oranment
play icon
Di Balik Pagar Pesantren
Cerpen
Kutipan Cerpen Di Balik Pagar Pesantren
Karya fariziraf9017
Baca selengkapnya di Penakota.id

Hari pertama masuk SMA sekaligus mondok di pesantren, aku masih inget banget rasanya. Berdiri di depan pagar besi tinggi, sambil mikir, “Ya Allah, beneran tiga tahun di sini?” Campur aduk antara rindu rumah, takut, dan deg-degan ketemu teman baru.


Begitu bel berbunyi, semua santri langsung lari ke aula. Duduk rapi, bersila, dan dengar ustaz pembina ngomong tentang peraturan: bangun sebelum subuh, wajib ngaji sore, dilarang bawa HP. Aku cuma bisa ngelus dada. “Baru juga masuk, udah ketat banget,” gumamku pelan.


Malam pertama di asrama juga gak kalah berkesan. Kamar rame, kipas bunyinya berdecit, beberapa ngobrol pelan, ada juga yang langsung tidur. Di sebelahku ada anak berkacamata, senyumnya ramah. “Santai aja, Bro. Nanti juga biasa,” katanya. Namanya Hasan. Sejak itu, dia jadi sahabat pertamaku di pesantren.


Hari-hari di sini punya ritme sendiri. Bangun sebelum subuh, lanjut ngaji, sekolah, hafalan, belajar lagi sampai malam. Capek sih, tapi di sela-selanya selalu ada tawa. Kadang hal kecil kayak curi-curi makan mi instan pakai air dispenser udah bisa bikin bahagia. “Jangan ketahuan musyrif!” bisik Hasan sambil ngakak.


Tapi gak semua hal di pesantren selalu indah. Angkatan kami dulu dikenal sebagai “angkatan bandel”. Banyak yang sering kena hukuman karena telat salat, tidak ikut halaqoh tahfiz, atau diam-diam bawa HP. Gara-gara itu, banyak guru jadi gak percaya sama kami.


Sampai suatu waktu, kami sadar. Kami mulai pengin berubah, pengin bener-bener jadi lebih baik. Tapi waktu kami mulai memperbaiki diri, gak ada yang percaya. Ada guru yang bilang, “Kalian mau baik mau enggak, sama aja. Perilaku kalian udah kelihatan dari dulu.”


Kalimat itu nyesek banget. Beberapa teman malah balik lagi ke kebiasaan lama karena ngerasa percuma. “Ngapain berubah kalau tetep disalahin,” kata Hasan waktu itu. Tapi aku cuma jawab pelan, “Nggak apa-apa, San. Kita buktiin aja nanti. Tuhan tahu niat kita.”


Malam itu aku nulis di buku catatan:

“Pesantren bukan tempat orang-orang baik, tapi tempat orang yang pengin jadi baik. Kita gak sempurna, tapi kita bisa berubah.”


Sejak saat itu, kami bener-bener berjuang. Belajar lebih serius, ngaji lebih rajin, bantu adik kelas, dan saling jaga satu sama lain. Awalnya emang gak ada yang percaya, tapi pelan-pelan semua berubah. Nilai kami mulai naik, dan bahkan beberapa kali menang lomba.


Sampai akhirnya, waktu pengumuman kelulusan dan hasil SNBT keluar. Banyak dari angkatanku yang keterima di PTN bahkan beberapa di kampus besar. Grup alumni rame banget. Ada ustaz yang nulis, “Ustaz bangga sama kalian. Ternyata kalian bisa membuktikan diri.”


Aku baca pesan itu sambil senyum. Rasanya campur antara haru dan lega. Akhirnya perjuangan kami gak sia-sia.


Sekarang setiap kali aku lewat depan pagar pesantren itu, aku selalu ingat masa-masa berat dulu. Dulu pagar itu terasa kayak batas, tapi ternyata itu tempat aku belajar tumbuh dan jadi lebih kuat.


Karena dari balik pagar itu, aku belajar satu hal:

menjadi baik memang gak mudah, tapi bukan berarti gak bisa.


calendar
20 Oct 2025 06:08
view
9
wisataliterasi
Jl. Swadaya No.76, RW.10, Kedaung, Kec. Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Banten 15415, Indonesia
idle liked
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
close
instagram
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
close
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh:
example ig