Hujan telah reda sepuluh menit yang lalu dan aku masih mematung di depan jendela rumahku. Gelap, dingin, dan hanya ditemani oleh gramofon tua yang memutar instrumen Beethoven.
Kubuka jendela, petrikor memenuhi rongga hidungku, sementara kenangan memenuhi rongga pikiran.
--
"Kalau habis hujan, dibuka jendelanya. Aku ingin merasakan petrikor, tahu!" serunya sambil terus mengusap kepalaku yang berada di dadanya.
"Petrikor?" tanyaku.
"Iya, wangi yang kamu hirup sehabis hujan itu disebur petrikor," jawabnya.
"Kamu suka?" tanyaku lagi.
"Tentu saja. Meskipun aku lebih suka wangi vanillamu," jawabnya malu-malu. Aku pun tertawa lebar. Aku bangkit dari dadanya untuk membuka jendela. Lalu ia menyusulku untuk menghirup petrikor kesukaannya.
"Payah! Petrikornya tercampur dengan aroma vanillamu," ledeknya, membuatku memukul lengannya pelan.
Setelah itu, hanya semesta yang mengerti apa yang terjadi. Hanya gramofon tua yang sibuk melantunkan instrumen Beethoven yang menjadi saksi bisu.
--
Sial, kejadian itu sudah lama berlalu. Dan aku, masih saja terus mencari mengapa aku dan dia lenyap dalam sekejap, bagai petrikor.
—dania,
Petrikor.
(190719)