Memanusiakan Lakon Wayang lewat Lakon Asmaraloka
Resensi
Kutipan Resensi Memanusiakan Lakon Wayang lewat Lakon Asmaraloka
Karya dionyulianto
Baca selengkapnya di Penakota.id

Ulas Buku Dapat Buku

Judul Buku: Lakon Asmaraloka


Penyusun: Mahadewa Adiseta


Tebal: 196 hlm


Cetakan: Pertama, Februari 2021


Penerbit: Buku Bijak


 


Selama ini mungkin kita yang awam ini mengenal tokoh-tokoh pewayangan sebagai sosok-sosok setengah Dewata dengan kemampuan luar biasa. Pihak baik versus pihak jahat. Yudistira dengan kebijakannya, Bima dengan keberaniannya, Arjuna dengan kekesatriannya, Nakula Sadewa dengan kecerdasannya, Kresna yang penjelmaan awatara Wisnu, dan Pendeta Durna yang luar biasa pengayom. Lalu di sisi lain, ada Patih Sengkuni yang licik, Duryudana yang biangnya Bala Kurawa, Rahwana yang semena mena dan para raksasa Asura yang merupakan lawan tarung para dewa. Semua serba hitam dan putih tanpa ada tempat bagi penikmat wayang untuk menempatkan tokoh favoritnya dalam wilayah abu abu. Seolah tokoh tokoh ini begitu disucikan dan haram hukumnya mengubah pakem yang sudah ada. Wayang pun semakin jauh dari para penikmat awamnya.


 


Kita cenderung menyukai apa - apa yang dekat dan menyerupai diri kita. Karena itu, lebih banyak yang menyukai Arjuna atau Bima ketimbang sosok sosok Dewata yg tentu lebih adikuasa. Mungkin, banyak yang merasa kurang menyukai wayang hanya karena belum mengenal dunia pewayangan cukup dalam untuk mengetahui bahwa sosok sosok seperti Pandawa, Rama dan Sita, juga Rahwana ternyata tidak jauh berbeda dengan manusia biasa dengan sifat-sifatnya. Memang sudah sejak lama timbul upaya mendekonstruksi dunia pewayangan ini, meruntuhkan yang lama lalu merakitnya lagi dari sudut yang baru dan lebih berimbang: bagaimana jika ternyata Rahwana justru lebih tulus mencintai Sita ketimbang Rama, bagaimana jika Bima hanya memandang fisik karena dia kabur ketika Arimbi masih berwujud raksasa tapi mendekat begitu dia jadi wanita cantik berkat sabda Ibu Kunti, bagaimana jika Yudistira ternyata melecehkan Drupadi, istrinya sendiri.


 


Buku buku semacam The Palace of Illusion (karya Divakaruni) atau Rahwana Kisah yang Tersembunyi (karya Anand Neelakantan) adalah beberapa karya yang mencoba menulis kisah wayang dari sudut yang lain. Buku Lakon Asmaraloka ini mungkin juga menghasilkan efek yang sama meskipun tujuannya berbeda. Dari yang awalnya hendak merangkum kisah percintaan antar tokoh dalam dunia pewayangan, bagi saya buku ini malah menjadi semacam kumpulan kisah pendek dunia wayang yang dengan jernih menggenapi banyak bidang kosong dalam pengetahuan saya terkait tokoh dan kisah pewayangan yang merentang panjang. Jika membaca Mahabharata atau Ramayana yang tebal itu terasa bikin menyerah duluan tapi kita telanjur mengikuti versi setial televisinya, buku ini bisa menjadi penjelas yang memudahkan untuk menyambung benang merah ceritanya. Formatnya yang mirip cerpen, pendek hanya terdiri atas raya rata 5 halaman per cerita, membuat proses membacanya tidak membosankan. Ditambah dengan kemampuan penulis menyusun ulang cerita lewat untaian kata-kata khas mahasiswa sastra yang bikin terlena itu. Selain pembaca jadi banyak tahu, juga sangat terhibur.


 


Alih-alih kaget karena tokoh ini begitu dan tokoh anu begini, saya malah semakin mengagumi dunia pewayangan sebagai sebuah karya susatra yg luar biasa. Gambaran di dalamnya sejatinya mencerminkan manusia dengan segala permasalahannya. Tidak ada yang sempurna kecuali satu: Yang Maha Kuasa. Para kesatria, raja, pandhita, juga raksasa dan raksesi punya kelebihan sekaligus mereka juga sering khilaf. Bahkan kesalahan paling bikin pembaca geleng-geleng kepala malah dilakukan dua tokoh ksatria yang dianggap jawaranya. Satu, adalah Rama yang tetap meragukan janji suci Sita, yang tidak mempercayai istrinya sendiri, bahkan lebih manut pada berita miring yang beredar di luar ketimbang pada simpah setia Sita yang bahkan sudah dibuktikan dengan berjalan di bara api.


 


Kedua, Yudistira yang begitu bodohnya diakali Sengkuni sehingga ikut mempertaruhkan adik-adiknya bahkan juga Drupadi, istrinya sendiri. Janji ksatria baginya lebih harus dipegang ketimbang rasa cintanya pada istrinya sendiri. Dia diam saja melihat istrinya dilecehkan, yang kemudian membuat Drupadi bersumpah. Sumpah yang menjadi bakal dari peperangan besar di Padang Kurusetra. Bahkan Sita sendiri ternyata tidak kalah egoisnya, memaksa Laksmana bersumpah yang kelak menjadi pengikatnya seumur hidup. Bahkan dewa dewa pun tidak tak terbatas. Anak-anak Kresna sendiri harus tumpas dalam peperangan, juga kisah Batara Guru yang tidak bisa menahan birahi sehingga menjadi sebab dari hadirnya Betara Kala atau bencana dan penyakit di muka dunia. Jika direnungkan, semua akibat ada penyebabnya. Dan tokoh-tokoh pewayangan ini dengan begitu indah menyentil kita bahwa manusia tidak ada yang sempurna, pun tidak sepenuhnya hitam dan putih. Seperti tokoh - tokoh pewayangan dengan segala takdir "manusiawi" yang harus mereka jalani.


 


Satu hal yang semakin saya sadari saat membaca kisah Mahabarata dan Ramayana adalah kemiripannya dengan mitologi Yunani kuno. Ibaratnya, mitologi Yunani itu versi simpel dari kisah-kisah dari India kuno ini. Para ksatria yang merupakan titisan Dewata dan kadang merupakan hasil olah asmara antara dewa dan manusia memiliki kekuatan luar biasa. Ini mirip dengan Demigod dalam Percy Jackson eh dalam mitologi Yunani. Juga penculikan Persepone oleh Hades ke dunia bawah ini juga mirip dengan penculikan Erawati oleh Raya Kartawiyoga (hlm 79). Banyak dewa Dewi di kedua kebudayaan kuno ini juga sama. Batara Surya yang Apolo, Yamadipati yang Hades, Batara Candra yang Artemis, Kamaratih Kamajaya yang Venus, juga Batara Guru yang mirip Zeus. Hal lain, ajian sirep yang mirip kemampuan Hypnos. Lalu Bima yang mirip Hercules, serta Arjuna yang lebih mirip Appolo. Saya pernah baca di buku apa lupa maaf judulnya (bacanya before timbunan era) kalau mitologi Yunani memang mengambil sedikit banyak dari mitologi India jadi tidak heran jika banyak kemiripan. Jadi, bagaimana jika para Pandawa itu sebenarnya adalah para Demigod? Ini bisa jadi sudut pandang baru dalam menulis kisah-kisah pewayangan.


 


Secara format, buku ini enak dipegang saat dibaca. Gambar di sampulnya bagus, kertasnya ringan, dan walau bukunya tipis tapi ternyata di dalamnya ada banyak kisah. Harganya juga murah ini untuk buku dengan isi bergizi dan bikin kenyang seperti buku ini. Penulisnya juga tampak benar menguasai dlsekaligus menyukai naskah yang ditulisnya ini. Menariknya lagi, ada gambar-gambar wayang di awal setiap bab sesuai dengan tokoh yang dibahas. Hanya saja, letaknnya malah mepet ke tengah sehingga terpotong oleh jilidan buku. Seandainya posisinya di sisi pinggir halaman, pasti akan lebih menarik dan pas. Saya awalnya mengira kalo gambarnya wayang yang sama semua karena memang posisinya nyempil tidak kelihatan. Tapi setelah sampai bab tentang Semar, saya lalu bolak balik lagi dan ternyata gambar wayang di setiap bannya berbeda. Sayang banget karena posisinya seperti itu jadi kurang kelihatan. Bagus loh padahal buat pengenalan tokoh-tokoh wayang.


 


#BuahTanganPenaKota #UlasBukuDapatBuku

10 Feb 2021 07:18
475
Gg. Angkasa, Bendan, Tirtomartani, Kec. Kalasan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55571, Indonesia
3 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: