Seperti kunang-kunang,
seolah jauhnya mengenang
hanya akan mampu kita pandang
saat kiri-kanan melampaui menyebrang.
Apa yang begitu kauinginkan?
Ada pertanyaan yang bahkan jawaban
pun enggan membentuk dirinya sendiri
dalam gaung-gaung arti,
membelah udara lewat belati
semacam Maserati.
Kumpulan rumput tahu-menahu
atas dirinya yang memandang bumi
atas bawah, tapi manusia kelak kelap
sinusoidal gulita dan bahak tawa.
Dibawanya kaki melangkah semenjak
bumi hanya sup raksasa, seruput
yang melampiaskan kehampaan luput
dan semacam sengkarut,
sapiens bernyanyi dalam alegori
bayang-nyata Plato.
Lampu jalan membagi selimut dalam kemacetan,
lagi, seperti kunang-kunang, menyebrang,
manusia memahami jejak tanah sebagai
napas arah; bahwa di luar kotak-kotak,
kita adalah apa yang nanti kelak.