Kubuka mata. Langit-langit putih dengan tembok krem keruh. Pemandangan yang sudah kulihat semenjak mencium udara bumi pertama kali. Hawa terasa agak kering. Di seberang kasurku, meja belajar dengan kayu murahan menampung kertas dan buku yang berantakan. Beberapa sisa tulisan, sisa hitungan, buku-buku pelajaran sekolah menengah atas, buku-buku puisi, buku-buku sains, dan buku yang bahkan kulupa membahas apa. Bangkit dari posisi tidur membuat kepalaku sedikit pening.
Di meja kecil sebelah kasur, ada kaleng minuman bersoda yang sudah terbuka. Kugoyang-goyangkan, isinya tinggal 1/6 nya. Ada juga setoples kecil kacang tanah manis dibalut gula jawa. Kumakan barang tujuh buah kacang itu. Kutenggak sisa minuman bersoda, lalu keluar dari kamar. Kamar di lantai dua kadang membuat proses mengumpulkan kesadaran seusai tidur menjadi kian melelahkan. Turun tangga adalah olahraga ekstrim jika belum sepenuhnya sadar.
Air keran terdengar dari kamar mandi utama di bawah tangga. Ada sisa piring kotor, tiga buah, dan gelas kotor, dua buah, di meja makan di sisi dapur. Aku menuju dapur untuk mengambil segelas air putih dan mengecek adakah kudapan yang tersedia. Tapi, aneh, kompor menyala. Dua-duanya, kanan dan kiri. Yang kiri, di atasnya ada panci aluminium berisi air yang tidak dipakaikan penutup. Yang kanan hanya menyala begitu saja.
“Bu? Yah? Dek?” Seingatku, sekarang Minggu, dan seharusnya semua ada di rumah. Tapi ke mana semua orang? Ada satu sisir pisang tergantung di lemari dapur. Kuambil sebuah, kukupas, dan kumakan dengan cepat. Ada sebuah dorongan dari dalam diriku untuk mulai bergerak cepat, seolah-olah waktu akan habis. Tapi, mengapa? Mengapa perlu begitu cepat-cepat?
Kuambil buku Petualangan Don Quixote dari kamar, dan kubaca di halaman depan. Aneh, biasanya kucingku sering berseliweran di sini. Tapi tidak ada tanda-tandanya barang sehelai bulu putihnya. Kubaca buku sekitar tiga puluh menit, dan ada sesuatu yang membuat perasaan di dalamku bergejolak. Ada sebuh dorongan besar untuk menangis. Bukan sedih. Hanya sepertinya seluruh air di mataku ini minta dikeluarkan begitu saja. Aku menangis dengan hebat di halaman depan, dengan langit berwarna agak kelabu dan…tidak ada seorang pun. Sama sekali. Tentu aku heran, namun entah bagaimana, aku merasa paham mengapa tidak ada seorang pun di sini. Sial, tapi apa? Apa kepahaman yang kupegang?
Setelah selesai menangis dengan deras, aku memutuskan merokok . Kuambil rokok dari laci di kamarku, dan kubakar di halaman depan juga. Entah darimana, ada instrumen biola dan cello yang menggema, hingga menusuk kepalaku dengan kesakitan yang luar biasa. Nadanya sedikit mirip dengan karya-karya Bach dicampur Mozart. Tapi, yang ini begitu menyakitkan dan membuatku ketakutan.
Kuinjak rokokku dan kutendang ke rerumputan. Aku masuk lagi. Aku sudah sedari lahir tinggal di rumah ini, tapi entah mengapa saat ini aku selayak baru akan tinggal di sini; mengelilingi dan memperhatikan setiap apa yang ada di sini. Foto-foto terpajang diruang keluarga. Ada fotoku saat kecil digendong oleh ayah dan ibuku. Lalu ada foto adikku bersama ayah ibu. Ada foto ayah ibu saja. Ada foto…ada satu yang berbeda. Foto perempuan terkulai lemah, tidak berdaya, beserta seorang lelaki yang kepalanya sudah jadi cucuran merah. Nuansa foto tersebut teramat suram, sehingga dengan melihatnya pun aku merasa sesak dan tercekik.
Tanpa alasan logis, saat foto tersebut kuangkat, air mulai bercucuran dari dalamnya. Diiringi isak, air tersebut sedikit agak lengket dan kian deras. Isak seorang perempuan dan rintihan kesakitan lelaki. Kulempar foto berbingkai perak itu ke sudut ruang. Mungkin, saatku lempar, waktu ikut menukik, sehingga seluruh isi rumah ini rasa-rasanya berhenti bergerak maju, dan mulai bergerak berputar. Notasi arah, atas-bawah, kiri-kanan, depan-belakang, semua adalah satu. Kembali instrumen aneh ini mulai menyakiti kepalaku. Ditambah suara seorang lelaki yang rasanya jauh di seberang,
“Kukira engga ada anak. Gimana?” Lalu suara dibalas dengan kata-kata seorang perempuan.
“Tahu gitu engga sampai gini. Masih kecil pula. Tapi siapa suruh nyoba kabur dengan utang segede itu”
“Kasian. Matanya besar dan nyalang. Masa depannya ada. Engga kaya orang tuanya.”
“Ya sudah. Rawat?”
Musik semakin menusuk kepalaku hingga ke tulang belakang. Ruang masih jadi waktu; juga sebaliknya. Semua serba satu.
Semua tiba-tiba meledak. Setelah buram sejenak, pandanganku jernih kembali. Aku sedang duduk di halaman depan. Kuputuskan untuk kembali ke kamar. Berjalan dengan agak goyang, aku masih melihat hal yang sama. Atau beda? Kompor masih menyala, kanan kiri. Yang kiri dengan panci berisi air tanpa penutup di atasnya. Yang kanan hanya menyala begitu saja. Piring kotor di meja masih berjumlah tiga buah, dan gelas kotor juga masih bertengger sebanyak dua buah. Pisang masih lengkap satu sisir. Air keran masih terdengar menyala di kamar mandi.
Masuk ke kamar, masih ada botol minuman dan stoples kecil. Stoples kecil berisi kacang-kacang berwarna putih dengan bercak oranye, sisa tiga buah. Minuman dalam botol berwarna coklat keruh, terlalu kental dilihat dari tumpahannya di sisi meja. Kubaringkan tubuh, dan rasa sakit yang terlalu dahsyat menggigit ganas kepala, tulang belakang, dan perutku. Semua amat buram, dan air mata keluar tanpa perintahku. Samar-samar, kulihat kamarku diisi dua orang. Sepertinya ayah dan ibuku. Ayah dan ibuku? Ibu memegang sebuah buku bersampul kulit tua sambil menutup mulutnya menahan tangis. Ayah membaca dari belakangnya. Ada kesan akrab dari buku tersebut.
Rasa sakit semakin terasa mencoba menarik isi tubuhku ke seluruh arah mata angin. Suara sesegukan perempuan ini semakin memperparah kepalaku dalam memproses apa yang sedang kurasakan.
“Kamu dapat ini…di mana?!” Perempuan itu bertanya setengah teriak, setengah menangis. Bodoh, bagaimana caranya aku menjawab dengan kesakitan sedahsyat ini? Orang-orang tolol.
-Bhatarafana, Oktober 2019
Surabaya