Yogyakarta, satu kota yang selama ini ingin aku jadikan untuk menetap bersamamu, yang selama ini ingin aku jadikan untuk melanjutkan pendidikan.

Namun, kini semua yang aku inginkan terhadap Yogyakarta telah lenyap.

Bagiku, kini Yogyakarta bagaikan paradoks.
Tenang, damai di luar, sepi mencekam di dalam.
Manis, bahagia di luar, menyiksa di dalam.

Kini, jika aku melangkahkan kakiku ke Yogyakarta, yang kulihat hanyalah gambaran aku dan kamu tengah tergesa gesa menyusuri jalanan di tengah hari, saat aku memesan gudeg di tempat makan yang dekat dengan penginapan, yang kulihat adalah gambaran kamu yang terpaksa memakan gudeg karena kamu tidak suka makanan manis, ketika aku tengah berjalan kaki tengah hari menuju Malioboro, yang kulihat ialah gambaran aku dan kamu berjalan kaki dengan senang dan antusiasme yang tinggi, walaupun berkeringat banyak sekali.

Hampir setiap tempat aku kunjungi bersamamu, membuatku mengingat setiap sentimeter yang ada pada Yogyakarta. Sampai penuh buku kecilku tentang puisi tentang keindahan Yogyakarta, dan kamu tentunya. Namun, buku itu nyatanya malah tertinggal.

Jika terus begini, bagaimana aku bisa kembali ke Yogyakarta, yang katanya manis dan membahagiakan? Bagi mereka, tentu saja. Namun bagiku, itu sama saja membuka luka masa lalu tentangmu yang sudah kusimpan rapat rapat di sana, namun kini, dengan lancangnya kembali menyeruak ke permukaan.

-d.n,