Karya : Dita Arrizki Maenardi
Desa Sekar
Alkisah, pada zamannya, termahsyur seorang pemuda tampan. Setiap ucapannya, tak pernah ada satu pun yang menyela. Keputusan yang diambil tak pernah sedikit pun meresahkan kehidupan rakyatnya.
Ia hidup bersama laki-laki yang tak pernah ia anggap sebagai sosok ayah. Baginya, semenjak Sang Ibu dibunuh oleh musuh, Ayah tak lagi memikirkan keluarganya. Yang ada dalam tujuan hidupnya adalah rencana-rencana untuk merebut kekuasaan agar takhta kerajaan berpihak padanya.
Hingga saat ini, setelah kedudukan itu dijabatnya, semua serasa hampa. Tak ada satu pun yang mendukungnya. Sekalipun anak laki-lakinya masih bernyawa, namun raganya tak pernah ia persembahkan untuk Sang Ayah.
Pada suatu malam yang membosankan, Putra Mahkota, begitulah sebutannya dalam lingkungan istana, menghabiskan malam dengan mencari-cari udara segar di luar istana. Beberapa pelayan istana telah mencoba untuk mencegah, namun tetap ditentang. Putra Mahkota adalah seorang yang keras, siapa pun yang berusaha untuk menghalangi jalannya, maka orang itu akan lenyap.
Putra Mahkota pun melanjutkan perjalanannya menaiki sebuah bukit Putra Mahkota adalah seorang yang keras, siapa pun yang berusaha untuk menghalangi jalannya, maka orang itu akan lenyap.
Putra Mahkota pun melanjutkan perjalanannya menuruni bukit di mana istananya berdiri. Dengan mengendap-endap, dan mengganti kostum sehingga menyamar sebagai penjaga istana membuat pelariannya tak tertangkap basah seorang pun. Sesampainya di pasar rakyat, Putra Kerajaan membeli beberapa sutera sebagai bekal untuk berganti pakaian di esok pagi. Tak lupa, ia menepi sejenak di sumber mata air untuk membasuh diri dan mengisi persediaan air minum dalam tubuhnya.
Tiba di tengah malam, barulah Putra Kerajaan merasa ada yang berbeda padanya. Tubuhnya mulai menggigil, dikalahkan angin malam yang semakin pagi semakin mengikis kulitnya. Tanpa basa-basi, ia pun menghentikan perjalanan dan memutuskan untuk mengunjungi sebuah gubuk di seberang jalan. Dari kejauhan, hanya gubuk itulah yang paling meyakinkannya untuk dijadikan tempat singgah hingga pagi datang.
Ia menyampirkan tas perbekalannya pada salah satu sisi kursi rotan. Dengan sutera yang telah dibelinya, ia menggelarnya di atas kursi dan menidurinya tanpa berpikir panjang. Wajahnya yang sangat indah saat tertidur ia biarkan di sentuh embun malam tanpa celah. Putra Mahkota terbaring di sana, tanpa tahu menahu gubuk siapa yang ia singgahi.
Esok hari, suara melengking yang mengarah pada jeritan membangunkan mimpi Putra Mahkota. Suara itu benar-benar merusak tidurnya, hingga membangkitkan tubuhnya untuk menghampiri sumbernya. Ia pun segera berkemas dan membawa serta tas bekalnya untuk mencari sumber suara.
Di samping gubuk tersebut, berdiri sekumpulan rakyat berpakaian lusuh tengah mengelilingi sebuah tontonan tak biasa. Seorang perempuan dibiarkan menggantung dengan tali di lehernya, sedangkan dua laki-laki berseragam algojo di sudut-sudut lapangan ditugaskan untuk mengawal jalannya prosesi. Entah itu upacara adat, siksaan, atau hiburan semacamnya.
Putra Mahkota begitu geram. Dengan beraninya, diteroboslah kerumunan orang tersebut. Penonton yang melihatnya pun keherananan, sebab seorang laki-laki berpakaian bukan orang istana dengan beraninya menentang keputusan Gubernur.
Dia adalah Gubernur Moun. Putra Mahkota tahu betul siapa dia. Dia adalah laki-laki yang telah bersekongkol dengan Sang Ayah untuk membunuh setiap keluarga musuh istana. Setiap rencana jahat yang ia rundingkan dengan Sang Ayah selalu membuat hati Putra Mahkota tersulut, pasalnya orang-orang tak bersalah pun ikut dilibatkan, sama persis dengan kejadian di hadapannya.
Putra Mahkota melepas tas nya dan berdiri di tengah lapangan, tepat di bawah kaki menggantungnya perempuan itu.
“Ada apa ini? Siapa yang tega melakukan ini?”
Sekali seruan, ucapan Putra Mahkota tak digubris. Rakyat yang lain justru membicarakan tingkah Putra Kerajaan yang bertindak seolah orang yang bijaksana dan paling benar.
“Jika tak ada yang menurunkan wanita ini, maka akan ku habisi dia.”
Ancaman ini pun menggugah naluri Gubernur Moun. Ia keluar dari sarangnya, kantor pemerintahan, dan berjalan menghampiri Putra Kerajaan dengan pengawalan para penjaga. “Apa mau mu kemari, wahai laki-laki?”
“Apa maksudmu melakukan ini pada manusia lemah yang tidak berdosa?”
Separuh tertawa, Gubernur Moun justru langsung melakukan pembalasannya. Sebuah pedang berhasil menggores leher Putra Kerajaan hingga setetes demi tetes cairan merah merembes dalam kain yang dipakainya. Putra Mahkota kalap, dengan sekali sergap, ia berhasil memukul mundur senjata Gubernur Moun hingga orang tua itu tersungkur ke tanah.
“Siapa kau, bocah! Beraninya kau padaku!”
Dengan posisi yang masih lemah, Gubernur Moun tak mau kalah. Ia terus mengutuk Putra Kerajaan dan bersumpah atas nama istana.
“Demi nama Raja Jang, akan ku tumpas semua yang melawan!”
Mendengar nama itu, emosi Putra Mahkota semakin membara. Laki-laki itu masih terus melakukan dosa ini setelah apa yang sudah ia lakukan kepada Sang Ibu. Dengan sekali tarikan napas, diraihnya pedang yang tergeletak di samping Gubernur Moun dan menusukkannya di perut Moun. Semua yang melihat dibuat terdiam, bahkan beberapa penjaga langsung menyerangnya. Namun dengan sekali goresan pedang, semuanya lenyap.
Melihat Gubernur Moun yang tak lagi bernyawa membuat rakyat seketika bersorak. Seakan baru saja didatangkan musim hujan setelah kemarau berkepanjangan, mereka memberi hormat pada Putra Kerajaan yang telah menyelamatkan mereka dari siksaan pemerintahan yang semena-mena.
“Tak ada yang bisa kami balas, selain pemberian seluruh jiwa raga hamba untuk Tuan.”
Putra Mahkota hanya tersenyum. Ia bergegas melepas tali yang mengikat perempuan muda itu dan mendudukkannya di atas tas bekal.
“Siapa namamu, wahai perempuan tangguh?”
Perempuan itu ikut tersenyum mendengar sanjungan laki-laki tak dikenalnya, yang sebenarnya adalah sosok yang selama ini ia kagumi, yakni Putra Mahkota.
“Hamba Sekar, Tuan.”
Tak berselang lama, Putra Mahkota mencium kening Sekar. “Kau adalah rakyatku yang kuat. Aku sangat menyayangi perempuan yang kuat sepertimu. Maka akan ku jadikan kau permaisuriku. Bersediakah kau?”
Semua orang disambut suka cita. Keterpurukan yang selama ini menelan mereka kini telah sirna. Semua berkat Putra Mahkota.
“Mulai saat ini, akan ku beri nama Desa ini Desa Sekar, dimana aku menemukan perempuan yang membuatku jatuh hati dan meminangnya di sini.”
Sejak saat itu, desa tersebut dikenal dengan nama Desa Sekar. Menggambarkan perjuangan dua orang berlainan yang mampu mengubah dunia, selamanya.
Author's note :
Tulisan ini hanya fiktif belaka, murni khayalan penulis.