KATANYA perempuan yang paling banyak riang dan tertawa di sepanjang harinya adalah yang paling banyak menangis ketika malam dan bahkan di dalam tidurnya.
~___________________________
~Aku berlari dalam mimpi itu, melesat secepat yang mampu aku usahakan. Dadaku berdegub hendak meledak rasanya, keringatku bercucur namun seluruh tubuhku terasa membeku. ~Wajahku memerah namun seluruh pipiku basah lantas mengering dengan cepat karena tertimpa angin yang barisannya aku tembus. Suaraku berat, aku berusaha berteriak, namun yang keluar adalah keparauan. Aku berusaha berlari lebih kencang, sebisa mungkin hilang dan tak akan mampu mendengar lagi suara suara yang meneriakiku dengan tajam.
“ Ini aku Ron...”
~Aku mengulang lebih keras, namun yang keluar justru rintihan, aku terjepit. Pilu merenda di seluruh dadaku. Tubuhku bergetar hebat, kakiku lunglai, lariku terhenti, aku limbung dan mencari pegangan, yang aku dapati adalah tubuhmu yang gagah. Lantas kamu memelukku.~ Aku hendak memberontak, namun aku tak kuasa, jiwa ragaku terlalu hangat di dekapanmu. Aku terlalu lemah untuk berdiri dengan ketanpaaanmu. Aku tak kan menyia-nyiakan keberduaan dalam pelukan ini. Meski di dadaku aku berontak.
“ Mengapa kamu ingin namun memberontak Ra?”
~Aku mengeratkan lingkaran tanganku di tubuhmu, tidak ada batasan antara tubuh kecuali kain-kain yang juga setipis kekuatanku di depanmu. Jilbabku berkibar seolah ikut menarikku bersama angin agar menjauh dari tubuh gagahmu. Bibirku bergetar menahan seluruh kata yang akan melesat dari hatiku namun terlalu banyak sehingga saling selimpung menyikang pukang.
~“ Aku lemah Ron...”
Suaraku lemah mendesir di telingamu. Kamu memelukku semakin erat, bukannya sesak napas aku justru semakin lega. Gejolak gejolak yang membuncah itu seperti menemui muaranya. Kini persis suara degub jantungmu ku dengar seirama dengan degub jantungku. Kemudian kita hanya berpelukan dalam diam, dalam nafas yang saling berhembus menghangatkan. ~Malam berjatuhan gumintang dari langit dengan kristal es yang berarak gelap di atas. Berbintang namun mendung menggumpal hitam di langit-langit. Bagaimana bisa? Entahlah....
Air mataku bercucuran. Menangis sejadi-jadinya, namun di pelukanmu aku tetap merasa aman.
~
~GEROMBOLAN hangat itu terus menderu hatiku untuk tetap melekat erat di pelukanmu. Mendobrak seluruh keteguhan dan merampas kebulatan keyakinan. Nilai kebenaran bagiku menjadi relativitas yang tidak bisa aku pegang erat. Tapi telingaku pekak, hatiku ngilu juga goyah. Teriakan teriakan itu terus terngiang meski sudah aku tampik berulang. Mereka bermanuver untuk merobohkan diriku, manarik mundur dan kembali di garis garis yang mereka mutlakkan sebagai nilai kebenaran.
~“ Ron, apakah nilai kebenaran itu berjangka waktu dan berbatas? apakah dia relatif di ruang dan waktu tertentu?”
Kamu hanya diam tak menjawab. Pantas saja. Aku hanya membantinnya tanpa mampu mengeluarkannya dalam barisan kalimat yang jelas di telingamu.
~Aku sudah berlari sejauh ini, segala kekuatan telah ku dayagunakan. Kebenaran aku percayakan kepada Tuhan saja. Peluh berkuyup-kuyup mempertahankamu utuk melekat di jiwa dan ragaku. Mengalir di darah kental. ~Mengeras setempa ini untuk menghadirkan kamu utuh di garis serta ruang kehidupannku. Seluruh emosiku aku tumpah ruahkan kepadamu. Kamu juga harus bertanggung jawab atas seluruh pertikaian di dadaku.
~“ Aku ingin pergi bersamamu saja Ron”
Beku telah mengalah pada cair. Aku sadar untuk menenang dan meregang. mencoba menguasai kembali seluruh berontakan.
~“ Aku tahu itu” Jawabmu pelan, suaramu berat dan mantab.
~“ Setelah bertemu denganmu lagi, keseparuhan jiwa yang sempat pergi itu artinya kembali, aku lelah berlari sendiri dengan ketanpaanmu”
~“ Kita telah berpelukan hari ini Ra, lantas apa masalahmu?”
~“ Mempertahankamu adalah kebertaruhan, kuperjuangkan lebih dari sekedar mati-matian. Namun rasanya justru aku menjadi merdeka. Entah memang karena dangkal apa yang aku pahami selama ini, tidak pernah banar melakat sejiwa raga di dalam diriku, sehingga di lapis hatiku terdalam aku masih goyah memahami makna yang sesungguhnya. begitu abu-abu di dalam, berbaur tak jelas. Hanya di permukaan saja aku seolah kuat pekat dengan segala identitas serta profil yang aku buat karena espektasi mereka. Entah mengapa kebenaran bagiku dulu perlu bertoleransi di setiap garis ruang dan waktu, di setiap lais-lapis diriku. Namun, bersamamu aku mampu membuka seluruh tabir yang palsu. ~Tapi ron....”
~Aku berhenti, aku meragu mengatakannya. Aku takut jika kamu salah mengartikan maksudku.
~“ Tapi apa?”
Aku masih terdiam. Menarik napas dalam dalam untuk kembali mengutarakan.
~“ Tapi aku takut seluruh rantai yang aku buat dengan mereka putus, aku takut sendiri, dihujami berbagai tanya dan pernyataan. Dihujani seluruh penilaian yang mereka sangkakan. Didudukkan terjepit di sudut ruang sempit mereka. Setiap kebenaran yang mereka buat itu akan menjadi alat melumpuhkan seisi jiwaku. Dulu, kala seluruh abu-abu ku, aku dipuja puji oleh mereka, bahkan sebagian menjadikan aku di dalam diri mereka. Sedangkan kini, di sebagian perjalanan hidupku yang lain, makna dan nilai lain juga menguat. Aku medefinisikan sebagai kedewasaan atas segala proses yang aku lalui. Garis tegas pembatas itu kini mulai samar menyatu karena warna yang pernah dan sedang kamu lukiskan hari ini. Sebentar lagi semua orang akan melihat dengan jelas kamu di dalam diriku. Kemudian aku akan disimpulkan berbeda dengan yang lain, berbeda dengan aku yang sebelumnya. Sebenarnya mereka telah menanamkanku nilai kebenaran dan proses mencarinya. Katanya mereka memerdekakan ku untuk berhak memilih dan mencari nilai kebenaran itu.Artinya aku harus bisa menemukan dalam kemandirianku sendiri. Namun, setelah aku mampu mengahdirkan setiap keotentikan, keversian dan kemandirianku atas kebenaran itu, mereka justru mengecam dan mengancam. Itulah yang membuatku khawatir, akankah aku sendiri Ron?”
~“ Maafkan aku Ra, jika seluruh dariku menjadi getir di dalam dirimu”
~“ Tidak sama sekali Ron, tidak ada guratan salah darimu di dalam diriku. Aku yang memutuskannya mengambil warna darimu, membiarkanmu mewarnai penuh seluruh aku. Tidak menjadikan aku sebagai kamu, namun ini kerelaan ku untuk menjadikan kamu bagianku dan semoga juga aku bagianmu. Aku memilih dengan sadar dan setidaknya aku sangkakan sebagai kedewasaan”
~“ Kamu tidak akan sendiri Ra, ada aku”
~“ Akankah kamu akan meninggalkanku lagi?”
~“ Tidak. Lebih dari mampuku, aku akan membawamu kemanapun aku pergi”
Aku mengeratkan pelukan. Jemarimu menyentuh kepalaku lembut. Sedesir angin hangat membelah kita berdua.
~“ Ron, aku tidak mau kalah dan menyerah. Aku tidak mau melepasmu atau hanya mengurangimu di dalam diriku. Aku bebaskan makna yang merasuk menyatu di dalam diriku. Kau bukan Tuhan Ron, aku tahu itu. Tapi bagiku setiap manusia mewakili sifat Tuhan meski secuil cuil tak sempurna dan utuh. Karena memang perjalanan di bumi ini dalam rangka mengutuhkan. Kamu adalah bagian dari perjalanan itu, yang menunjukkaknku jalan utuh meski masih separuh paruh dan puing puing kecil. Seperti halnya kamu memelukku dengan warnamu aku ingin memelukmu pula dengan warnaku, agar keduanya kita adalah warna yang serasi. Saling memberi, kemudian kita mulai perjalanan mencari berbagai kebenaran, berhenti di berbagai titik, saling menggambarkan, menunjuk makna di setiap prosesnya, bertumbuh dengan dewasa, merawat dengan hati yang saling terbuka”
~Kamu memelukku hangat, aroma tubuh mu aku tangkap di hidung, mengait erat di otakku,
"Aku senang bau tubuhmu Ron"
Kamun hanya mengeratkan pelukanmu dan hatiku jauh lebih lega. Aku menyamankan sandaran kepalaku di dadamu.
"Aku milikmu Ra"