Burungku Tertidur, Jangan Ganggu (Resensi Pembacaan: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas)
Resensi
Kutipan Resensi Burungku Tertidur, Jangan Ganggu (Resensi Pembacaan: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas)
Karya erostians
Baca selengkapnya di Penakota.id

Vengeance Is Mine, All Others Pay Cash (2021). Membaca kalimat tadi mungkin terbayang sebuah judul film action Hollywood yang menceritakan pembalasan dendam seorang pria atau bisa jadi wanita kepada orang-orang jahat yang telah membunuh orang terkasihnya. Maaf, hal tersebut salah. Judul film di atas adalah judul resmi dari sebuah film yang disutradarai oleh Edwin, Sineas asal Surabaya. Menceritakan tokoh utama yang bernama Ajo Kawir, dan tempatnya bukan di Amerika, tapi di Indonesia. Film adaptasi ini diangkat dari sebuah novel berjudul Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014) karya Eka Kurniawan. Pada Agustus 2021, film ini mendapatkan penghargaan Golden Leopard, hadiah utama dalam kompetisi internasional Festival Film Internasional Locarno. Sebuah penghargaan yang luar biasa bukan?


Sambil menunggu tayang di bioskop Indonesia, membaca karya aslinya adalah pilihan yang dapat diambil. Saya mengambil pilihan itu, terlebih saya juga sudah kenal dengan beberapa karya Eka Kurniawan, yang paling berkesan bagi saya adalah kumpulan cerpen Corat-Coret di Toilet (2000).


Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas menceritakan tentang seorang Lelaki bernama Ajo Kawir yang bernasib nahas, dia Impoten. Hal tersebut disebabkan oleh peristiwa tak terduga yang dialaminya bersama Si Tokek sahabatnya, saat mengintip pemerkosaan seorang wanita dengan gangguan mental bernama Rona Merah oleh sepasang polisi. Semenjak burung-nya tidak bisa bangun, timbul kecemasan pada hatinya yang lambat laun mengubah kepribadiannya menjadi pemarah dan brutal. Suatu ketika Ajo bertemu dengan Iteung seorang wanita jago kelahi yang membuatnya babak belur saat ingin meluapkan kemarahannya pada seorang pria biadab bernama Pak Lebe. Tak disangka perkelahian antara Ajo dan Iteung menumbuhkan perasaan cinta pada Ajo maupun Iteung, tapi hal itu justru membuat kecemasan Ajo semakin besar. Dia takut: tidak bisa memenuhi kebutuhan asmaranya bersama Iteung karena dia Impoten.


Membaca novel (yang diberi cap 21+) ini saya menemukan diri tenggelam dalam cerita yang seru. Tema kriminalitas, maskulinitas, seks, dan cinta menjadi bumbu yang begitu saya nikmati. Tidak melebih-lebihkan, mungkin karena saya tumbuh dengan tontonan semacam Serigala Terakhir (2009), Realita Cinta dan Rock n Roll (2006), Merantau (2009), The Raid (2011) hingga film adaptasi komik berjudul Crow Zero (2007) dari negeri Sakura. Keseruan itu terjadi tatkala bayangan perkelahian antar pemuda dengan gelora jiwa yang meluap-luap muncul dalam imajinasi. Bayangan itu juga dibantu oleh lugasnya Eka Kurniawan menuliskan berbagai peristiwa di dalamnya. Meski motif perkelahian dalam novel ini berbeda dengan berbagai karya yang saya sebutkan di atas, pemikiran Eka melalui tokoh Ajo membuat saya memahami bahwa ketidakpuasan terhadap masalah maskulinitas dapat membuat seorang pria mengalami peningkatan emosional yang serius.


Diksi yang dipakai Eka novel ini cukup berani, bahkan untuk orang awam mungkin terlalu berani. Tak salah jika novel ini diperuntukkan bagi pembaca di atas 21 tahun. Di balik diksi-diksi yang vulgar itu saya mendapati bahwa bahasa tersebut benar adanya digunakan di masyarakat. Tanpa menghilangkan estetika adegan yang dramatis, Eka berusaha menampilkan keadaan masyarakat apa adanya melalui gaya bahasa semacam itu. Terkadang saya bisa dibuat tertawa oleh keadaan ironis Ajo Kawir yang terus berusaha untuk membangunkan burungnya. Keluguan Ajo Kawir dan Si Tokek pada usia muda mengingatkan saya pada kenakalan masa kecil yang telah berlalu.


Penggambaran Eka tidak terlalu terperinci atau detail tapi peristiwa mengalir begitu baik sehingga pembaca hanya perlu mengikuti alur yang dibentuk demikian rupa. Namun saya menemui kesukaran ketika alur mulai dipermainkan. Maju-mundur-kembali ke posisi-bahkan jauh ke depan. Benar-benar akrobatik penulisan yang memerlukan pembaca dengan jam terbang tinggi, jika tidak, saya pastikan pembaca pasti akan tersesat dalam pembacaan. Namun, saya pribadi menyukai cara Eka memainkan alur tersebut. Dengan membacanya saya seakan sedang mengerjakan kepingan-kepingan puzzle yang berserakan hingga menjadi satu keutuhan.


Pembaca akan dibuat penasaran dengan nasib percintaan Ajo dan Iteung yang penuh tragedi. Pertemuan dan perpisahan antara kedua tokoh tersebut adalah alur yang cukup membuat saya resah sekaligus betah untuk membaca terus menerus. Apakah Iteung akan menjadi seseorang yang menyelamatkan Ajo dari nasibnya yang malang? Atau justru petaka bertambah besar sejak pertemuan mereka? Lalu bagaimana cara Si Tokek untuk menyembuhkan sahabatnya itu sebagai bentuk pertanggungjawabannya? Akankah Ajo Kawir mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan dalam hidupnya?



Jakarta, 5 September 2021

Septio Eros Tian

07 Sep 2021 01:41
188
Rawamangun, Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Indonesia
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: