Aku rasa baru saja membuka muka,
sedikit rambut mengurai banyak suara.
Di udara menggantung ketakutan dan
tinggal sendiri dalam 4x4 kapal karam
atau ada pasak pualam nanti telur mengeram?
Sesuatu untuk menjadi manusia,
menyicipi semua rasa. Begitu manusia
mencintai segala yang tersaji di luar mejanya,
bukankah ada lapar perut dan mata?
Dengar, ada Metamorphosis di tukang nasi goreng
seperti undakan antara bunyi nyaring lato-lato dan
ribuan menit musik menemani skripsi sembari sepi
di jalanan depan indekos.
Begitu banyak pergeseran, selain lempeng, juga
panjangnya nama dari goresan kertas dan melepas
jaket-jaket parasut serta yel-yel di lapangan kesiangan.
Sudah lagi, tidak ada libur antara minggu ke-enam belas
dan bertatap wajah minggu satu?
Tidak ada tahun yang berbaik hati terhadap seluruh
ujung-ujung umat punya nama manusia.
Kacamata pecah-ganti, berkaca mata sedikit
menangis sunyi. Bintang menyala siang hari,
mata dari hari mencari gulita malam sendiri.
Kalau sampai waktuku, seperti kata Chairil,
kelak kian sedikit ‘nanti dulu’ kukatakan,
semenjak waktu tidak di tempat berjalan,
melainkan selingan balap-balapan.
Seperti juga kemarau mencicipi hujan lewat
November bermuara Desember, dingin juga
panas lekas mengeras jadi mata-mata
mengantuk yang dingin dan ingin beriringan
lelap di tengah angin menyerap.
Rasanya, puisi ini belum juga sempurna,
jauh dari waktunya purna sekalipun purnama
berganti nama jadi nir-nama, masih saja, seperti
2017: Aku masih saja setengah!
Tapi merambah dunia, kian banyak sekian
cerita menunggu dimakan, cicip sebuah kuah
bernama pelajaran-pengalaman.
O, betapa tahun dan manusia kawan lama!
-Bhatarafana, 2023