oranment
play icon
Suara di Balik Kesunyian
Kutipan Cerpen Suara di Balik Kesunyian
Karya fitrianggraininazlimtd1622
Baca selengkapnya di Penakota.id

Lina Akira menatap kosong ke luar jendela kamar kecilnya di lantai dua rumah sederhana di pinggiran Jakarta. Rintik hujan sore membasahi kaca jendela, menciptakan suasana yang seolah merefleksikan hati Lina, suram dan penuh kegelisahan. Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, menghantui pikirannya: Siapa aku sebenarnya? Apa makna hidupku? Mengapa aku harus bertahan menghadapi rasa sakit yang terus merongrong ini?


Dulu, Lina adalah gadis ceria yang penuh tawa dan semangat. Suaranya selalu memenuhi rumah dengan kegembiraan yang menular, membuat orangtuanya bangga dan tetangganya merasa hangat melihat keharmonisan keluarga kecil mereka. Namun, semua berubah ketika bayangan masa kecil mulai memudar dan digantikan oleh kegelapan ketakutan, kesepian, dan kerentanan jiwa yang dalam.


Flashback


Sepuluh tahun silam, Lina kecil duduk di ruang belajar dengan boneka kecil pemberian neneknya di tangan. Rumah itu dipenuhi aroma masakan ibu dan tawa riang keluarga. Namun, keharmonisan itu mulai terganggu saat pertengkaran keluarga besar mengenai warisan pecah. Suara kakak perempuan ayahnya yang penuh amarah menggema ke seluruh rumah.


"Ini bukan hanya soal uang, tapi tentang harga dan kehormatan! Kalian semua harus mengerti itu!" teriak kakak perempuan ayahnya dengan nada mengoyak kedamaian.


“Dan kamu, Akira ! kamu harus sadar bahwa kamu mendapatkan kehidupan dan tempat tinggal yang layak itu karena ayahmu mengambil seluruh harta warisan dari mandiang kakekmu !” kata kakak perempuan ayah Lina dengan lantang, tanpa memikirkan bagaimana kondisi mental Lina yang saat itu baru berusia 9 tahun.


Lina kecil yang dulu selalu tertawa lepas, tanpa sadar menutup telinganya. Ia tidak mengerti apa artinya semua itu, tapi tahu ada sesuatu yang salah. Wajah ayahnya yang biasanya tenang berubah tegang, dan ibunya terlihat muram, mencoba menenangkan suasana yang semakin memanas. Di dalam benak Lina, sebuah rasa takut mulai tumbuh, takut akan sesuatu yang tidak dapat ia pahami tapi terasa akan menghancurkan dunianya.


Selain masalah keluarga, Lina juga mendapatkan tekanan batin di sekolahnya saat masih SD. Masa sekolah dasar berubah menjadi mimpi buruk bagi Lina. Setiap hari, suara-suara ejekan itu terngiang di telinga, menusuk hatinya seperti belati yang tajam.


“Dasar anak aneh,” gumam satu suara sinis.


“Jangan dekat-dekat, dia bisa mencuri,” celetuk yang lain.


Tatapan sinis dan hinaan itu membuat Lina merasa terkucil, tubuhnya mengecil ingin menghilang.


"Kenapa aku berbeda? Kenapa mereka membenci aku tanpa alasan?" pikirnya, menggenggam erat buku pelajaran layaknya perisai.


Teringat kata-kata kasar yang selalu menghantuinya, serta ketakutan saat kakak kelas memaksanya menyerahkan uang jajan, ancaman memukul membuatnya pasrah dalam diam. Air mata sering jatuh tanpa suara, membasahi pipi kecilnya yang penuh luka batin. Lina tidak pernah menceritakan kepada orangtua nya tentang pembullyan yang ia dapatkan di sekolahnya, Lina takut jika ayah dan ibunya khawatir. Dan Lina juga tidak mau menambah beban kedua orangtuanya yang pada saat itu sedang ada masalah internal dengan keluarga dari pihak ayahnya.


"Dunia ini terlalu keras untukku," batinnya dengan hancur. Namun, di dalam kesepian itu, muncul bara kecil keinginan untuk bertahan, suatu harapan bahwa suatu saat ia akan diterima dan cintai dirinya sendiri apa adanya.


****


Hari-hari Lina kini berputar dalam lingkaran gelap yang penuh ketidakpastian. Kadang kemarahan membara tanpa sebab yang jelas, kadang kekosongan membekukan hati dan pikirannya. Di kamar, Lina sering duduk termenung sambil menulis di buku hariannya, satu-satunya pelarian untuk mengekspresikan segala perasaan yang sulit diungkapkan.


Ia pernah mencatat, "Aku tak tahu siapa aku. Apakah ini yang seharusnya aku rasakan? Mengapa rasa takut ini terus membelenggu? Aku ingin berubah, tapi aku tak tahu caranya. Aku bingung dengan diriku sendiri. Terkadang aku suka dengan kesendirian dan kesunyian ini, tapi kadang juga rasanya sesak jika terus sendirian."


Tekanan dari keluarga, masa lalu, serta kesunyian sosial membentuk luka dalam yang membuat fluktuasi emosinya terasa ekstrem. Ada saat ia merasakan cinta dan kebahagiaan singkat, namun sering pula tenggelam dalam putus asa yang mencekam.


****


Suatu hari, setelah insiden bullying di sekolah yang membuatnya hampir pingsan, Lina dibawa ke rumah sakit oleh pihak sekolah dan tentunya ibu Lina pun di panggil untuk menyusul ke rumah sakit. Proses panjang mengenal kondisi mentalnya pun dimulai. Psikiater mendiagnosa Lina menderita Borderline Personality Disorder (BPD), gangguan yang membuatnya sangat sensitif pada penolakan dan kesulitan mengelola emosi.


Berita itu seperti pedang bermata dua. Di satu sisi membuat Lina merasa ada yang salah dengannya, namun di sisi lain menjelaskan mengapa ia selama ini merasa terombang-ambing dalam perasaan. Setelah di diagnosa bahwa ia menderita Borderline Personality Disorder (BPD), Lina pun rutin melakukan terapi bersama psikiaternya.


****


Suasana ruangan terapi terasa hangat, meski Lina membawa beban berat ke dalamnya. Psikiater duduk di seberangnya dengan senyum lembut, penuh perhatian tanpa menghakimi.


Lina menarik napas dalam-dalam, suaranya bergetar pelan, "Saya... saya takut, Dokter. Saya merasa seperti selalu berada di ambang kehancuran. Kadang saya marah tanpa sebab, kadang hampa, merasa tak berharga."


Psikiater mengangguk, "Itulah yang dialami banyak orang dengan Borderline Personality Disorder, Lina. Kondisi ini membuat perasaanmu intens dan sulit dikendalikan."


Lina menunduk, air mata mulai mengalir. "Tapi kenapa saya selalu takut ditinggalkan? Bahkan dengan banyak orang di sekitar, saya merasa sangat kesepian."


Psikiater menenangkan, "Ketakutan akan ditinggalkan adalah ciri utama BPD. Ini membuatmu merasa sepi meski dikelilingi manusia. Tapi kamu tidak sendiri. Kita akan belajar bersama mengelola perasaan itu."


Lina mengusap air matanya, "Saya ingin sembuh, tapi kadang saya juga merasa sangat lelah. Rasanya perjuangan ini terlalu berat."


Psikiater tersenyum lembut, "Itu wajar, Lina. Perubahan tidak terjadi dalam semalam, tapi setiap langkah kecil adalah keberanian. Kamu sudah mulai berjalan di jalan yang benar."


Mereka kemudian membahas teknik bernapas dan grounding yang membantu Lina menenangkan diri saat kecemasan dan kemarahan datang secara tiba-tiba.

Berangsur-angsur, Lina membangun lingkaran kecil persahabatan di sekolah menengah lewat klub bahasa inggris. Teman-teman baru ini menerima Lina apa adanya, tanpa menuntut dia berubah. Mereka hadir sebagai teman sejati yang menemani perjalanan Lina memahami diri dan menerima segala perasaannya.


****


Pada suatu sore setelah hujan reda, Lina duduk di taman dekat rumah. Langit perlahan cerah, muncul pelangi yang indah. Meskipun masih kerap merasa gelisah dan takut, ia mulai melihat hidup dari sudut pandang baru.


"Luka dan kehilangan membuat kita kuat," pikir Lina. "Aku mungkin kehilangan masa kecil yang ceria, teman-teman, dan bahkan diriku sendiri dulu. Tapi aku juga menemukan siapa aku sebenarnya."


Perjalanan Lina bukan cerita kesempurnaan, melainkan keberanian menghadapi bayang-bayang kehilangan yang menghantuinya. Dari gadis introvert yang takut dan tersesat, ia mulai menapaki jalan menuju penerimaan dan harapan.


Meski masalah keluarga, trauma masa lalu, dan pertarungan batin masih menjadi beban, Lina terus melangkah. Dengan luka sebagai kekuatan, ia belajar mencintai diri dan menerima ketidaksempurnaan sebagai warna perjalanan hidup.

 

“Setiap luka yang kita alami adalah bagian dari perjalanan menuju diri yang lebih kuat”

 

 


calendar
13 Nov 2025 12:48
view
13
idle liked
1 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
close
instagram
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
close
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh:
example ig