh bunga randu alas dan kembang Turi aku pun menanti
barangkali semakin jarang awan-awan melintas disana
dan tak ada, kau pun, yang merasa ditunggu begitu lama
Dan lagi-lagi aku membiarkan atmosfer di sekitar menyetubuhi diriku dengan dinginnya malam yang semakin kelam. Sampai di penghujung alam, mata terpejam, selamat malam.