SAYA PERGI MENIKMATI SAMPAI MATI
Kutipan Cerpen SAYA PERGI MENIKMATI SAMPAI MATI
Karya casperaliandoehb
Baca selengkapnya di Penakota.id

Pagi yang cerah, Matahari menyambar permukaan air. Air- air itu menguap dan membentuk kabut- kabut kecil seperti awan yang berlarian di angkasa. Sepasang wanita produktif, produktif dalam menghasilkan anak mendayung pelan perahu mereka. Perahu membela air, membela kabut. Dalam benak mereka yang sederhana. Semoga hujan semalam mampu menciptakan banjir kecil yang membawa ikan-ikan untuk hanyut dan tersangkut pada jaring mereka.

Anggi,1 Kau tau kah tidak?

·  Wisi,2 Kau belum cerita. Pasti saya tidak tau.

·  Begini, tadi malam Mace Apo3 ada ribut dengan dia punya suami.

+   Ai, kau mulai sudah ajak saya bicara tidak baik tentang orang lain. Baru, tadi malam hujan turun dengan begitu deras. Tidak mungkin kau bisa dengar Mace Apo ada ribut dengan suaminya. Kau, jangan karang- karang cerita!

· Sungguh mati4, saya tidak tipu. Dorang5 ribut besar. Mace Apo punya suara menangis sampai mengalahkan bunyi hujan deras pasti dia punya pace pukul!

+   Ah, kau mulai tambah-tambah. Memangnya kau lihat dia punya pace pukul kah?

·    Sudah malam, saya punya pace larang saya keluar. Saya cuma dengar Mace Apo punya suara tangis saja.

+  Ah, itu toh. Kau cuma dengar dia menangis. Jangan kau bilang dia punya pace pukul! Kalau tidak lihat sebaiknya, tidak usah tambah-tambah cerita. Bagaimana kalau dia menangis karena hal lain. Siapa tau dia dengar keluarganya di Boven Digoel sedang berduka?

·  Ehe, Anggi. Tapi, bukankah semua keluarganya di Boven Digoel sudah pindah ke sini. Dorang sudah jual tanah buat perusahaan kelapa sawit?

+   Ai, wisi sebaiknya kau diam dulu. Sebaiknya kau punya telinga itu pakai untuk dengar saya. Tolong. Kau Tarik sudah itu jaring! Siapa tahu ada ikan mati. Kalau ada ikan yang mati di jaring kau pulang tidak menangis dengan nyaring. Tapi kau punya anak tidak makan dorang. Dorang punya suara lebih nyaring dari suara Mace Apo semalam.

·  Iyo sudah, Kau benar. Wisi pun mendengarkan permintaan Anggi sambil menarik jaring yang telah mereka pasang kemarin sore.

+  Wisi, matahari juga sudah mulai tinggi. Kita harus cepat pulang. Saya belum bakar sagu untuk anak-anak makan sebelum ke sekolah.


Sepasang wanita produktif itu mendayung perlahan perahu. Air dan kabut telah sirna oleh perkasanya Matahari. Ular memang berbisa, wisi kembali mengatur lidahnya untuk mengeluarkan bisa-bisa pertanyaan. Hitung-hitung dengan bercerita setidaknya menemani jalan pulang kedua wanita itu. Ya, anggap saja sebagai musik penghibur atau paling tidak sebagai minyak gosok untuk tulang punggung mereka di saat mendayung.

·   Anggi, saya heran.

+   Kenapa heran? Ada apalagi. Jangan bilang kau mau ajak saya cerita lagi tentang Mace Apo.

·    Ah, tidak. Saya cuma heran denganmu.

+   Saya? Kenapa dengan saya? Jawab anggi dengan penuh kebingungan dan menatap wisi dengan cukup lama.

·   Begini, rumah kita saling berhadapan. Tidak mungkin tadi malam kau tidak dengar Mace Apo menangis. Kau, jangan tipu! Pasti sedikit pun kau ada dengar.

+   Eh.. wisi sejak kapan saya tipu kau? Saya kenal kau itu dari kecil. Kau ke hutan, saya juga ke hutan, kau tidak sekolah, saya juga tidak sekolah. Kau menikah, saya juga menikah. Tapi, kita tidak kawin pada laki-laki yang sama.

·     Ah, Anggi tidak mungkin kau kawin dengan saya punya laki toh. Itu berarti biar kita sudah lamasaling kenal. Saya potong kau.

+   Silahkan saja kau potong! Jika itu benar.

·     Ah, Anggi. Kau bikin saya emosi saja.

+   Kau bisa emosi?

·     Eh.. bisa toh Anggi.

+   Kau lihat sekarang, kau punya muka yang terpantul oleh air, itu menunjukkan muka yang tidak baik. saya bilang sesuatu yang tidak benar saja. Kau sudah emosi. Coba kau bayangkan wajahnya mace Apo, jika kita bicara tentang sesuatu yang tidak benar oleh karena tangisnya semalam.

·     Pasti dia punya muka emosi seperti saya.

+   Kalau kau sudah tau, sebaiknya kau diam sudah.

·    Anggi, kalau begitu saya tidak bicara lagi tentang Mace Apo.

·    Tapi, Anggi…

+   Iyo, Tapi Apalagi?

·    Kau bilang kau tidak mungkin tipu saya. Lalu kau buat apa saja sampai tidak dengar Mace Apo menangis?

+   Wisi, kau macam baru saja. Saya dengan suami baku naik6.

·    Ah, yang benar saja. Sambil tertawa dan menggeleng- gelengkan kepalanya. Wisi tidak membayangkan kalau Anggi akan menjawabnya dengan begitu.

+   Bukankah kau menginginkan dariku adalah sebuah jawaban yang jujur? Bukankah saya, kau dan juga para wanita yang telah menikah akan kawin sepuasnya di tempat ini? Lalu, apalagi yang bisa kita lakukan selain itu salah satunya kebahagian yang tidak dapat kita jelaskan setelah selesai melakukannya?

·    Ah, Anggi kau gila. Wisi tambah tertawa sejadi- jadinya.

·    Lalu, kamu dua baku naik, tapi tidak dengar ada yang menangis. Itu lucu, Anggi. 

+   Ya, lucu, terserah kau mau bilang apa. Tapi, saya yakin. Di saat kau melakukan hal yang sama dengan suamimu. Bunyi jangkrik atau bahkan nyamuk pun tentu tak sempat kau dengar, apalagi kau menikmati.

·    Menikmati? Tanya wisi dengan mengerutkan dahinya penuh heran.

+   Ya, saya harus menikmati. Kali ini Anggi yang tertawa. Ia merasa lucu sendiri dengan jawabannya.

·    Menikmati sampai mati. Tutur wisi, keduanya pun tertawa bersama.

Perahu pun mendarat tepat di bibir lumpur, keduanya bergegas menuju rumah.


Di tengah kampung terdengar kegaduhan. Suara orang yang sedang berteriak sambil memaki-maki. Keduanya mempercepat langkah kaki. Selain karena memang harus cepat sampai di rumah untuk bakar sagu. Mereka berdua tentu tidak mau kehilangan momen pertunjukkan. Sebab sebuah kegaduhan di kampung. Baik itu karena hal sepele atau sangat serius sudah menjadi semacam pertunjukkan drama yang sayang kalau tidak disaksikan secara dekat, langsung dan akurat. Dalam gerak langkah mereka yang cepat keduanya berhenti secara tiba-tiba seperti melihat lampu lalu lintas berubah dari warna kuning menjadi merah.

+   Mace Apo, kau mengejutkan kami saja. Keduanya terkejut. Sebab, Mace Apo muncul dari balik semak-semak.

·    Kenapa kau punya mata bengkak dan biru blau?

+   Kau mau kemana Mace Apo?

-    Laki- laki kurang ajar itu pukul saya. Jawab Mace Apo terbata- bata diiringi isak tangis.

·    Kalau begitu, ayo kita pulang ke rumahmu dan biar saya menghajar dia sampai mati. Tutur wisi sambil menyampingkan bibirnya. Ya, tentu senyum sinis itu ditujukkan kepada Anggi. Sekadar menunjukkan bahwa pendengarannya semalam tidak salah.

Sedangkan Anggi mencoba memeluk Mace Apo untuk menenangkan kesedihannya.

+   Sudahlah, Mace Apo. Kita pulang saja! Nanti sampai di sana. Kita minta bantuan linmas, lembaga masyarakat Adat atau Bapak Kampung untuk menyelesaikan masalahmu secara baik- baik.

-   Tidak bisa, anggi. Ini bukan yang pertama kali dia pukul saya. Lebih baik saya pergi saja, saya sudah tidak tahan.

-  Kau mau kemana Mace Apo? Kita pulang saja, benar kata Anggi. Kita pulang dan bicarakan baik-baik. Mace Apo kau harus bertahan. Bagaimana dengan anakmu? Apakah kau tidak kasihan? Kita bicara baik- baik dengan kau punya pace. Jika nanti dia mengulangi lagi kita lapor polisi.

-  Apa… nanti baru lapor polisi? Apakah kau lupa wisi? Bukankah waktu pertama kali dia pukul saya di saat saya hamil kau yang mengantarku ke polisi? Apa kau lupa? Apa kau mau saya menikmati hal yang sama sampai mati?

-  Maaf Mace Apo, kalau begitu kita pulang saja dulu sampai di sana. Kita minta Bapak Kampung melaporkannya ke polisi.

-  Sudahlah wisi, sekalipun kita melaporkannya ke polisi, polisi tidak akan menyelesaikannya. Paling- paling surat pernyataan lagi. Kau pikir surat pernyataan dapat mengubah kenyataan? Apalagi polisi-polisi di sini semuanya pendatang tidak ada yang berani melawan orang asli sini. Saya pergi saja.

+   Kau harus tenang Mace Apo. Marilah kita pulang. Ingatlah dengan kau punya anak! Siapa yang nanti kasih makan dia?

-   Saya tentu ingat dengan saya punya anak. Tapi saya tidak mau dia lihat mamanya mati karena dipukul oleh bapaknya. Saya pergi saja lebih baik.


Kedua wanita produktif tersebut tak mampu menahan Mace Apo. Mace Apo menghilang perlahan di balik semak- semak menuju jalan potong menuju kota. 


  1. Anggi = Anjing
  2. Wisi = Ular

3. Apo = Kupu- kupu

4. Sungguh mati = Benar/ betul

5. Dorang = Mereka

6. Baku naik= Bersetubuh

*Bahasa Suku Auyu Busahang Mappi-Papua

27 Sep 2020 19:37
100
Mappi, Papua, Indonesia
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: