Jangan fear-mongering, tapi di sekeliling
sudah lihai juga melangkahi konstitusi jadi miring, maka apa jaminan
jauh kita ke depan, tidak bakal melihat lagi ketakutan, cerita horror 32 tahun?
The Big Brother Is Watching You, siapa sangka ada hantu 1984 di 2024?
Sudah siapkan lubang di salah satu lantai kamar tidurmu, menyimpan buku-buku, dari Camus, Widji Thukul, Tan Malaka, Pram, Orwell, Leila, dan segala yang membuat gatal mereka?
Atau telah juga sedia beasiswa, kunci hidup di luar bendera merah dan putih (atau jangan-jangan, semacam Kuba di tahun 80an, pembatasan keluar untuk warga negaranya telah diterapkan?)?
Atau selesai sudah kamu arsipkan unggahan-unggahan lucu, meme kritik pemerintah ala gen Z dan Alpha, yang berujung membuatmu berakhir dengan ponsel yang diretas, rumah yang didatangi kacang hijau, dan telfon-telfon caci maki?
Pemilu damai! Jangan menilai seseorang dari pilihan pemilunya!
Begitu digaungkan, tentu begitu damai kita juga harap untuk seluruh dan selamanya.
Tapi, apakah damai adalah tutup mata? Sedang 270 juta rakyat berdiam diri menonton opera jelek karya manusia rakus, besar kepala-kuasa macam Icarus? (apakah akan jatuh juga dalam pengejaran Matahari-nya?)
Dahulu, bertanya:
Mengapa manusia seganas Hitler masih mempunyai pendukung? Mengapa manusia sehaus darah Lenin masih mempunyai pendukung? Mengapa manusia serakus Mao masih mempunyai pendukung?
Sekarang, bersua:
Siapa bisnis, pabrik berasap yang perlu makan dari tanda tangan-tanda
tangan? Membuang empati, karena sebagai golongan kelas atas, moral
adalah tanda kemiskinan?
Apa yang lucu dari injeksi kejahatan struktural, perpanjangan napas Orde Baru dalam skema-skema elektoral?
Sehingga kamu bisa tertawa, berdalih 'Ah, kepanasan aja melihat dia bakal menang!'
Dua ratus tujuh puluh juta, gerah pasti meliputi banyak,
dan betapa kami jauh dari kebodohan untuk tidak paham diorama, seperti konstelasi koran, TV, ormas, Tuan Hakim, penyidik.
Kami, bukan kita, karena mereka di atas adalah pada diagram yang berbeda;
seorang alkemis unggul dalam memadukan libido kekuasaan dan dua ratus tujuh puluh juta nasib, dan nasi.
Entah ini puisi, atau lafaz ketakutan dan kemarahan.
Berharap keluasan terbuka, melihat bahwa dalam lima menit,
lima periode bisa dipertaruhkan dalam bilik sempit.
Pintu berderit, dan tentunya kita tidak ingin bangun
tidur hanya dikelilingi pohon sawit dan selalu berkata
ke depan ponsel setiap berangkat: Pak Presiden, saya izin pamit!
Jika,
tidak lagi bisa menulis,
tidak lagi bebas tertawa,
tidak lagi lancar bekerja,
tidak lagi mudah berniaga,
tidak lagi bebas bicara,
tidak lagi bebas belajar,
tidak lagi mampu melakukan apa lagi,
sisa hanya penyesalan.
-Bhatarafana
Pemilu 2024