oranment
play icon
Hidup Bersama Pengidap Skizofrenia
Cerpen
Kutipan Cerpen Hidup Bersama Pengidap Skizofrenia
Karya ditdutvogh
Baca selengkapnya di Penakota.id

Karya : Dita Arrizki Maenardi


"Sudah kelas dua, tapi masih belum punya tujuan mau gimana dan kemana?"


Sama. Aku pun demikian.


Bukan apa-apa sih. Aku paham, pertanyaan itu harusnya terjawab dengan tegas dan jelas, kalau kalian adalah pemikir. Masalahnya, aku tidak pernah memikirkan hal sampai sejauh itu, bahkan di umur yang sudah terbilang matang untuk masalah tersebut.


Lama-kelamaan, hati ini eneg dengan pertanyaan itu.


Bukannya sombong. Tapi, menurut pemikiranku, kita tidak bisa memilih bagaimana masa depan kita kelak. Kalau aku diberi kesempatan untuk memilih, mau banget ambil kuliah kedokteran dengan gelar master, bersuami kaya tujuh turunan. Tapi kenyataannya, masa depan nggak sebercanda itu.


"Ehm, belum kepikiran, Te."


"Lho, kok belum dipikirin? Mumpung belum terlambat, segera ditentukan."


Kring!


Sial. Obrolan siang bolong bersama teman arisan Mama yang terlalu ku ambil hati membuat mereka menjelma menjadi pemeran utama dalam mimpiku malam mini. Saat ini, yang ku pikirkan hanyalah langit-langit kamar yang menandakan aku sudah berbeda dunia.


Bola mataku terpenjam. Seketika, pandangan terlempar ke arah kaca, memperlihatkan wajah tak berdosa yang baru saja bangun dari mimpi buruk.


Membaca setiap senti dari diri ini yang tidak istimewa sama sekali. 


"Yah, tenang! Duduk sini."


Pasti itu suara Mama. 


Masih jam 4 pagi, tapi Ayah sudah berbuat ulah. Lambat laun, aku muak dengan kondisi dalam rumah. Sudah lima bulan ini kelakuan Ayah berbeda. Sering cemas, berbicara sendiri, seringkali berdebat dengan suara-suara dalam khayalannya, bahkan rela melukai.


Bukan hanya batinku dan Mama, tapi juga fisik kami.


"Yah, kamu jangan nurutin kata hatimu terus! Dia itu nggak nyata, sadar."


Sudah beberapa kali kalimat itu mencoba untuk melawan keangkuhan dalam diri Ayah. Berharap Ayah senantiasa sadar secara keseluruhan, namun hasilnya, itu hanya melelahkan Mama. 


Aku benci terus-terusan melihat Mama yang susah sendiri, mencoba mengendalikan Ayah yang semakin kelewat batas. 


Dan seiring berjalannya waktu, rasa benci terhadap Ayah mulai tumbuh. 


"Minum dulu airnya, Yah, baru aku pergi."

Tunggu. Ini tidak beres.


Aku berjalan cepat ke sumber suara. Aku tidak peduli dengan bunyi telepon masuk dari gawaiku. Ini lebih darurat, aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan Mama.


Baru saja aku berdiri di ruang tamu, aku melihat Ayah dengan tangannya yang melayang di atas kepala Mama mengejutkanku. Dalam sekejap, aliran darahku menjadi panas dan rasanya ingin meluap.


"Dina, cepat pergi ke rumah Budhe Lilik." Mama menatap ke arahku yang ku tahu itu sinyal agar aku segera melakukannya.


"Nggak! Jangan, jangan Dina, jangan. Jangan dengerin Mamamu."


"Kalau gitu cepet minum airnya!"


"Aku nggak mau!"


Aku bingung. Jika aku melangkah satu senti saja meninggalkan rumah, aku tidak ingin Ayah melakukan sesuatu kepada Mama. Sebaliknya, jika ini tidak segera diakhiri maka tak akan berakhir.


"Kamu mau dipukul?"


"Pukul aja!" Dengan air mata yang berlinang itu, Mama terus menjawab Ayah yang semakin melunjak.


"Ayah!" teriakanku membuat Ayah berhasil mengalihkan pandangannya dari Mama.


"Ayah tinggal minum airnya apa susahnya?" Kini, giliranku aku yang memberontak.


"Nggak usah ikut-ikut kamu!"


Aku tidak tahu apa yang sedang merasuki jiwa Ayah. Aku terus berdoa dalam hati agar pemandangan ini segera berakhir. Seketika tubuhku lemas, dan tidak bisa memikirkan apapun selain keselamatan Mama.


"Tunggu apa? Cepat diminum!"


"Nggak mau Aku Ma, nggak mau."


"Kalau nggak, aku pergi ke rumah Mbak Lilik."


Dengan langkahnya, Mama sekuat tenaga berjalan cepat arah pagar, meninggalkan pagar yang masih terbuka lebar. Bahkan, sudah sejauh sepuluh langkah pun, Ayahku dengan posisinya yang tak berpakaian berusajha mengejar Mama sampai keluar rumah. Teriakan Ayah yang nyaring seringkali membuat Mama tak berdaya.


Dan benar, Mama kembali dengan lengan yang dicengkeram tangan baja Ayah. Matanya tak bisa menyembunyikan sedih dan nelangsa.


Aku takut. Di dalam rumah itu, aku seperti bocah SD yang baru saja melakukan kesalahan besar hingga tak berani berbicara dengan seisi rumah.


Seperti itulah kiranya kondisi rumahku saat ini. Mencekam.


"Sudah, minum airnya."


"Argghh." 


Erangan itu akhirnya muncul. Aku yakin, itu adalah sosok lain yang ada di dalam diri Ayah yang berusaha menguasai seluruh tubuh Ayah. Tanpa perlu berlama-lama, aku segera berlari keluar rumah, membuka pagar sekeras mungkin dan cepat-cepat berlari menuju kediaman Budhe Lilik, satu-satunya relasi yang mengetahui kondisi Ayahku saat ini.


Malam itu sedang hujan. Bahkan saat aku berlari, aku tak peduli dengan genangan air yang muncrat mengenai pakaianku. Tidak ada hal lain yah ku pikirkan selain cepat-cepat menemui Budhe Lilik. 


Sesampainya, bukannya langsung bertemu, aku dihadapkan dengan keadaan rumah beliau yang gelap dan sudah tertutup rapat. Memang benar malam itu sudah larut, namun, meski telah ku coba untuk menggedor pagar tingginya, tetap tak ada balasan.


Mataku terus mengawasi sekeliling. Aku takut Ayah mengejarku dan tiba-tiba muncul dari belakang serta menyeretku kembali ke rumah. Bahkan, tetangga pun tak ada yang keluar meski suara teriakan memanggil yang ku timbulkan bisa dibilang memekakkan telinga.


Aku pun terdiam. Mencoba untuk berpikir secepat mungkin bagaimana cara agar bisa segera masuk ke dalam. Dan sial, aku baru ingat bahwa rumah Budhe Lilik memiliki tombol bel.


Secara brutal, aku menekan tombol tersebut berkali-kali. Hingga kemudian datang Pakdhe Tri, perasaanku lega.


"Dina?"


"Ayah, Pakdhe."


Seakan mengerti dengan apa yang ku maksud, Pakdhe Tri segera membuka jalan dan aku langsung berlari menghampiri Budhe Lilik. 


"Dina?"


"Ayah, Budhe."


"Kenapa?"


"Ayah marah-marah, dan mau mukul Mama."


"Mukul gimana?"


"Aku takut, Budhe."


Budhe Lilik pun menuntunku untuk duduk di sofanya. Sementara itu, Pakdhe Tri sibuk menghubungi seseorang yang tak ku ketahui. 


"Mamamu sekarang dimana?"


"Di rumah, nggak boleh keluar sama Ayah."


Budhe Lilik hanya bisa mendesah. "Mamamu itu sudah tak bilangin, kalau malam tidur di sini, kalau ada apa-apa nggak ditangani sendiri."


Aku menunduk. Tidak bisa memendam ketakutan luar biasa yang baru kali ini aku rasakan. Budhe Lilik terus memperingatkanku untuk tidak menangis.


Tak lama, seseorang masuk ke dalam rumah Budhe. Dia Mama, dan Ayah yang dikawal dengan laki-laki yang ku kenal sebagai Bapak RT.


"Mbak Lilik," Mama langsung menyebut nama itu dan berlutut di hadapannya.

"Aku nggak kuat lagi, Mbak Lik. Malah menjadi-jadi."


Bapak RT langsung mendudukkan Ayah. Sementara aku, justru langsung berlari ke dalam ketika melihat muka Ayah. Seperti ketakutan tersendiri.


Dan malam itu benar-benar tidak bisa aku lupakan. Bagaimana Ayah seperti itu, melihat Mama yang selama ini baru sekali merasakan tekanan yang terbilang tiba-tiba.


Di dalam kamar, aku tidak bisa tidur. Aku terus memikirkan Mama dan Ayah. Kejadian beberapa menit lalu seperti momen yang sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu dan masih membekas.

Dari dalam kamar, bisa aku dengar Ayah menanyakan keberadaanku. Beberapa kali mengatakan ingin bertemu denganku, dan berkali-kali dicegah oleh Budhe Lilik. Kemudian, seseorang membuka pintu kamar. 


Aku lega itu bukan Ayah.


"Sudah, tidur. Nanti kamu sekolah. Satu jam cukup buat tidur."


Mataku langsung melihat wajah Budhe Lilik. Dan pandangannya menunjukkan prihatin.


"Ayahmu sedang berjuang melawan sosok lain dalam dirinya. Tekanan itu memengaruhi kondisi psikologisnya, menyebabkan kejiwaan Ayahmu terganggu. Mungkin, jin itulah yang menolak untuk meminum air berisi bacaan doa yang harusnya Ayahmu minum."


Jam menunjukkan pukul 4. Aku harus kembali ke rumah, bersiap untuk sekolah.


Aku pun meminta kunci rumah kepada Mama. Ayah yang sudah cukup tenang dari sebelumnya tertidur di pangkuan Mama. Aku pun berlari dengan cepat setelah bola mata Ayah sempat menangkap bayanganku.


Setelah mendengar suara azan Subuh, barulah hatiku merasa tenang. Setidaknya, meski harus berjuang menegarkan diri sendiri, aku masih memiliki Tuhan yang membuatku bisa untuk bangkit kembali.

calendar
09 Jul 2019 11:10
view
111
wisataliterasi
Surabaya, Kota Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
idle liked
3 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
close
instagram
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
close
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh:
example ig