Teringat jelas bayang wajahmu, dan kenangan yang dulu pernah dilalui.
Aku melintas di sebuah tempat yang menjadi kenangan masa kecilku. Lima belas tahun sudah tak lagi kusambangi lokasi ini. Suasananya masih sama. Sunyi, sepi. Pelosodan semen dan pohon belimbing yang masih tetap kokoh. Tak ada perubahan sedikitpun. Terlihat jelas gambaran seorang gadis yang hendak beranjak remaja duduk tertunduk dengan tetesan air mata di pipinya. Aku teringat masa kala itu.
****
Hujan turun tak begitu deras, tapi angin berhembus kencang. Seorang gadis keluar dari sebuah pintu rumah, ia tampak bergurau bersama dua orang teman lelakinya. Tapi, pada saat berada di beranda rumah itu, tampak dengan jelas saat gadis itu sedikit bercekcok dengan salah satu teman lelakinya.
Aku ingat kala itu usiaku menginjak 12 tahun. Usia yang boleh dikatakan semakin beranjak menjadi remaja. Masa dimana setiap insan mencari jati dirinya.
Kala itu aku selesai mengikuti kegiatan peribadatan di sebuah rumah doa bersamanya. Ya, dia, yang akan tersemat dalam hatiku.
Hujan turun tak begitu deras, percekcokan itu diawali saat kami beradu pendapat. Aku lupa apa yang didebatkan saat itu. Hingga tiba-tiba sebuah Alkitab Anak yang setebal kamus itu melayang di atas kepalaku. Sontak saat itu juga muncul bintang-bintang kecil di atas kepalaku dan darah yang sedikit menetes dari hidungku.
"Sori, aku nggak sengaja... Jangan marah...", rayu laki-laki berkulit putih itu.
Tapi sayang, aku tak mampu menahan rasa sakit itu. Terpaksa aku pergi meninggalkannya dan duduk tertunduk di pelosodan dekat rumah doa itu. Laki-laki sebaya itu lari menerjang hujan dan menghampiriku.
"Tak anter pulang aja yuk, daripada di sini?", ucapnya dengan penuh penyesalan.
"Aku nggak berani pulang dengan keadaanku yang seperti ini, seenggaknya biar darah ini hilang dulu", jawabku sambil terus membersihkan darah di hidungku.
Dia pun dengan setia menungguku, hingga langit hampir gelap. Padahal teman-teman yang lain sudah pulang. Kami hanya berdua dan saling diam.
Hingga kalimat itu muncul dari mulutku.
"Yer, kok kamu nggak pulang aja, sudah hampir gelap lo, udah gih sana pulang, bentar lagi pusingku hilang kok,"
"Nanti aja ah, aku mau nungguin kamu, terus aku antar sekalian," jawabnya singkat.
Kami kembali diam.
"Emmm...aku boleh ngomong sesuatu nggak ke kamu,"tanyanya sedikit gugup
"Mau tanya apa?"
"Kalau ada seseorang yang sayang ke kamu melebihi sahabat, apa kamu mau menerima dia?" tanyanya.
Sontak hatiku terasa lepas, jantungku berkdekup kencang.
"Udah ah, aku mau pulang, aku udah nggak pusing kok. Dah sana kamu juga pulang, makasi ya udah nungguin," aku berusaha menyimpang dari pertanyaannya.
"Ya , udah deh aku pulang, sampai ketemu besok di sekolah ya" kami pun berpisah.
***
Keesokan harinya aku memang ijin dengan guru untuk tidak masuk, lantaran kepala ini masih melayang dan badanpun rasanya menggigil tak karuan.
Tapi saat pulang sekolah dia datang ke rumah dengan alasan ingin menjenguk.
Kami pun berbincang di depan rumah. Dia benar-benar menyesal akan kejadian yang pernah membuatku sakit.
Aku ingat jelas betapa raut muka penuh penyesalan itu tertunduk dan tak mampu memandangku atau bergurau seperti biasa.
Kini kami telah beranjak dewasa, mungkin kenangan itu akan menghilang dari benaknya, tapi tidak denganku. Semakin hari kenangan itu semakin terlihat jelas. Terlebih perpisahan yang membuatku enggan untuk lupa.
Kala itu 2 bulan setelah kepergian ayahnya, ia bersama keluarganya pergi dan lama tak kembali.
"Besok pulang sekolah, jangan langsung pulang ya, aku pingin ngobrol di tempat biasa,"pintanya disuatu siang.
Aku pun mengiyakan permintaannya. Pulang sekolah, aku menunggu di tem0at yang sudah kita janjikan, lama aku menunggu. Tak lama kemudian, dia datang dengan terengah-engah. Dia bercerita tentang rencana kepindahannya, aku memang sudah tahu sebelumnya. Tapi tak pernah kusangka jika akan secepat ini.
"Tunggu aku ya, sampai nanti waktunya tiba, aku akan kembali, dan menemuimu di tempat ini," katanya sambil mengucap salam perpisahan.
****
Satu tahun berlalu, dan setiap pulang sekolah aku masih selalu menunggu di tempat itu. Hingga akhirnya aku menginjak kelas 3 SMA, rasa itu tak pernah memudar sedikitpun. Sempat aku berpikir bahwa ia mengingkari janjinya. Marah dengan perasaan yang tak menentu. Meski pada akhirnya keterpaksaan itu datang. Ya, aku pun menerima seseorang untuk mengisi hatiku yang tak pernah menemukan jawaban.
Baru dua bulan aku menjalin hubungan serius dengan si ketua osis, ternyata laki-laki masa kecil itu datang.
"Kenapa baru sekarang? Setelah aku putus asa akannnya,"gumamku dalam hati.
Pertemuan itu terasa tak bermakna, kami hanya bisa menatap bisu tanpa kata. Aku kecewa akan hidupku. Tapi inilah yang harus kujalani.
Lima hari kemudian, seorang temannya yang bernama Albert mengungkap semua tentangnya. Dia bercerita banyak, laki-laki berkacamata itu menceritakan bahwa ada hati yang juga memendam rasa sakit yang tak pernah bisa terungkap.
Kenyataan yang sangat membuatku semakin merintih kesakitan. Sebenarnya kejadian saat dia memukulku dengan Alkitab Anak itu, ada hal yang ingin dia ungkap, tapi aku yang seolah-olah tak ingin mendengarnya.
Dia ingin menjadi peri yang dulu selalu kuungkapkan ke dia.
****
Dulu engkong pernah cerita, bahwa aku dan dia dilahirkan di tempat dan tanggal yang sama, hanya jam yang membedakan kami. Saat itu mamahnya mengalami pendarahan dan harus mendapatkan perawatan khusus. Kala itu juga ibuku mengalami kontraksi, tapi bayi di dalam rahim ibuku belum mau keluar.
Ibuku dan mamahnya di tempatkan dalam satu ruangan, dan tepat pukul 21.45 seorang bayi laku-laki lahir dari rahim seorang ibu dan diberi nama Yeremia. Sedangkan aku dilahirkan pada pukul 23.17. Karena memang tempat tinggal kami pun bertetangga, hubungan kedua ibu itu pun selayaknya keluarga.
Hingga dokter menemui ibuku dan memberitahukan hal buruk tentangku, bahwasannya seorang bayi perempuan berkulit sawo matang itu mengalami kelainan pada paru-parunya. Kurang lebih selama 3 bulan bayi perempuan itu harus tetap tinggal di rumah bersalin untuk mendapatkan perawatan. Betapa hancur hati ibuku. Tapi inilah anak istemewamu ibu.
Hingga aku beranjak menjadi gadis kecil yang tumbuh dengan penuh keceriaan, aku dan dia selalu bermain bersama.
"Aku pengin punya peri yang selalu melindungiku,"ceritaku saat aku duduk di bangku sekolah dasar.
Walau aku dan dia tidak satu sekolah, tapi kami selalu belajar bersama, bahkan pulang sekolah pun saling menunggu.
Setiap seminggu sebelum hari ulang tahun kami, dia selalu bertanya apa yang aku inginkan untuk kado ulang tahun nanti, dan aku selalu menjawab bahwa aku ingin punya peri yang selalu di sampingku. Tapi sayang, beribu kali aku menjawab pertanyaannya, dia tidak pernah mengabulkan keinginanku, peri itu tidak pernah ada untukku. Dia hanya selalu membawakanku cokelat ... cokelat ... dan cokelat. Hingga perpisahan itu datang, coklat itu selalu ia berikan kepadaku. Aku sempat mengulang kembali permintaanku.
"Aku nggak pernah ingin coklat darimu, aku ingin punya peri yang akan selalu ada untukku," pintaku diakhir pertemuan kami dengan air mata yang menetes di pipi.
****
Setelah lima belas tahun berlalu, ia datang kembali. Kini usia kami sudah tak lagi muda.
Kata orang cinta pertama itu tak akan mudah dilupan, tapi aku ingin lupa. Kenapa sekarang dia kembali dengan segala keterbatasan yang aku punya. Bahkan dia pun kembali dengan segudang pergelutan dalam hidupnya.
Sekali ia menemuiku dan bercerita tentang kehidupannya yang hancur. Pernikan yang kandas hingga bisnisnya yang terombang ambing.
Aku bukan lagi yang dulu, yang selalu mendengar segala keluhnya. Kali ini aku berusaha menutup telingaku akan semua celotehnya. Aku tak ingin terlarut dalam suasana yang menekan hatiku.
Rasa sakit kala itu sudah cukup membuatku tak mampu membuka hati untuk orang lain, hingga saat ini dan entah sampai kapan.
Satu hal yang aku heran, kenapa semua sahabatku baru terbuka sekarang, saat aku sudah menua tanpa cinta.
Mereka baru terbuka bahwa selama ini dia memata-mataiku dengan segala aktivitasku.
Dia tahu segalanya tentangku. Dia tahu pekerjaanku, dia tahu perjuanganku mencari biaya kuliah, dia tahu bagaimana aku harus menerjang hujan setiap sore demi biaya kuliahku, bahkan dia pun juga tahu bagaimana aku di jalanan untuk mendapatkan sebuah berita. Dia tahu betapa aku berusaha melupakan segalanya. Tapi sekarang semua sudah beralalu, sekuat apapun aku berusaha tegar, tapi tetaplah kenangan itu semakin menjadi.
Kenapa baru sekarang, dan kenapa harus sekarang. Aku ingin menghilang dari segalanya. Ingin melupa, tapi bagaimana bisa melupa jika dia justru selalu ada disaat aku butuh.
Saat aku punya permasalahan entah itu di tempat kerja, di rumah, atau masalah dalam hatiku, dia selalu berikan dopling positif untukku.
Sempat suatu ketika aku minta pada Tuhan, biarkan aku lupa dan menghilang untuk selamanya darinya, karena saat ini aku hidup dengan hati yang sudah hancur.
Tak akan pernah berakhir cerita ini hingga nanti aku tutup usia. Tinggal aku menjalani hidup dengan sejuta kenangan yang juga belum bisa berlalu.
Tegarlah hatiku, hingga waktu itu akan tiba.