Aroma Karat Truk Sampah
Cerpen
Kutipan Cerpen Aroma Karat Truk Sampah
Karya bhatarafana
Baca selengkapnya di Penakota.id


Angin membawanya berkali-kali pulang; rumahnya yang ditegaskan satuan jarak, masa kecilnya yang raib satu per satu, perempuan yang meninggalkan lubang besar di halaman kesadarannya, dan asal usulnya yang tidak pernah bisa ia lihat. Lelaki itu duduk di atas bebatuan pinggir pantai barat kota. Hanya ada sepasang kekasih dan seorang ibu dengan anaknya yang baru berumur sekitar dua tahunan di pantai itu.

Rambutnya yang bergelombang menyentuh malu-malu bahunya kerap diacak-acak angin. Tubuhnya gemuk sedikit, garis wajahnya begitu tajam yang siap memotong tatapan setiap mata yang tertuju padanya. Kumis tipis dan jenggot yang baru dicukur ikut merasakan angin laut yang begitu asin

Sudah menjadi rutinitas baginya untuk mengunjungi pantai ini tiap senin sore. Pekerjaannya sebagai pegawai di toko percetakan memperbolehkannya pulang pada pukul empat sore. Dan setiap selasa, ia kebagian jam kerja sekitar pukul tiga sore hingga sembilan malam. Karenanya, sore hingga malam di Senin ia pakai untuk mengunjungi pantai ini dan santai di malam harinya, entah di kamar indekosnya atau di tempat lainnya.

         Diambilnya sebatang rokok filter bersamaan dengan korek gas berwarna merah. Setelelah nyala, diisapnya dalam-dalam dan dihembuskannya dalam bentuk asap yang tidak terlalu pekat. Ia suka duduk di sini.

Selain karena ini hari Senin dan pantai menjadi sepi, ia memang senang memandangi pesta di bibir pantai antara laut, angin, pasir, dan gemerisik daun kelapa. Dari dalam tas selempang yang ditaruh di batu besar di sisi kanannya, ia mengambil kaleng minuman bersoda, dan mulai meminumnya saat gelembung-gelembung kecilnya pecah dan mengunjungi kulit wajahnya. Jam tangannya sudah menunjukkan angka empat lewat lima puluh menit. Ditariknya rokok dalam-dalam, dan diembuskannya dengan perasaan yang sulit ia gambarkan.

         Bersamaan dengan terpaan angin yang melaju tanpa rambu, seorang perempuan yang kira-kira berumur lima puluhan berjalan di pantai tersebut. Pakaiannya agak kurang cocok dengan napas air laut dan pasir kelabu cerah; celana bahan hitam, kemeja bermotif seperti batik warna biru, ransel coklat, dan sepatu yang sedikit tinggi. Ia tiba-tiba berdiri di hadapan lelaki berumur dua puluh tahunan awal itu. Kekesalan mulai meraba dirinya, namun terganti dengan keheranan saat ia memperhatikan siapa yang menghalanginya.

         “Wisra?”, perempuan tua itu menunduk pada Wisra yang sedang duduk. Merasa terintimidasi, Wisra berdiri.

         “Benar. Ibu, siapa?”

         “Ternyata kamu memang suka ke sini, ya. Benar.”, tiba tiba ia menaruh tas Wisra di dekat kakinya, kemudian duduk di batu sebelahnya. “Ibu siapa?”, ulang Wisra.

         “Duduk saja dulu.”

         Gemerisik ombak menggelitik siapa pun yang mendengarnya merasakan sebuah sensasi ketenangan. Namun ketenangan Wisra tengah mengalami sebuah gangguan mendadak, yang membuat isi kepalanya riuh ramai dengan spekulasi yang bertabrakan.

         “Di mana rumahmu sekarang, nak?” Pandangan perempuan tua itu menembus butiran-butiran asin air laut yang terbang sejenak di udara setelah menabrak beberapa batu karang.

         Sekarang? Apakah dia tau dulu aku tinggal di mana? Apa dia mengecek masa laluku? Membuntutiku? Siapa kamu, perempuan tua berpakaian aneh?

         “Aku perlu tahu sebelumnya, bu. Ibu siapa?”

         “Masih ingatkah kamu aroma karat truk sampah?”

         Dunia serasa tidak sengaja memencet tombol pause. Wisra menatap lekat-lekat perempuan tua di hadapannya dengan kekagetan luar biasa yang coba ditahannya sebisa mungkin.

         “Beri aku alamatmu, nak. Kita punya pembicaraan panjang nantinya. Terlalu lama diterpa angin pantai membuat masuk angin.” Sembari tersenyum, gigi-gigi taring atasnya yang mulai hilang menyembul malu-malu.

         “Rumahku di timur kota, indekos Teratai, no 14.”

         “Nanti malam aku ke sana. Sampai jumpa, nak.”

         Perempuan tua itu menggendong tasnya kembali dan meninggalkan Wisra seorang diri. Matahari semakin jatuh, pantai semakin sepi. Tidak sadar, ia telah membuang rokoknya yang tadinya masih setengah ia hisap. Sekarang sudah menjadi abu semua. Ditenggaknya sisa minuman sodanya, lalu pulang ke indekosnya dengan motor bebeknya.

         Di kamar indekosnya, Wisra hanya duduk di atas kasurnya. Buku Crime and Punishment-nya Dostoevsky hanya digenggamnya tanpa dibaca. Pikirannya terlampau penuh. Darimana perempuan tua itu tau mengenai aroma karat truk sampah?

         Sedari kecil, Wisra selalu mengalami bayangan buruk. Dahulu, itu terjadi hampi setiap hari, setiap kali dia tidur atau melamun. Sekarang hal itu hanya terjadi kira-kira seminggu sekali, jika ia merasa kelelahan. Banyak cara sudah dilakukan, termasuk pergi ke psikiater. Obat pun sudah ia konsumsi dua hari sekali. Tapi, bayangan buruk itu enggan pergi total.

         Bayangan buruk itu selalu memiliki sebuah keadaan yang nyaris persis sama. Ia jatuh dari sebuah kereta, kemungkinan karena dilempar. Setelah terguling-guling cukup lama, ia akan berdiri dengan rasa gemetar luar biasa di dengkulnya. Tidak ada apa-apa di sekelilingnya. Bahkan rel keretanya pun telah lenyap seiring berjalannya gerbong-gerbong yang agak berisik itu.

         Tidak ada apapun, namun bukan berarti hanya hitam atau putih. Keadaannya sulit digambarkan dalam kata-kata. Ia berada di suatu tempat, namun ia tidak eksis di situ. Seakan-akan dunianya ialah gerbong kereta itu. Hanya kekosongan dengan warna coklat agak kelabu, dan terkadang ada bunyi menjijikan yang selalu membuatnya bergidik setiap mengingatnya saat terbangun.

         Semua gambaran itu terjadi seakan-akan sangat lama, membuatnya merasa lebih baik mati saja. Dan dalam bayangan itu, bau yang ia cium pasti berupa aroma yang ditimbulkan karat besi di truk sampah: bau busuk yang dicampur bau oksidasi besi. Entah ia benar-benar menciumnya atau tidak, yang jelas kesadarannya mengindikasikan bahwa itu adalah aroma karat truk sampah. Ia tidak bisa memastikan, apakah bayangan ini ada sangkut pautnya dengan masa lalunya, atau sekadar penyakit syaraf.

         Dalam kesehariannya, setiap Wisra bertemu truk sampah dijalan, ia pasti mencium aroma itu, dan merasa tenang sekaligus gelisah. Hal itu merupakan sebuah gundukkan tanda tanya besar yang sulit ia urai dalam hidupnya.

         Pukul sembilan, perempuan itu datang. Ia menggunakan baju bahan motif batik ungu tua, celana bahan hitam, dan tas jinjing berwarna biru tua.

         “Silakan masuk, bu.”

         Perempuan tua itu masuk. Dilepasnya sepatu karet murahan, dan masuk sambil menebar pandang, menyapu seluruh isi kamar. Wisra baru menyadari, muka perempuan itu terlihat terlampau pucat, dan badannya membunyikan getaran yang halus.

         “Lebih baik, kita langsung saja.” Perempuan tua itu menarik kursi meja belajar, membalikannya, dan duduk menghadap kasur. Wisra duduk di tepian sudut kasur. Lampu LED-nya menerangi pertemuan itu dengan cahaya yang terasa berbeda kali ini. Wisra membisu, membiarkan perempuan itu menjelaskan semuanya.

         “Wisrawa Diananta. Sudah lama sekali. Kelewatan lamanya, bahkan.” Ia tersenyum dengan menampilkan giginya, dan badannya kembali bergetar, kali ini agak kencang. “Berapa usiamu? 23? 22? Waktu jalannya memang keterlaluan cepatnya. Namun, di beberapa malam, waktu terasa berjalan lambat, seakan mau melumatku dengan air liurnya yang penuh dengan penyesalan.

         “Aku minta maaf, nak. Sungguh minta maaf dengan tulus. Aku dan ayahmu menyesal membuangmu ke truk sampah di depan gapura kampung waktu itu. Aku sungguh menyesal. Utang kala itu sangat mencekik leher kami, dan kakak-kakakmu yang jumlahnya delapan itu bahkan hampir mati kelaparan. Kami tidak mau kamu hidup dalam keadaan begitu, sebab itu kami terpaksa membuangmu.”

         Kesunyian kental tumpah di kamar 5x6 itu. Wisra kehilangan kemampuannya mengingat dan menyebut segala kata yang ia tahu. Ia hanya berbicara bahasa keheningan.

         Kursi meja belajar itu ditarik dan didekatkan kepada Wisra. Digenggamnya tangan anaknya itu yang berpisah semenjak kesadaran lelaki itu belum benar tumbuh. Selama dua puluh menit berikutnya, hanya genggaman tangan, tangisan tertahan, dan atmosfer pengap yang menyelimuti mereka berdua. Keduanya menukar kesedihan, penyesalan, dan kemarahan lewat tangan dan air mata mereka.

         “Ibu harus pergi, Wis. Ibu harus pergi.” Wisra menghapus sisa air matanya dan menarik lendir di hidungnya sembari menunduk, seiring genggaman tangan dari seorang perempuan yang dulu mengandungnya mengendur dan terlepas.

         “Ke mana lagi, bu? Dua puluh tahun lebih ibu sudah pergi, mau ke mana lagi?”

         “Ibu mau pulang, Wisrawa. Mau pulang. Ayahmu sudah manggil-manggil ibu. Rumahnya terlampau sepi, katanya.”

         Wisra menangkap arah percakapan ini. Kesedihannya mendidih kembali.

         “Sakit apa, bu?”

         “Mirip ayahmu, Wis. Jantung ibu banyak kelainannya. Maklum, seiring umur.”

         “Pucat sekali ibu. Tangan ibu pun agak panas. Ibu demam? Aku ambilkan minum sebentar.”

         “Tidak, Wis. Enggak usah. Ibu mau ke tempat yang ibu ingin untuk penjemputan.” Keheningan terjadi lagi dengan singkat, namun deras.

         “Ibu enggak mau..istirahat di sini?” Ia ingin mengatakan dijemput, namun ia tidak kuat mengatakannya.

         “Tidak, Wis. Tidak tega ibu harus pergi dengan pemandangan terakhirnya adalah wajahmu. Bertemu denganmu sudah sangat meringankan penderitaan ibu, Wis. Dan menyelesaikan wasiat dari ayahmu. Ibu senang melihat kamu sehat-sehat begini.”

         Perempuan tua itu berdiri, mengambil tas jinjing kecilnya, dan memberikan selembar foto. Isinya enam orang anak lelaki dan dua anak perempuan, serta seorang ibu dan seorang ayah.

         “Kalau kamu ingin tahu saja, Wis. Tidak ada maksud apa-apa. Sekalian kenang-kenangan.” Dipakainya sepatu karet murahannya. Wajahnya kian pucat akibat habis menangis. Gemetar di badannya tak mampu lagi disembunyikan.

         “Ibu pamit, Wis. Pamit. Maaf ya, Wis. Ibu, Ayah, dan sodara-sodaramu, menyayangimu.”

         Wisra terpaku memandangi ibunya menuruni tangga indekosnya yang menghadap ke pemandangan kota. Ia tidak mampu melakukan apapun, kesadarannya runtuh total. Dipandanginya sebuah foto berwarna yang agak buram itu.

         Kembali masuk ke kamarnya, ia membakar sebatang rokok. Sebuah hari yang sangat panjang, memanjang hingga ke dua puluh tiga tahun ke belakang. Kemarin, ia hanya seorang Wisra yang hidup di panti asuhan sampai umur sepuluh tahun. Hari ini, ia adalah anak buangan yang ditemukan di truk sampah.

         Malam masih berjalan. Kepakan kelelawar mengisi udara. Ditenggaknya sebutir obat tidur, dan dalam hitungan menit, jatuh terlelap.

         

         Wisra bangun dengan perasaan aneh. Seakan ia tidak hadir di bumi ini.

         Bayangan buruk itu tidak lagi datang. Aku sudah menemukan gerbong kereta itu, tangan yang melemparku, dan tempat asing diriku terjatuh. Mimpi buruk sudah hilang. Namun, gemetar dan panas genggaman tangan ibuku, mustahil hilang, kurasa.

         Tapi ada sesuatu yang mengganggunya. Kedatangan ibunya sangat membingungkan. Darimana ia tahu di mana Wisra tinggal? Mengapa baru sekarang? Mengapa ia yakin betul dirinya akan mati malam itu?

         Ada sesuatu yang besar menunggu di baliknya. Wisra merasakan bahwa ada kehendak yang menginginkan Wisra memercayai cerita perempuan itu. Apa jangan-jangan, mimpi itu hanya diciptakan untuk…si pemilik kehendak aneh ini?

         Perasaan merasa dilempar di tempat asing pun masih melekat dalam kesadarannya. Diambilnya foto yang diberikan ibunya dan ditatapnya lekat-lekat.

         Ada sebuah kalimat di dalamnya, sebuah pesan singkat.

         Kemarin sore, Wisra adalah pekerja di percetakan biasa yang tumbuh besar di panti asuhan. Malamnya, ia adalah anak yang dibuang di truk sampah. Pagi ini, Wisra ternyata tidak pernah masuk ke dalam jenis manusia.


-Bhatarafana

24 Sep 2020 15:40
147
Bogor, Jawa Barat, Indonesia
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: