Kisah Ular yang Berusaha Melilitkan Harapan
Cerpen
Kutipan Cerpen Kisah Ular yang Berusaha Melilitkan Harapan
Karya estersariliaa
Baca selengkapnya di Penakota.id
Beberapa kali aku sudah mencoba namun hasil yang kudapatkan selalu ditolak. Ditolak mentah dengan berbagai alasan, bahkan di dalam tiap alasan ada pula alasan lain. Alasan di balik alasan. Kamar dipenuhi bergumpal-gumpal sampah kertas, seberapa keras berusaha tak kunjung membuahkan hasil. Aku merasa frustasi dan lebih tepatnya menyalahkan diri sendiri. Mau saja ditantang oleh Ular, menunjukkan bahwa diriku bisa lebih hebat dari Ular. Aku tak ingin harapanku dililit Ular yang dikenal memiliki pendidikan tinggi namun bagiku dia tak memiliki etika. Banyak menirukan semua kalimat tanpa merasa bersalah. Itu semua demi nilai.

Entah karena alasan apa bisa membuat aku yakin untuk mengalahkan Ular itu. Ular selalu mengeluarkan kata perkata untuk mengalah meskipun sudah berbusa. Aku disebut pelawak, dompet sudah kusut masih berani melawan Ular. Bagaimana masa depannya? Bagaimana nasibnya?

“Suatu hari nanti kau akan jadi pengarang terkenal. Begitu pikirmu? Kasihan sekali,” Aku tak merasa nada itu terdengar iba.

Aku pergi ke ruang pribadi yang masih ada sampah-sampah kertas berserakan. Ada yang ingin membersihkan tapi aku menolak keras walau ada yang sering menyuruh berhenti menggapai impian kekanak-kanakan. Aku ingin memelihara sampah-sampah kertas, barang kali ada ide sedang bersembunyi di baliknya. Aku memungut semua sampah kertas di lantai lalu kubuka kertas untuk dibacakan kembali meskipun terlihat kusut. Saat kuperhatikan setiap kalimat, mencari celah di mana letak kesalahan dan mulai memperbaiki. Aku juga menyusun kertas yang berserakan untuk menyatuhkan kisah. Semakin lama mata mulai melelahkan, aku pergi menuju dapur dan tak lupa mengunci kamar. Tak ingin ada yang mengobrak-abrik atau membaca rahasia ide cerita. Lalu aku mengambil gelas juga toples berisi bubuk kopi dan diisi termos untuk memulaikan ritual. Ritual yang bisa membangkitkan pikiran.

Aku sudah terlalu berharap, tapi sayang harapannya tidak sesuai dengan kenyataan. Aku kesal dengan segala harapan. Tak tahu lagi harus berbuat apa terhadap karya yang kubuat untuk mengalahkannya. Terkadang aku ingat, Ular pernah berbisik di telingaku. Ikuti arus, katanya. Mengikuti cara-cara Ular itu, bagaimana cara berhasil meraih dengan mudah. Tapi aku menolak dan tetap bersikap teguh, lagi-lagi aku bisa membuyarkan pikiran sesat itu. Walau terkadang aku ada rasa ingin mengikuti arusnya.

“Baiklah, mungkin imajinasiku kurang liar,” Aku hendak pergi ke perpustakaan, memakan semua kata-kata untuk menjalankan imajinasi dan diam-diam aku mengintip semua buku apa yang pembaca butuhkan, apalagi buku seperti apa yang belum pernah diterbitkan.

Dengan hati berat, aku pulang tak mendapatkan imajinasi apapun. Membaca setiap kalimat tak membuat aku bisa membayangkan isi ceritanya. Pikiranku masih menempel kuat mengenai percakapan Ular, karena aku sudah melihat apa saja kesuksesan yang diraih Ular itu. Terlihat mengagumkan memang. Tapi aku yakin dibalik layar kesuksesannya bagaimana. Ular memiliki seribu cara tipu muslihat namun banyak orang mempercayainya. Aku ingin sekali membongkar kedoknya.

Aku duduk di bawah pohon beringin hendak melepas rasa penat lalu memandang langit sedang bahagia. Burung-burung senang menari sana-sini, setidaknya bisa menghibur hatiku. Sejatinya aku baru menyadari, ternyata aku tak sendiri menikmati di bawah pohon beringin. Langsung spontan saja aku bertanya, “Kenapa sendirian di sini?” aku melihat anak seumurannya ada di dekat mereka sedang bermain bola. Aku tahu mereka adalah teman satu sekolah, terlihat memakai pakaian olahraga yang sama. Aku tahu mereka dari sekolah mana, letaknya tak jauh dari mereka. Sudah cukup sering lapangan itu dipakai oleh anak-anak untuk bermain bola.

“Nggak main bola itu banci ya?” Bertanya dengan bibir yang berbentuk lekukan tarik ke atas dengan nada pelan.

Acap kali menyebut dirinya banci karena tak main bola. Aku langsung ingat masa lalu saat seumuran dengan anak itu, aku merasa pernah mengalami seperti yang dialami anak itu. Aku tak cakap bermain sepak bola. Juga tak lihai menggerakkan bola dengan berbagai teknik seperti flip-flap a la Christiano Ronaldo, roulette a la Zidane, atau apapun itu.

“Kalau main badminton?” tanyaku. Aku pernah coba mengalihkan profesi sepak bola menjadi badminton. Barangkali aku sama dengan anak itu. Tak begitu lihai dibidang sepak bola namun lihai dibidang olahraga lain. Namun anak itu menggeleng pelan sesuai arah rumput yang bergoyang oleh angin. Terus bisanya olahraga apa? Tapi pertanyaanku tak menyuarakan secara langsung padanya. Tak tega aku membahas mengenai bola atau apapun yang berhubungan olahraga. Aku melihat anak itu menunduk kepalanya yang masih melarutkan kesedihannya. Dia mulai bisa mencurahkan isi hatinya meskipun suaranya nyarisnya tak terdengar, bukan hanya karena kesedihannya tapi angin juga menghapuskan suaranya.

“Hei, angkat kepalamu!” kutepuk pundaknya bermaksud menyemangati anak itu.

“Mama melarang aku jadi laki-laki,” ungkapnya. Aku berpikir tak ada salahnya menyukai olahraga. Sejak kapan ada peraturan olahraga harus sesuai gender? Toh, perempuan atau laki-laki sah-sah saja main bola selama ia menyukainya. Aku langsung tepuk pundak lagi dengan bermaksud yang sama juga menyuruh angkat kepalanya, “Bermainlah sepuasmu sampai bisa. Bermainlah selama Mamamu tidak melihatmu bermain,” dia masih saja menggelengkan kepala tapi kali ini lebih kencang gelengannya daripada sebelumnya.

“Semua orang jadi saksi karena mau dibayar Mama,” sungguh, kali ini aku penasaran seperti apa sosoknya. Ingin sekali aku mengintip seperti apa kehidupannya.

Jadi kami memilih diam sambil menikmati angin. Menghabiskan waktu sampai tak ada kerumunan di lapangan itu.

“Kamu ingin main?”

Sudah lama aku tak pernah menginjak rumput hijau yang luas dan aku merindukan aromanya. Seperti kataku, aku tak begitu lihai bermain bola kaki namun aku lihai bermain badminton. Apa salahnya aku mencoba lagi, wow dia lebih cepat mempelajari dari dugaanku. Dia begitu ligat membelokkan kanan-kiri untuk menipu mataku. Tak ragu-ragu dia mencetak gol, terdengar suara memuncak kesenangannya. Dia berlari sambil mengangkat tangan. Kamipun bermain lagi, begitu seterusnya.

“Aku ingin seperti Christiano Ronaldo!” ungkapnya.

Kami merasa lelah. Tidur di tanah yang sama, memandang langit senja yang sama. Saling membagi cerita mengenai harapan dan duka. Dia ingin sekali mengharumkan negara, begitu juga denganku. Namun harapannya selalu diganggu, akupun begitu. Pada titik inilah sesungguhnya semangat itu timbul, rasa suka terhadap bola. Walau aku tak lihai bermain flip-flap juga mencetak skor tapi rasanya sungguh mengasyikkan. Oleh karena itu aku ingin mengasah permainan olahraga ini, tentunya aku ingin bermain dengan anak itu lagi.

“Deo!”

Mendengar nama panggilan “Deo” aku malah merasa seperti kedengaran “Dor”. Suara ini melahap rasa kesenangan berubah menjadi ketegangan. Dia menyebut Mama dengan mata mulai membesar cepat sesuai mulutnya seperti ada sesuatu yang mengagetkan dirinya. Aku langsung menoleh, penasaran seperti apa sesosok Mamanya.

Ular?
26 Dec 2018 12:22
336
Medan, Kota Medan, Sumatera Utara
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: