Perkawinan Laut dan Kekosongan
Cerpen
Kutipan Cerpen Perkawinan Laut dan Kekosongan
Karya bhatarafana
Baca selengkapnya di Penakota.id

Sepanjang malam, aku hanya menghapalkan bunyi asin air laut. Sekujur udara dipenuhi angin-angin yang tidak tajam. Bulan telanjang berhadapan dengan muka laut dan bibir tipis pantai. Aku selalu suka jika minggu malam datang. Saat orang lain tengah mencoba tidur agar tidak terlambat bekerja, aku dapat menghabiskan malam menyaksikan kekosongan pantai melumat dunia. Sebungkus Dunhill putih, serta tiga kaleng minuman bersoda, apapun mereknya, menjadi bekal rutinku, meenemani duduk di atas batu karang kecil dekat pohon kelapa.


Tidak ada kegiatan spesifik yang aku lakukan. Hanya bengong, melamun. Selayak perayaan atas kemampuanku tersebut, karena tidak semua orang ternyata pandai melamun. Pekerjaanku sebenarnya bukanlah sebuah kerja yang begitu berat. Aku hanya seorang penjaga kedai minuman lokal, baik hangat maupun dingin, baik rempah-rempah maupun soda, di pusat kota. Kunjungan rutin ke pantai ini bukanlah pelarian dari pekerjaanku, bukan. Aku hanya mengingat momen tersebut, sebuah upacara penghormatan. Aku tidak pernah tahu siapa orang tuaku. Menurut pengasuhku di panti asuhan, Bu Triwa, aku ditemukan di pantai ini, digoyang-goyangkan ombak di tepian pesisir. Bedongku sangat basah dan suhu tubuhku saat itu seperti mayat. Tubuh mungilku kering kerontang, dan sangat bau amis. Seolah-olah, aku dilahirkan oleh laut. Mungkin, bisa jadi.


Sisa ceritanya, aku menghabiskan masa kecil yang buruk di panti asuhan. Dipukuli, dilecehkan, perpeloncoan, pemalakan. Beruntung di umur 12 tahun, aku berhasil mematahkan gigi milik anak lelaki yang gemar memukulku tanpa alasan, dan kabur selama-lamanya dari tempat itu. Aku bertemu dengan seorang lelaki paruhbaya pemilik tempat servis hape, dan tinggal bersama keluarganya sampai umurku 18 tahun. Disekolahkan pula olehnya, sungguh keluarga yang sangat baik. Betapa terpukulnya aku saat itu, ketika aku bekerja di tempat photocopy sepulang sekolah dan mendapati asap mengepul dari arah timur. Tempat kerja-paruh ku tersebut tidak jauh dari rumah. Tanpa izin, aku berlari, dan menemukan rumahku sudah rata dengan api. Seluruh keluarga angkatku dilahapnya: ayah, ibu, dan seorang kakak perempuanku. Walau tinggal bersama keluarga tersebut hanya sekitar 6 tahun, aku benar-benar terpukul. Hidupku sempat kuhabiskan di jalanan, mencuri, menjambret, maling. Aku tidak tahu cara lainnya untuk mendapatkan uang. Hingga pada suatu waktu, aku minum teh hangat di sebuah kedai (karena kebetulan hasil mencopetku begitu besar), dan sang pemilik tempat menawarkan pekerjaan sebagai pencuci piring. Tentu aku terima.


Saat ini, aku sudah menjadi peracik minuman-minuman di kedai tersebut dan tinggal di kamar indekos sederhana di pusat kota. Dan rutin mengunjungi pantai, tentunya.


Malam itu, ada suatu keberatan di napas udara. Seperti sebuah batu yang dijatuhkan ke danau yang tenang, ada gelombang yang menabrakku, sebuah riak asing yang juga membuat kangen. Udara semakin asin. Suhu semakin pasir. Aku mengisap dalam-dalam rokok di tangan kiriku, mendorong keringnya tenggorokan dengan sekaleng cola dingin yang tidak kehilangan suhunya sedari satu jam yang lalu.


“Sejauh ini?” Suara itu tidak asing. Seolah sebuah pintu sudah hapal ketukan siapa di tubuhnya kali itu. Tapi, siapa? Aku tidak kenal, tapi ada bagian dari diriku yang sudah hapal betul nada siapa yang kutangkap.


“Hebat. Sungguh. Aku tidak pernah menyangka.” Perempuan. Siapa?


Aku menoleh, masih menjepit rokok dan menggenggam cola, dan di situ ia berdiri: perempuan, mungkin sekitar umur 35-an, rambut hitam agak kecoklatan di ujungnya, kulit coklat yang sangat muda, dan tidak terlalu tinggi. Ia berjalan dengan sangat halus, dari bibir pantai yang dijilati buih-buih ombak, menuju padaku. Digenggamnya tangaku yang masih menggenggam kaleng cola, dan hal itu terjadi begitu cepat dan kasat: Buih-buih di sekelilingku, bunyi-bunyi yang teredam, sinar matahari yang pucat dan berusaha keras berjalan menembus, semua itu terjadi seolah apel jatuh.


Semua bayangan mengenai hal-hal yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya, semua berputar dan menari, dan tidak asing.


“Ke mana saja..bu?” Sampai saat aku menuliskan cerita ini, aku tidak mengerti mengapa secara otomat aku memanggilnya begitu. Seolah…memang semestinya.


“Mengawasimu. Dan rumah.”


“Bawa aku pulang, bu.”


“Belum saatnya, nak.”


Aku menyandarkan tubuh, merasakan seluruh dirinya, entah, ibuku kah? Rasanya aku takut kehabisan waktu. Banyak yang ingin kuistirahatkan sekaligus kutanyakan padanya.


“Pulanglah kalau bumi sudah tidak mampu tanggulangi.” Ia melepas genggamannya dan sandaran kepalaku.


“Aku sudah tidak mampu, bu.”


“Belum, kamu masih begitu mampu.”


Dalam balutan kain biru tua yang lumayan putih, ia membelakangi aku yang masih mencoba menelan perlahan-lahan petir siang hari ini.


Ia terus berjalan, tidak menoleh lagi, ke arah laut. Begitu ingin aku mengikutinya, namun tubuhku tidak mampu kugerakkan. Aku hanya memanggil, menangis.


Terus ia berjalan, membasahi kakinya, hingga semua tubuhnya hilang menuju laut. Oh, ibu. Inikah aroma ketuban?





30 Oct 2020 23:11
144
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: