Anak Yang Malang
Cerpen
Kutipan Cerpen Anak Yang Malang
Karya dwitrahanifi
Baca selengkapnya di Penakota.id

ANAK itu lari bukan kepalang dibawah terik sinar mentari pagi. Dikejar-kejar oleh masalah hidup yang menghantuinya. Kemanapun ia berlari dari kenyataan tetap saja ada yang mengikutinya. Secepat kilat ia bersembunyi agar tidak ada yang tahu. Dibawah jembatan kota tua. Bersembunyi di tiang listrik hingga dibawah pohon yang rindang. Celakanya setiap kali ia bersembunyi dibawah pohon yang rindang selalu saja burung-burung sialan itu berak diatas kepalanya. Burung-burung yang berak diatas kepalanya biasanya burung yang keluar dari sangkarnya dan tidak betah berak di rumahnya sendiri. Sebab selalu saja diganggu oleh sanak saudaranya sendiri. Ada saja gangguan ketika ia bersembunyi dimanapun dan kapanpun.

Klakson-klakson mobil yang tidak pernah ramah lingkungan di jalan raya membuat bising kupingnya sendiri. Tak pernah sedikitpun ia merasa tenang dengan hidupnya. Koran-koran bekas yang memberitakan kriminal hingga informasi tentang politik kotor dinegara ini menjadi alas tidur sehari-hari di emperan toko. Setiap hari ia selalu saja berpindah-pindah tempat. Dari toko klontong, toko obat, toko perabotan rumah tangga hingga toko alat kontrasepsi pernah ia singgahi. Pernah suatu ketika ia bermalam hingga datang sang fajar hari. Didepan toko minimarket. Dengan paksanya ia diusir secara kasar oleh petugas keamanan minimarket. Anak itu bukan pengemis, pengamen, maupun gelandangan kotor. Ia hanya ingin mencari kenyamanan di luar rumah. Mengusir keresahan hidupnya yang kerap kali selalu dihantui bahkan diikuti setiap saat. Bahkan petugas sialan itupun mengikuti dan menambah bebah hidupnya. Seketika dengan jurus silat yang pernah diajarkan ketika masuk padepokan ia lawan petugas. Menangkis pukulan petugas. Menghindar serangan petugas. Hingga akhirnya ia babak belur disekujur tubuhnya karena postur tubuhnya tidak sebanding dengan lawannya.

Senja tampak kemerahan di ufuk barat semburatnya dibawah garis cakrawala. Sejak sepuluh tahun lalu ia tak pernah bertemu ibunya. Ia pernah menelpon ayahnya dengan menggunakan telpon umum biasa dipinggiran jalan. Percakapan berujung konflik. Ayahnya memarahi habis-habisan karena tidak pernah pulang kerumah. Ia mencari ibunya yang minggat akibat dipukuli ayahnya ketika masa kanak-kanak. Hingga ia tertekan dan awal pemicu beban pikiran secara psikis. Dan akhirnya ia minggat untuk mencari ibunya dengan tekanan mental. Alih-alih ia sering di perlakukan seperti orang gila oleh orang awam. Banyak yang menjauhi dirinya dari kehidupan sosial. Hingga ia saat ini tak memiliki tempat tinggal tetap. Hidup yang nomaden membuat dirinya harus berlama-lama tinggal di luar rumah dan tidak akan pernah kembali kerumah. Ketidaknyamanan dan ketidakbahagiaan membuat ia harus tetap kuat dan tegar menjalani hidup dijalanan.

Garis waktu yang telah mempertemukan ia denganm keberuntungan disetiap kesempatan. Takdir baik yang selalu Tuhan berikan kepada anak malang itu. Dan alam semesta yang telah mendukung ia tetap berjuang dan tak pernah patah arang. Jalan-jalan yang terjal dan duri yang menusuk kakinya telah ia lalui untuk mencari kebahagiaan dalam mempertemukan ia dengan ibunya. Ia berharap bisa meneteskan air mata bahagianya dihadapan ibunya. Pernah ia berfikir untuk membelikan baju baru untuk ibunya agar terlihat senang dan tersenyum. Tapi semua pikiran itu pupus sudah terbawa angin menuju lautan dan pecah bersama ombak. Ia sangat rindu sekali untuk bertemu. Bukan soal rindu kepada kekasihnya seperti anak muda pada umumnya. Bukan soal kasih sayang yanng mudah pudar dan sirna terhadap pacarnya. Tapi ia memikirkan soal surga yang berada dibawah telapak kaki ibunya. Soal kasih sayang yang pernah diciptakan ibunya ketika didekapan hangat ibunya. Semasa kecil dulu, sebelum ia tidur selalu di dongengi dibawah sinar rembulan dikamar tidurnya. Dimandikan saat menjelang sore seusai bermain di sawah. Dipakaikan seragam sekolahnya sebelum berangkat sekolah. Yang terakhir yang ia ingat sebelum ibunya pergi minggat adalah ibunya berpesan sebelum menjelang tidur. Pesan itu yang selalu melekat di ingatannya. Dan kasih sayang ibu yang menyertainya melekat di dalam dada. Pesan itu begini :

"Nak, ibu sangat menyayangimu. Jaga dirimu baik-baik ya.. ayahmu.."

"Minggat!!!" teriak ayah kepada ibu.

"Ibu, mau kemana bu? jangan tinggalkan aku, aku takut.."

"Diam bocah kecil gak usah ikut campur urusan ayah dan ibu"

"Tapi aku takut bu.." ujar bocah itu dengan isak tangisnya.

Sebelum meninggalkan rumah, ayah memukuli ibu hingga lebam di sekujur tubuhnya. Tak melawan, ibunya lalu bergegas pergi meninggalkan rumah. Meninggalkan kebahagiaan yang dulu. Meninggalkan tanggung jawab rumah. Dan meninggalkan pesan terakhir yang belum usai kepada anaknya.

Ayahnya yang suka mabuk-mabukan dan berjudi yang membuat rumah tangganya retak. Setiap hari. Setiap malam. Hanya memukuli istrinya ketika tiba dirumah. Lalu minggat lagi dan berjudi. Kerjaannya memang begitu, sampai tetangga samping rumah paham dengan kesehariannya. Perabotan rumah yang mulai habis dijual, memicu konflik dengan istrinya. Akibatnya ia tidak dapat membayar hutang pada teman judinya. Semakin hari semakin tempramental ayahnya. Hingga ia ingin membunuh istrinya sendiri.

Ayahnya tak pernah bekerja selain berjudi..berjudi..dan berjudi.

Kini anak itu pasrah dengan segala keadaannya. Segala keterpurukannya ia serahkan dengan seutas tali tambang berukuran sedang. Dibawah pohon beringin ia akhiri hidupnya dengan tali mati yang mengikat lehernya. Burung-burung yang biasanya berak dikepala bocah itu kini menahan beraknya seketika. Lalu burung-burung itu menyaksikan akhir dari cerita bocah yang malang. Sementara, semesta alam mendoakan bocah itu agar dipertemukan dengan ibunya di surga.

Yogyakarta, 2018
24 Feb 2018 20:04
1.6K
Yogyakarta, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: