BILA MALAM BERTAMBAH MALAM: POTRET PROBLEMATIKA SOSIOKULTURAL BALI
Resensi
Kutipan Resensi BILA MALAM BERTAMBAH MALAM: POTRET PROBLEMATIKA SOSIOKULTURAL BALI
Karya bombadilio
Baca selengkapnya di Penakota.id

           Memilih judul buku tersebut dengan landasan yang sebenarnya secara personal saya tertarik dengan sosiobudaya Bali. Perbedaan kelas sosial tokoh dalam naskah BMBM dilatarbelakangi oleh hierarki kasta. Drama ini memiliki alur yang menarik, imajinatif, mendebarkan, dan menggemaskan dengan bubuh racikan kisah cinta rahasia beda kasta antara Gusti Biang dan Wayan atau Nyoman dan Ngurah. Berkaitan dengan perkembangan zaman, karya sastra modern juga berjalan menuju paradigma baru yaitu pascamodernisme. Melalui pendekatan sosiobudaya, kajian ini diuraikan untuk menandai gambaran perkara sosiokultural di Bali dan pergeseran identitas budaya pascamodernisme para tokoh dalam lakon tersebut. 


 


           Penawaran gagasan cerita dalam lakon Bila Malam Bertambah Malam merupakan sesuatu yang khas. Putu Wijaya selaku penulis naskah mengemas naskah ini sedemikian rupa dengan wujud premis yang memperlihatkan terjadinya pergeseran identitas budaya pascamodernisme. Pascamodernisme sendiri lahir dari kritik modernisme yang menawarkan pembebasan dan pembaruan, pengelabuan identitas, serta adopsi budaya. Pergeseran tersebut merupakan refleksi dari masyarakat Bali yang dikemas Putu Wijaya pada tahun 1971 melalui lakon Bila Malam Bertambah Malam. Hal itu digambarkan melalui kelas sosial (sistem kasta) berdasarkan ideologi para tokoh.


 


           Bali sendiri dalam konteks dinamika sosiokultural masih menyisakan ideologi yang bersifat feodal baik dalam lembaga ataupun personal. Ideologi feodalistis ini tercerminkan melalui sistem adat dan tradisi yang egosentris, otoritatif, diskriminatif, tendensius, dan fanatisme terhadap kasta. Hal-hal feodalistis ini ditumpahkan dalam karakter Gusti Biang yang sangat ingin mempertahankan tatanan lama berdasarkan kasta sehingga itu membawanya dalam pribadi yang angkuh, meremehkan orang lain, merasa tinggi derajatnya, dan semena-mena. Berikut merupakan penggalan untuk memperjelas:


GUSTI BIANG (tiba-tiba surat itu jatuh dari pegangannya)


Jadi, dia benar-benar mau kawin dengan perempuan itu?


WAYAN


Ya!


GUSTI BIANG


Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Aku melarang keras, Ngurah harus kawin dengan orang patutpatut. Sudah kujodohkan sejak kecil dia dengan Sagung Rai. Sudah kurundingkan pula dengan keluarganya di sana, kapan hari baik untuk mengawinkannya. Dia tidak boleh mendurhakai orang tua seperti itu. Apapun yang terjadi dia harus terus menghargai martabat yang diturunkan oleh leluhur-leluhur di puri ini. Tidak sembarang orang dapat dilahirkan sebagai bangsawan. Kita harus benar-benar menjaga martabat ini. Oh, aku akan malu sekali, kalau dia mengotori nama baikku. Lebih baik aku mati menggantung diri daripada menahan malu seperti ini. Apa nanti kata Sagung Rai? Apa nanti kata keluarganya kepadaku? Tidak, tidak!


(Wanita Itu Menjerit Dan Mendekati Wayan Dengan Beringas)


Kau, kau biang keladi semua ini. Kau yang menghasut supaya mereka bertunangan. Kau sakit gede!


WAYAN


Tidak, titiyang tidak ikut campur Gusti Biang.


GUSTI BIANG


Ya, kaulah hantu yang memburu hidupku. Aku masih ingat kejadian jaman dulu. Waktu aku masih muda dan kau memburuku dengan mata buayamu itu, kau memang licik! Dasar manusia sudra! Kau menghasut anakku supaya kawin dengan Nyoman karena kau sendiri gagal!


 


           Dilihat dari latar berkembangnya, etnik Bali memang tak pernah surut memandang problematika sosiokultural dalam setiap karya sastranya. Pada dasarnya pengarang menyuarakan problematika yang tersaji sebagai pengolahan realita yang diperoleh berdasarkan pengalamannya. Oleh karenanya, karya sastra selalu kritis berbicara mengenai fenomena-fenomena sosiokultural dengan segala kompleksitasnya. Demikian juga, Putu Wijaya dalam Bila Malam Bertambah Malam mengkritisi tradisi Bali yang konservatif (kolot dan mempertahankan tatanan tradisi) dan sudah harus diredifinisi mengikuti perkembangan peradaban.


 


·        Kasta dan Kelas Sosial


           Salah satu identitas budaya yang terlihat dalam naskah Bila Malam Bertambah Malam adalah perihal kelas sosial. Dalam masyarakat Bali, mereka mengenalnya sebagai kasta. Kasta ini membagi masyarakat ke dalam kelompok-kelompok dengan keanggotaan herediter (sesuai garis keturunan) yang serentak memisahkan dan menghubungkan seorang dengan yang lain melalui tiga karakteristik: pemisahan menyangkut perkawinan, pembagian kerja dalam setiap kelompok yang mewakili satu profesi tertentu, dan mengurutkan kelompok-kelompok itu pada sebuah skala yang memilah mereka ke dalam kasta tinggi dan kasta rendah.


Pada naskah BMBM, dialog babak pertama yang akan dituturkan di bawah ini, Gusti Biang sebagai majikan berkasta ksatria bercakap menggunakan bahasa kasar dengan bawahannya, Nyoman yang berkasta sudra. Umpatan Gusti Biang seperti “Pergi kau Leak. Pergi.. pergi.. pergi..” tidak sepantasnya diucapkan oleh Gusti Biang sebagai orang tehormat kepada bawahannya.


GUSTI BIANG


Wayaaaaaan . . . Wayaaaaan. Tolong Wayaaaaaan . . .


NYOMAN


Lihat Gusti. Gusti sudah merusak badan Gusti sendiri dengan berteriakteriak.


GUSTI BIANG


Pergi kau Leak. Pergi pergi . . . pergi . . .


NYOMAN


Gusti telah menyakiti tiyang lagi. Saya akan pergi. Saya akan pergi sekarang juga.


 


·        Pengelabuan Identitas


           Hal ini ditandai dengan pencitraan sebagai pembentuk kesan kepada lawan bicara. Pengelabuan identitas sebagai pembentukan kesan tampak pada Gusti Biang yang angkuh dan mengagungkan kastanya dan merendahkan sudra. Gusti Biang pun tetap mendambakan anaknya, Ngurah, mendapatkan jodoh dari kalangan brahmana yang setara. Padahal anaknya sendiri sebenarnya adalah buah cintanya dengan si Wayan sudra. Kesombongan Gusti Biang membutakan pandangannya terhadap fakta bahwa suami Gusti Biang menyuruhnya untuk berhubungan dengan Wayan demi menjaga kewibawaan keluarga sehingga Gusti Biang akhirnya dapat menyelamatkan suaminya yang pengkhianat bangsa dan pendukung tentara NICA. Tidak disangka oleh Gusti Biang bahwa anaknya, Ngurah, mencintai Nyoman, sang pembantu yang selama ini dijuluki sebagai perempuan sudra dekil.


GUSTI BIANG


Suamiku yang telah menggagalkan kau.


WAYAN


Suami GUSTI BIANG seorang pembohong!


GUSTI BIANG


Bedebah! Berani kau menghina pahlawan di puri ini?


WAYAN (Tertawa pehit. Wajahnya menjadi keras)


Pahlawan? Pahlawan apa? Siapa yang mengatakan dia pahlawan?


GUSTI BIANG


Semua mengatakan dia pahlawan! Dia telah berjuang untuk kemerdekaan dan mati ditembak Nica!


WAYAN


Itu bohong! Orang-orang seperti dia yang menggabungkan diri dalam pasukan Gajah Merah memang pantas disebut pahlawan, Pahlawan penjajah! Orang-orang seperti dia telah menikam perjuangan dari belakang.


 


·        Pembebasan dan Pembaharuan


           Pada masyarakat Bali, percintaan lintas kasta akan menjadi perdebatan. Fenomena percintaan lintas kasta dengan wanita yang berasal dari kasta sudra juga terjadi dalam BMBM. Hal ini terlihat dari kisah cinta Ngurah dan Nyoman yang awalnya ditentang habis-habisan oleh Gusti Biang. Namun, pada bagian akhir perkawinan lintas kasta disetujui oleh Gusti Biang yang mengindikasikan bahwa mulailah terjadinya sifat terbuka pada kesetaraan. Selain itu, Gusti Biang juga menyatakan pengakuan akan kebebasan. Jika dilihat dari kacamata pascamodernisme, hal ini memberi petunjuk terjadinya pergeseran identitas budaya pada masyarakat Bali yang mulanya konservatif menuju ke arah pascamodernisme yang lebih terbuka dan menyetarakan kebebasan dalam menentukan jalan hidup yang tak lagi terikat suatu kelas sosial atau kasta yang membelenggu manusia.


 


Referensi:


Wijaya, Putu. 1971. Bila Malam Bertambah Malam. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.


 

15 Feb 2021 22:22
822
Jl. Urip Sumoharjo, Embong Kaliasin, Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
13 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: