Mencari Kiri, Menemukan Kanan: Mengaji
Cerpen
Kutipan Cerpen Mencari Kiri, Menemukan Kanan: Mengaji
Karya bhatarafana
Baca selengkapnya di Penakota.id

      Bangku kosong itu terus memanggil namaku. Kedai beraroma teh, kopi, dan bumbu mie instan ini terasa begitu menekanku kali ini. Kedai yang rutin kusambangi setiap Jumat malam selepas kelas sore tiba-tiba berubah warna mukanya. Entah sejak kapan, namun yang jelas, sudah berlalu lebih dari 30 menit dari pertama kali aku menyadari bahwa sebuah bangku kosong di dekat pot bunga anggrek ungu tersebut terus memanggil namaku.


           “Sam…Sam…” Tidak, namaku bukan Samuel. Namaku Samsa Trinianto. Mungkin, apapun yang menggerakkan suara tersebut lebih memilih memanggil Sam ketimbang Sa, karena bisa saja orang-orang bernama Annisa, Fiersa, Karsa, atau siapapun yang satu nada ikut merasa terpanggil. Namun, dengan suara sejelas ini, tidak ada pengunjung lain (walaupun hanya ada aku, sepasang kekasih, dan seorang lelaki paruhbaya yang sibuk dengan laptopnya, mungkin akuntan) yang memalingkan mukanya pada sumber suara halus dan kecil ini.

Tidak dapat kupastikan apakah suaranya adalah milik seorang perempuan atau lelaki, namun yang jelas, suaranya seolah-olah dikeluarkan oleh seseorang bertubuh kecil dan jarang mengeluarkan suaranya.


           Aku memutuskan kembali menenggelamkan kesadaran pada buku yang sedang kubaca, ‘Catatan dari Bawah Tanah’-nya Dostoevsky. Dengan terjemahan yang buruk, kuharap hal itu dapat membantu kepalaku melupakan suara-suara aneh ini.


           “Choco Hazelnut dan sosis barbekyu?” Seorang pelayan perempuan dengan wajah tajam dan berkulit kecoklatan membawa nampan berisi menu yang disebutkannya. Rambutnya dikuncir kuda, dan kacamatanya berbingkai hitam.


Aku bahkan hampir lupa memesan menu tersebut. Ditaruhnya dengan cekatan cangkir dan piring yang dibawanya. Gerakannya begitu cekatan dan terkesan otomat.


           “Mba, denger ada suara-suara ngga?” Kuberanikan merias wajahku sendiri dengan pertanyaan bodoh, karena tidak ada lagi yang bisa kutanyakan di sini.


           “Musik?” Latar belakang kedai ini adalah sebuah orkestra yang memainkan komposisi Schumann. Wajahnya sedikit mengerut, entah merasa aneh atau takut karena pertanyaanku. Atau karena rambut bergelombangku yang kusut dan tidak terurus. Ketimbang bergelombang, lebih pantas rambutku disebut banjir rob.


           “Bukan..kaya ada yang manggil-manggil, gitu.”


           Dia memandangiku seolah aku adalah seorang lelaki umur 20-an yang mampu melihat atau merasakan entitas supranatural, sebuah paduan wajah jijik, takut, dan heran.


           “Engga sih…”


           Aku berterima kasih, dan dia kembali pada pekerjaannya. Catatan dari Bawah Tanah merupakan buku yang begitu ekstrim, dengan sudut pandang yang begitu diri-sentris. Dan terjemahan yang kubaca begitu buruk, seolah-olah seseorang menelan tulisannya dalam bahasa Jerman dan memuntahkannya dalam bahasa Indonesia, tanpa sempat dicernanya dengan baik.


           “Sam…ke mana?”


           Semua kegiatanku seoalah-olah ditekan tombol berhentinya. Kosakata baru, pikirku. Sial, siapa ini? Aku bukan orang yang memercayai hal-hal semacam itu. Jiwa gentayangan, hantu yang berkeliaran, tidak. Namun, bagaiamana ya, aku memercayai bahwa bentuk kehidupan di sini bukan satu-satunya wilayah yang berisikan kehidupan.


           Ilustrasi wajah Plato terbayang di kepalaku. Dunia ide dan dunia materi. Mungkinkah yang memanggilku ini adalah ide yang salah masuk materi? Kenapa, dari sekian banyak benda, ia memutuskan merangkum dan membentuk dirinya dalam wujud bangku?


           Sempat terpikir olehku untuk berjalan ke arah bangku rangka besi yang dicat hitam dengan dudukan kayu tersebut dan mengajaknya bicara, namun, aku tidak mampu memastikan siapa yang nyata: suara ini, atau kekasih yang tengah bercanda di belakangku, atau lelaki paruhbaya yang nampak stress dengan apapun yang berada di layar laptopnya.


           “Selamat, Sam.” Garpu yang kupakai mencolok sosis berbumbu barbekyu mengatakan itu. Yap, benar. Dapat kupastikan ini suara lelaki. Aku mengingat-ingat riwayat hidupku, dan dapat kupastikan, aku tidak pernah punya pengalaman yang sejenis seperti Skrizofrenia.


           Hujan perlahan turun, dengan mendung yang semakin berat.


           “Kok..” Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, sebuah pandangan rasa-rasanya muncul dalam kepalaku, sebuah warna-warna cerah dan perasaan yang begitu melegakan. Aku tidak lagi sekaget di awal mengetahui beberapa benda mulai berbicara kepadaku.


           “Samsa, mulai hari ini, konsep ‘benda mati’ harus dihapus dari ensiklopedimu. Kamu mampu berinteraksi dengan apapun yang kamu mau.” Lantai ini berbicara. Visual yang ditangkap mataku tidak ada beda dengan sebelum aku mengalami pandangan aneh barusan, namun rasa-rasanya aku paham bagaimana wajah lantai, bagaimana wajah garpu, wajah bangku yang memanggilku, wajah dompet milik perempuan yang tengah bercanda dengan lelakinya, wajah asbak yang penuh diisi oleh rokok milik si lelaki paruhbaya, dan wajah…adikku.


           Adikku hilang saat aku berumur 10 tahun. Sudah pasti itu salahku. Andai aku tidak memaksanya membeli mobil-mobilan ke pasar bersamaku, pasti dia sudah tumbuh jadi gadis berumur 17 tahun yang ranum dan mengagumkan. Tidak pernah ada berita apakah ia meninggal, diculik, atau terpisah dariku. Ia hilang, seolah tubuhnya menguap. Dan saat ini, aku mampu melihat wajahnya, dan hal itu sudah menenangkanku.


Aku hampir lupa wajahnya, semua fotonya kusimpan dalam peti yang kugembok dan kuncinya kubuang. Pikiranku sudah begitu bernanah, dan melihat fotonya hanya akan membuat pikiranku hemofilia. Tapi, saat ini, aku mampu melihat dan mengingat wajahnya, tanpa merasa bersalah, marah, sedih, atau takut.


“Kenapa?” Aku berbicara sekecil mungkin, berharap ketiga pengunjung lain tidak mendengar. “Kenapa tiba-tiba? Apa karena aku memesan Choco Hazelnut? Atau karena bumby barbekyu sosis yang kumakan adalah ramuan terlarang? Atau karena buku-buku Dostoevsky memiliki kekuatan atau kutukan tersembunyi?”


“Kamu memantik suatu hal, dan setuju untuk mendapat hasilnya hari ini.” Jam dinding di sisi dinding di kiriku menjawab. Suaranya seperti perempuan berumur 45-an, kental nuansa keibuan.


“Kalian…berniat memberikan hal buruk padaku?”


“Tidak. Kami hanya membantumu, sesuai permintaanmu waktu itu.” Anggrek ungu menjawab, suaranya jelek sekali.


Aku mengingat-ingat malam sebelumnya. Tidak, aku tidak minum alkohol. Aku tidak mengonsumsi zat-zat aneh. Aku hanya menamatkan buku Rumah Kertas, minum susu hangat, merokok satu batang, cuci muka, minum air putih, dan tidur. Permintaanku waktu itu? Kapan?


Entah kenapa, aku tiba-tiba begitu kangen dengan masa laluku. Adikku satu-satunya, rumah yang kutinggali beserta ibu dan ayah di dalamnya, kucingku Morty, pohon tomat kesayanganku ToTo, dan….Lasti.


“Bisa beri tahu aku, gambaran besarnya saja?”


……….Bersambung

       

07 Dec 2020 17:08
232
2 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: