

Hana duduk di bangku taman kampus, mengingat kembali masa kecilnya. Suara riuh para mahasiswi yang sedang bergurau, aroma makanan dari food court, dan angin sore yang sejuk mengingatkannya pada saat-saat yang penuh tawa. Di usianya yang kini 21 tahun, kenangan itu terasa semakin jauh, namun tidak pernah pudar.
Hana masih ingat dengan jelas saat pertama kali melihat Rusdi di tempat les. Hari itu, langit cerah dan suara burung berkicau mengisi udara. Mereka berdua baru berusia sebelas tahun, kelas 5 SD. Di antara deretan anak-anak, sosok Rusdi menarik perhatian Hana. Dia memiliki senyum yang ceria dan mata yang bersinar penuh semangat.
Hana dan Rusdi sering duduk berdekatan. Mereka berbagi cerita, tertawa, dan bermain setelah pulang les. Hana merasa nyaman setiap kali berada di dekat Rusdi, seolah dunia hanya milik mereka. Suatu hari, saat mereka sedang bermain kejar-kejaran, Rusdi dengan lucunya malah terjatuh karena tersandung kakinya sendiri. Hana tidak bisa berhenti tertawa melihatnya. Sejak saat itu, mereka semakin dekat. Dan Hana pun mulai merasakan perasaan-perasaan aneh, yang bisa disebut dengan cinta ? tapi orang-orang dewasa mungkin menganggap bahwa apa yang Hana alami dulu hanyalah cinta monyet, karena memang pada saat itu mereka masih labil.
Namun, ketika mereka tidak sengaja bertemu di jalan sepulang sekolah, suasana berubah. Mereka hanya saling lirik dan tersenyum canggung, seolah hubungan mereka yang dekat di tempat les itu tidak pernah ada. Hana merasa bingung, namun hatinya selalu berdebar saat melihat Rusdi. Itulah yang selalu terjadi, Hana dan Rusdi sangat dekat ketika di tempat les, tetapi akan sangat asing jika sudah berada di luar. Bahkan yang tahu tentang kedekatan mereka itu hanyalah teman-teman sekelas mereka di tempat les, selain itu ada Rina dan Dian, dua sahabat Hana di SD yang tahu, karena Hana sering bercerita tentang Rusdi kepada mereka.
Setelah lulus SD, Hana melanjutkan ke SMP Negeri. Dia tidak pernah melihat Rusdi lagi. Setiap kali mengingatnya, hatinya terasa kosong. Rina dan Dian, sahabatnya, selalu mendukungnya.
“Hana, kamu harus berani bilang ke dia,” kata Rina suatu ketika.
"Bagaimana aku bisa? Aku tidak tahu dimana dia sekolah sekarang, bahkan aku juga tidak tahu pasti dia tinggal dimana. Kalian tahu sendiri kalau aku ini introvert, mau bertanya kepada teman satu sekolahnya dulupun aku tidak berani," jawab Hana sambil menunduk.
Rindu itu terus menghantui Hana. Suatu saat dia terbangun di malam hari, teringat senyuman Rusdi. Saat itu, Hana berusaha melanjutkan hidup, tetapi bayang-bayang Rusdi selalu ada. Dia menaruh foto Rusdi di dalam buku catatannya, menandakan betapa berartinya sosok itu.
Di SMP, Hana berusaha keras untuk melupakan Rusdi. Dia fokus pada pelajaran dan mencoba menjalin pertemanan baru. Namun, saat melihat teman-temannya berpacaran, perasaan itu kembali muncul. Hana merasa terasing, seolah tidak ada yang mengerti.
Suatu hari, saat berkunjung ke rumah Rina, Hana menemukan sebuah buku harian. Di dalamnya, Rina menulis tentang cinta pertamanya. Hana merasa tergerak untuk menuliskan perasaannya juga. Dia mulai menulis tentang Rusdi, bagaimana mereka bertemu di tempat les, dan semua kenangan indah itu.
“Kenapa kamu tidak berusaha mencarinya?” tanya Rina.
“Aku tidak tahu di mana dia sekarang,” jawab Hana.
Malam itu, Hana bertekad untuk mencari informasi tentang Rusdi. Dia mulai bertanya kepada teman-temannya yang tahu mungkin, itupun butuh keberanian lebih, karena Hana ini benar-benar gadis yang pemalu. Namun, semua usaha itu selalu berakhir sia-sia. Rasa rindu itu semakin dalam, meski dia berusaha untuk menepisnya.
Setelah lulus SMP, Hana melanjutkan pendidikannya ke SMA Negeri. Dia berharap bisa menemukan Rusdi di sekolah barunya, tapi takdir tidak berpihak. Hana mulai beradaptasi dengan lingkungan baru, berteman dengan banyak orang, namun rasa hampa itu tetap ada. Saat SMA, sifat pemalu Hana perlahan-lahan mulai berkurang, sekarang Hana sudah punya banyak teman.
Suatu sore, ketika sedang berselancar di internet, Hana menemukan sebuah akun Facebook. Jarinya bergetar ketika melihat nama “Ibnu Rusdi”. Dia membuka profil itu dan melihat foto-foto Rusdi yang sudah lebih dewasa. Jantungnya berdebar.
Hana mulai menelusuri setiap foto, setiap status yang diunggah. Dia melihat Rusdi dikelilingi teman-temannya, tampak bahagia. Namun, saat melihat foto Rusdi bersama seorang gadis, hatinya terasa sakit.
“Dia sudah punya pacar,” gumamnya pelan.
Hana merasa hancur. Selama ini, dia menyimpan rasa cinta yang dalam untuk seseorang yang tidak pernah bisa dia miliki.
Kini, Hana sudah memasuki dunia perkuliahan. Dia berusaha untuk move on, meski kenangan tentang Rusdi tetap membayangi. Setiap kali bertemu teman-temannya, dia mengingat masa-masa indah itu. Rina dan Dian selalu berada di sisinya, memberi dukungan.
“Hana, kamu harus fokus pada masa depanmu,” kata Dian. “Cinta pertama memang sulit, tapi kamu tidak boleh terjebak di masa lalu.”
Hana mengangguk, meski hatinya masih berat. Dia mulai aktif di kampus, mengikuti organisasi, dan mencoba membuka hati untuk orang baru. Namun, saat melihat pasangan lain, kenangan akan Rusdi selalu kembali.
Suatu malam, saat berkumpul bersama Rina dan Dian, Hana menceritakan semua perasaannya. “Aku ingin mengubur semua ini, tapi sulit sekali,” keluhnya.
Rina menjawab, “Kamu harus menulis, Hana. Ekspresikan semua perasaanmu.”
“Menurutmu begitu, ya ?” tanyaku pada Rina dan Dian. Mereka berdua kompak mengangguk. Akhir-akhir ini, aku memang suka menulis, mungkin itu adalah saran yang cukup baik.
Hana mulai menulis di buku hariannya. Dia menuliskan semua kenangan, rasa sakit, dan harapan. Setiap halaman menjadi pelampiasan emosi yang selama ini terpendam. Dia merasa lebih ringan setelah menulis semua perasaannya. Di tengah proses itu, Hana menyadari bahwa cinta pertama bukan hanya tentang memiliki, tetapi juga tentang belajar. Dia belajar untuk menghargai kenangan, meski tidak bisa bersatu dengan orang yang dicintainya.
Seiring berjalannya waktu, Hana mulai membuka hati untuk kesempatan baru. Dia bertemu dengan seorang teman sekelas yang memiliki sifat baik dan perhatian, dia adalah laki-laki keturunan China, namanya Ericko. Meskipun perasaannya terhadap Rusdi masih ada, Hana berusaha untuk tidak menghalangi kebahagiaan baru. Hana tahu bahwa sangat menyakitkan rasanya menjalin hubungan dengan seseorang yang bahkan belum bisa melupakan cinta lamanya.
Bertahun-tahun berlalu, Hana telah menemukan jalan hidupnya. Dia menjalani kehidupan kuliah dengan penuh semangat. Suatu hari, saat berjalan di pusat kota, Hana melihat sosok yang sangat familiar. Itu Rusdi !
Mereka bertukar sapa, dan Hana merasa tenang. Mereka berbincang sejenak, mengenang masa lalu. Dalam hati, Hana bersyukur bisa bertemu kembali. Mungkin cinta pertama adalah tentang mengingat, bukan memiliki.
Hana melangkah pergi dengan senyuman. Dia tahu, hidupnya penuh dengan peluang dan cinta baru yang menanti. Cinta pertama adalah sebuah pelajaran berharga, dan kini, dia siap untuk menulis lembaran baru dalam hidupnya.
Saat ini, Hana mulai menyadari sesuatu. Cinta pertama mungkin sulit untuk di lupakan, namun bukan berarti kita harus terjebak disana selamanya. Sekarang Hana sudah menjalin hubungan dengan Ericko, perlahan-lahan mulai meminimalisir hal-hal yang berkaitan dengan Rusdi, menganggap bahwa Rusdi hanyalah bagian dari masa lalu. Saatnya kita fokus ke masa depan. Hana bercita-cita untuk menjadi psikolog, karena itu dia mengambil jurusan Psikologi. Sejak SMP, Hana sudah sangat penasaran dengan masalah-masalah mental, terutama masalah mental yang ada pada remaja. Oleh karena itu, Hana giat belajar dan akan menyelesaikan masa studinya secepat mungkin. Tentunya saat ini Hana punya seseorang yang akan selalu mendukungnya dan menyemangatinya di masa-masa sulitnya, yaitu Ericko. Seseorang dari lembaran barunya.
“Mencintai seseorang yang tidak bisa kita miliki adalah sebuah pelajaran. Ia mengajarkan kita arti ketulusan dan ketahanan.”

