[Kama] Jaya dan Ratih
Cerpen
Kutipan Cerpen [Kama] Jaya dan Ratih
Karya fatimatuzzaroh
Baca selengkapnya di Penakota.id
“Aku tidak ingin berakhir di neraka, mas.” Bisikan adikku itu meluncur bersama luruhan air matanya. Dapat kurasakan tubuhnya gemetar dibalik selimut bergaris hitam putih milik rumah sakit. “Jangan biarkan aku mati muda.”
Aku tak membalas sambatnya itu. Kurengkuh tubuh mungilnya yang saban hari mengurus kering. Tubuh adikku itu perlahan tak bernyawa. Hanya pikirannya yang hidup lewat rintihan kengerian. “Jangan biarkan mereka membuangku.” Ia menambahkan sebelum suntikan bius seorang dokter membawanya ke dasar mimpi.
Kami bersaudara terpaut selisih usia tujuh tahun. Adik perempuanku lahir dalam wujud kecantikan Dewi Kamaratih sejati. Begitu yang dukun beranak katakan ketika tubuhnya keluar dari kemaluan ibuku. Dalam sekejap berita kecantikannya tersebar ke seluruh penjuru desa. Para wanita hamil rela berdesakan hanya untuk mengintip kecantikannya. Mereka menggendong adikku itu bergantian dan mengelus perut buncit dengan harapan anaknya secantik adikku. Para ibu dengan putra mungil bahkan menawarkan lamaran terlalu dini, menginginkan adikku sebagai mantu di keluarga mereka kelak.
Adikku jadi pujaan sejak itu. Tetua desa mengatakan, dalam pidatonya di acara akikahan adikku, “Kelahiran Ratih adalah sebuah keajaiban.” Aku tak paham maksud dari ucapannya kala itu. Aku hanya paham, kelahiran adikku dirayakan dengan penuh suka cita oleh seisi desa.
Desa kami, hanyalah desa terpencil di daerah kabupaten malang. Sebagian besar penduduknya adalah islam. Tapi bukan islam yang seutuhnya. Kami masih memegang teguh adat jawa yang ada. Mungkin agama kami ini lebih dikenal dengan islam kejawen atau islam abangan. Aku tak terlalu memperdulikan itu. Jika aku disuruh mengaji dan sembahyang aku laksanakan, jika tidak, ya tidak perlu.
Desa kami masih menjalankan banyak adat jawa. Bias dikatakan adat jawa lebih kental aromanya dibanding adat islam. Ambil contoh upacara tujuh bulanan, atau Mitoni. Upacara Mitoni yang pertama kali aku ikuti adalah milik adikku. Saat upacara inilah aku mendengar nama Dewi Kamaratih. Dalam upacara sakral itu, bapakku melukiskan Dewi Kamaratih pada sebuah kelapa muda sebelum memecahkannya dan memberikan airnya kepada ibu. Mereka berharap memiliki putri secantik Dewi Kamaratih.
“Kelahiranmu juga seistimewa kelahiran adikmu.” Nenek bercerita disela-sela rutinitas membatiknya. Saat itu aku bertanya, mengapa orang-orang begitu gembira dengan kelahiran adikku, Ratih. Wanita tua yang mulai bungkuk itu bercerita dengan suka cita kepadaku. “Saat upacara Mitoni dirimu, ayahmu sengaja melukis Dewa Kamajaya di atas batok kelapa. Ia tak menginginkan harapan semu anak laki-laki atau perempuan yang lahir. Bapakmu itu menginginkan kepastian dari Gusti Allah.” Dan aku lahir. Bocah laki-laki dengan paras Kamajaya. Aku tak pernah tahu kisah kelahiranku serupa milik Ratih adikku. “Keluarga ini pastinya diberkati Gusti Allah, hingga kami memiliki keturunan serupa Dewa Kamajaya dan Dewi Kamaratih.”
Dapat kukatakan bahwa Ratih dan aku adalah buah kebanggaan keluarga kami. Sejak kelahiranku yang serupa Dewa Kamajaya, orang-orang mulai meniru kelakuan bapak saat upacara Mitoni. Umumnya, orang-orang akan melukiskan Dewa Kamajaya dan Dewi Kamaratih di atas batok kelapa. Mereka akan berharap, seandainya seorang putra yang lahir akan setampan Sang Dewa dan jika seorang putri akan secantik Sang Dewi. Bapak tak suka hal-hal yang tak pasti seperti itu dan orang-orang meniru keberaniannya untuk peroleh kepastian dari Gusti Allah. Sayangnya, tak ada yang pernah berhasil seperti bapak. Dan keberhasilannya itu terulang saat Ratih lahir.
Kami adalah wujud kebanggan dan keberanian bapak. Kami juga menjadi perwujudan semu orang-orang desa, khususnya para wanita yang telah bersuami. Siapa yang tak menginginkan anak keturunannya tampan dan cantik di era milenial ini? Di era semua orang dapat memperoleh kesempurnaan tubuh asal memiliki uang berlebih. Sebagai orang yang tinggal di desa, berdoa kepada Gusti Allah adalah satu-satunya pilihan. Kami tak akan mampu peroleh uang berlimpah untuk sekadar perawatan tubuh di kota atau bahkan operasi plastik.
Sejak kelahiran Ratih sebagai wujud kesuksesan bapak yang kedua, orang-orang desa semakin menggila. Mereka tak hanya menanti upacara Mitoni, tapi juga membaca surat Yusuf dan Maryam begitu tahu para istri sedang mengandung. Dalam bayangan mereka, tak masalah jika ketampanan Dewa Kamajaya dan Kecantikan Dewi Kamaratih telah dimiliki keluarga kami. Toh mereka masih memiliki Nabi Yusuf dan Ibu Maryam yang tak kalah apik parasnya.
Bapak tak terlalu peduli dengan fanatisme warga desa yang tanpa sengaja ia ciptakan. Dia cukup bangga dengan kondisi keluarganya saat ini. Ya, bapak sudah memiliki semuanya. Terutama kedua anaknya yang senantiasa menjadi bahan gunjingan.
Kebanggaan bapak terhenti saat Ratih menginjak umur sepuluh tahun. Adikku itu sakit demam hingga sebulan lebih. Khawatir kami merujuknya ke rumah sakit di pusat kota Malang. Saat itu dokter menjatuhkan vonis bahwa adikku, Ratih, menderita Hemofilia stadium awal. Adikku seketika berubah menjadi aib di mata bapak.
Berita penyakit Ratih menyebar cepat seperti wabah. Orang-orang mulai menggunjingkan hal-hal buruk. “Itu karena bapaknya serakah. Sudah punya putra mirip Kamajaya, masih menginginkan putri serupa Kamaratih.” orang lain menggunjingkan hal yang berbeda. Ratih sakit sebab bapak menuntut kepastian Gusti Allah dan melanggar tatacara upacara Mitoni. Seharusnya rupa Dewa Kamajaya dan Dewi Kamaratih dilukiskan bersama-sama di atas batok kelapa, sisanya adalah berdoa.
Sejak divonis menderita Hemofilia, Ratih dipingit di dalam rumah. Waktunya ia habiskan di dalam rumah. Jendela kamarnya hanya dibuka seperlunya untuk peroleh cahaya matahari dan menghindari kamar lembap dan apek. Adikku itu kehilangan teman dan pendidikan. Bapak sekali-kali menengok ke dalam kamar hanya untuk memandangnya penuh benci. Ibu yang penurut tak bias membantah satupun perintah bapak. Ratih, adikku, hidupnya sengsara.
Di antara kesengsaraannya itu, hanya aku yang senantiasa di sisinya. Dia menjadi lebih manja kepadaku. Aku yang membantunya belajar, juga menemaninya bermain di dalam kamar. Kebutuhan Ratih sepenuhnya tanggung jawabku. Sejak bapak membenci Ratih, adikku itu tak berani menatapnya. Ketakutannya kepada bapak menumbuhkan kebencian pada sosok ibu yang tak mampu melindunginya. Itu alasan yang menjadikan Ratih sebagai tanggung jawabku. Aku memandikannya, menyuapinya, mengajarinya, segalanya aku berikan. Aku menjadi bapak, ibu, guru juga kakak bagi Ratih. Kepedulianku terhadap Ratih bias dikatakan berlebihan. Aku bias melupakan kehidupanku sendiri saat bersama Ratih.
******
Tahun terus bergilir. Ratih seutuhnya tumbuh di dalam kamar. Intesitas kunjungannya ke rumah sakit semakin meningkat. Jika dahulu dia harus check up dua hingga tiga bulan sekali, saat ini bisa menjadi sebulan sekali. Tubuhnya saban hari mengering perlahan. Satu-satunya keajaiban dari diri Ratih adalah parasnya. Bertambah umur, paras Ratih menjelma menjadi Dewi Kamaratih dengan sempurna. Jika dahulu jendela kamarnya dibuka secara berkala, akhir-akhir ini harus dibuka tanpa sepengetahuan bapak. Dalam pandangan bapak, kecantikan Ratih adalah simbol bencana keluarga kami. Kecantikannya tak menghadirkan kekaguman, hanya berbuah nafsu birahi remaja pria di desa.
Ratih semakin terkucilkan. Kegiatannya sehari-hari berubah menjadi menangis dan melamun. Kehadiranku seolah tak terlihat lagi. Adikku itu bisa tiba-tiba merasa ketakutan. Ia takut dibuang seperti sampah. Terkadang ia menangis di tengah malam sebab mimpi buruk. Butuh waktu untuk meyakinkan bapak hingga aku dapat ijin mengawasi Ratih seutuhnya, bahkan tidur di ranjang yang sama.
Malam itu, usai kunjungan ke rumah sakit entah yang keberapa dia terlelap di atas dadaku. Aku tak pernah bisa menolak sikap manja Ratih itu. Cukup sulit untuk tidak bernapsu ketika memandang wajahnya yang cantik. Ratih di usianya yang ketujuh belas tahun memperoleh tingkat tertinggi kecantikan para gadis. Kecantikannya bahkan mampu mengoda diriku yang kakak kandungnya ini.
Dapat kukatakan kecantikan sempurna nya itu mewujudkan pisau jagal di leher hewan kurban. Di usianya yang ketujuh belas Ratih hanya mau membicarakan kematiannya. "Hidup ku sudah serupa neraka. Haruskah tuhan mengirimkan neraka lagi padaku di akhirat?"
"Tak ada neraka bagimu. Neraka hanya untuk para pendosa. Kau yang selalu dipingit bapak mana mungkin tau apa itu dosa!"
Ratih tertawa mendengar ocehan protesku itu. Tawanya begitu sendu dan menyedihkan. "Kelahiranku adalah sebuah dosa, begitu kata orang-orang desa."
"Orang desa hanya membual."
"Bapak juga mengatakan hal yang sama." aku tak mampu menjawab perkataannya itu. Mata berpupil kecokelatan milik Ratih menatapku pilu. "Mas, aku takut tenggelam di dasar sungai dan masuk neraka. Aku bahkan tak mengenal wujud dunia yang memabukkan serupa surga. Bagaimana mungkin Allah tega mengirimku ke neraka." Dia terisak. "Jangan biarkan mereka menghanyutkan tubuhku. Dasar sungai lebih menakutkan daripada liang kubur."
Aku tak menjawab isakan Ratih itu. Kurengkuh tubuhnya yang rapuh mengering serupa ranting. "Kau akan dikubur nanti." aku menyampaikan omong kosong ditelinga nya. Dalam bayangan otakku Ratih tak akan pernah dikuburkan. Sama seperti orang-orang di desa kami.
Satu hal yang belum kuceritakan mengenai desaku adalah upacara pemakamannya yang mengerikan. Semacam ujian terakhir pada tubuh kami yang mati. Jika kalian berkunjung ke desa kami, tak akan kalian temui pemakaman desa di sini. Karena faktanya kami tak akan dimakamkan. Entah adat dari leluhur yang mana dan entah sebab apa adat ini disembunyikan dari khalayak umum.
Orang mati di desa kami akan dihanyutkan di sunga, sebagai pengganti tanah pemakaman yang lebih cocok jadi tanah perkebunan mangga. Orang-orang mati akan dihanyutkan di sungai berantas pada tengah malam, sebagai contoh kehidupan dan pergunjingan warga desa. Orang mati kami akan dihanyutkan di atas sebuah rakit dan menjadi tontonan di dekat jembatan utama desa. "Jika mayatnya terjatuh dari atas rakit, ruh orang itu akan masuk neraka. Jika tidak, dia akan hanyut hingga ke laut dan ruhnya tiba di surga." kata-kata itu hanyalah omong kosong. Tak akan ada mayat yang selamat dari pusaran air di dekat jembatan. Aku mengetahui fakta itu setelah beberapa kali melihat upacara penghanyutan mayat.
Dibanding kematian, Ratih lebih takut dengan upacara penghanyutan mayat. Adikku itu takut tubuhnya terjatuh dari rakit dan tenggelam. Takut orang-orang, terutama bapak memperoleh bukti bahwa kelahirannya adalah sebuah dosa besar. Takut bahwa keberadaannya tak akan pernah dikenang sebab tak memiliki batu nisan. Bukan hanya Ratih, aku pun memikirkan hal yang serupa.
"Mari berbuat dosa, mas." tiba-tiba Ratih mengatakan hal itu dengan raut ceria. Aku tak paham dengan jalan pikirannya itu. "Kau pernah katakan padaku, tak akan ada mayat yang selamat dari pusaran air dekat jembatan. Intinya semua orang akan masuk ke dalam neraka. Mereka pantas masuk neraka sebab berdosa menyakitiku. Tapi tak sepantasnya aku masuk neraka hanya karena kelahiran ku yang dianggap sebagai dosa semu, dosa yang tak terbukti kebenarannya."
Aku menggeleng tak mengerti. Tak seharusnya Ratih memikirkan hal gila mengenai dosa. Omongannya itu membuatku begidik dan berpikiran aneh-aneh. Tak mungkin kematiannya semakin dekat.
"Kau tak mau membantuku membuat dosa?" dia memelas, "apakah, mas mampu membelikanku sebidang tanah pemakaman?" aku tersedak. Dia tertawa. Tawa yang tak pernah kulihat sejak usianya tujuh tahun. Tawa pertamanya setalah sepuluh tahun berlalu. "Bukankah kau kakakku yang baik? Bukankah kau mencintaiku? Tak maukah kau berbuat dosa bersamaku."
"Dosa seperti apa?" gilanya aku menjawab keinginan Ratih malam itu.
"Dosa yang hanya bisa dilakukan pria dan wanita di dalam kamar."
Dan aku terhasut paras Dewi Kamaratih miliknya, sama seperti dia terhasut paras Dewa Kamajaya milikku. Beruntungnya Dewa Dewi itu tak terikat hubungan darah seperti kami.
******
Pagi-pagi sekali kutinggalkan tubuh Ratih dalam kekalutan. Bukan berarti aku ingin melupakan kejadian semalam. Semalam kami membuat kenangan terindah di antara kenangan menyedihkan selama sepuluh tahun terakhir.
Pagi itu aku pergi ke rumah sakit untuk menebus kebutuhan obat Ratih yang habis. Juga mampir ke toko kue, mengingat hari ini Ratih menginjakkan tubuhnya ke usia delapan belas tahun. Kami akan merayakan perjuangan hidupnya itu berdua saja. Di kamarnya yang gelap dan sendu.
Sayangnya tubuh Ratih tak ada dimana pun kala aku tiba di rumah. Ibu hanya menangis, sementara bapak bersikap tak peduli. Firasatku menjadi buruk seketika, bersamaan dengan arak-arakan warga desa menuju jembatan utama desa kami. Tanpa perlu diberitahu aku bisa menduga apa yang akan terjadi selanjutnya.
Aku berlari menuju jembatan utama yang tak begitu jauh dari rumah. Orang-orang telah berbaris rapi di sepanjang aliran sungai. Beberapa memilih bergerombol penuh sesak di atas jembatan. Sementara di bawah sana, tubuh Ratih sudah dihanyutkan di atas rakit.
Tepat di bawah jembatan. Rakit yang ditumpangi Ratih terombang-ambing. Orang-orang mulai menggumam. Aku berlari turun, mencoba menyelamatkan rakit milik Ratih. Seperti peristiwa yang sering kusaksikan. Mayat Ratih terjatuh, disertai sorakan bahagia orang-orang. "Ternyata benar, dia pendosa."
Bapak mencoba hentikan aksi nekatku. Tapi terlambat, tubuhku terjun ke dalam sungai mengejar mayat Ratih. Arus sungai menyeretku, menenggelamkan tubuhku bersamaan dengan tubuh Ratih. Kedekap tubuh dingin adikku itu dalam isak tangis yang bisu. Napasku perlahan menjadi sesak. Hal terakhir yang kuingat adalah teriakan bapak. Sebelum akhirnya tubuh kami tenggelam. Jaya adalah Kamajaya dan Ratih adalah Kamaratih, kami sama-sama sepasang kekasih. Tak akan ada neraka atau surga yang menanti tubuh kami. Hanya kegelapan dasar sungai brantas.
26 Jun 2018 08:56
276
Malang, Kota Malang, Jawa Timur
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: