oranment
play icon
Tangisan dari Kegelapan
Kutipan Cerpen Tangisan dari Kegelapan
Karya fitrianggraininazlimtd1622
Baca selengkapnya di Penakota.id

Zara Mahira, Layla Chintya, Reza Aditya, dan Arkan Daffa adalah sekelompok anak SMA yang selalu haus petualangan. Dari hiking liar hingga menjelajahi rumah tua, mereka tak pernah absen dari sensasi. Kali ini, mereka memilih Villa Puncak Lama, sebuah penginapan kayu lapuk di puncak gunung, sebagai destinasi liburan akhir pekan. Dari foto online, tempat itu terlihat romantis dengan pemandangan hutan hijau dan langit biru. Namun, saat mereka tiba sore hari, suasana berbeda. Udara dingin menusuk tulang, dan penginapan itu terasa sepi seperti kuburan.


Pemilik penginapan, Pak Surya, seorang pria tua beruban dengan mata sayu, menyambut mereka di pintu. "Selamat datang, anak-anak. Kamar sudah siap. Tapi ingat, jangan keluar malam-malam. Hutan ini... aneh," katanya sambil tersenyum tipis. Mereka tertawa, menganggapnya sebagai cerita horor klasik untuk menakuti turis. Zara, yang paling berani, mengklaim kamar terbaik dengan balkon menghadap lembah. Layla, yang agak penakut, memilih kamar dekat Zara. Reza dan Arkan, keduanya atlet sekolah, mengambil kamar sebelah.


Malam pertama dimulai dengan makan malam sederhana, sup ayam hangat dan roti bakar. Mereka duduk di ruang tamu yang diterangi lampu minyak, bercerita tentang sekolah dan rencana masa depan. "Ini liburan impian!" seru Arkan sambil mengangkat gelas jus. Tapi pukul 11 malam, suasana berubah. Angin luar mulai berhembus kencang, membuat jendela bergerak. Mereka memutuskan tidur awal, tapi tepat pukul 12, suara tangisan gadis kecil bergema dari lorong atas. Tangisan itu pelan, seperti bayi yang kehilangan ibu, tapi penuh kesedihan yang menusuk hati.


Zara terbangun duluan, jantungnya berdegup kencang. "Kalian dengar itu?" bisiknya melalui pintu yang menghubungkan kamar mereka. Layla mengangguk, wajahnya pucat. "Seperti anak kecil. Tapi penginapan ini kosong, kan?" Reza, yang tidur di kamar sebelah, keluar sambil mengucek mata. "Aku juga dengar. Mungkin angin atau binatang." Arkan, yang skeptis, bilang itu imajinasi mereka. "Kita capek, itu saja." Tapi malam itu, tak ada yang bisa tidur nyenyak. Zara bermimpi tentang api yang menjilat dinding, dan Layla merasakan tangan dingin menyentuh kakinya di bawah selimut.


Keesokan paginya, mereka bertemu di ruang makan. Pak Surya menyajikan sarapan sederhana, tapi matanya menghindari tatapan mereka. "Tidur nyenyak?" tanyanya. Mereka saling pandang, lalu Reza bertanya, "Pak, ada anak kecil ya di sini? Kami dengar tangisan semalam." Pak Surya terdiam, lalu menggeleng. "Tidak ada. Mungkin angin dari hutan." Tapi jawaban itu membuat mereka curiga.


Siang itu, mereka menjelajahi penginapan. Di kamar mandi bersama, ada cermin kuno yang bingkainya penuh debu. Layla berdiri di depannya, menggosok gigi. Tiba-tiba, siluet gadis kecil muncul di belakangnya dengan wajah yang sangat pucat, mata hitam kosong, dan aroma asap samar tercium. Layla berteriak, cermin pecah sendiri seperti ditampar angin. "Siapa itu?!" jeritnya sambil mundur. Zara datang berlari, diikuti Reza dan Arkan. Mereka melihat pecahan cermin, tapi siluet itu sudah hilang. "Ini bukan mainan," kata Reza, suaranya gemetar. Arkan, yang biasanya berani, mulai takut. "Kita harus cari tahu ada apa dengan tempat ini."


Mereka menemukan buku tamu tua di meja resepsionis. Di sana, ada catatan tentang kebakaran besar 20 tahun lalu. "Seorang gadis bernama Maira tewas terbakar. Rohnya tak pernah pergi," baca Zara dari entri lama.


Malam kedua, situasi semakin mencekam. Saat makan malam, lampu berkedip-kedip tanpa alasan. Pak Surya bilang itu masalah listrik, tapi mereka tahu itu bohong. Pukul 10 malam, mereka mendengar langkah kaki kecil di lorong. Mereka mengikuti suara itu ke loteng, tempat yang dikunci. Dengan kunci cadangan yang mereka temukan, mereka membobol pintu. Di dalam, ruangan penuh debu dan foto-foto lama. Salah satunya menunjukkan foto seorang gadis kecil bernama Maira, tersenyum manis. Tapi di foto lain, wajahnya seperti terkena luka bakar, kulit yang meleleh, dan mata penuh teror.


Zara merasakan hawa dingin yang menyengat. "Dia meninggal karena kebakaran," bisiknya. Layla mulai menangis. "Kita harus pergi dari sini." Tapi pintu loteng tiba-tiba terkunci sendiri. Suara tangisan kembali, lebih dekat. Siluet Maira muncul di dinding, tubuhnya terbakar, nyala api yang menyeramkan berputar di sekelilingnya. "Pergi... atau ikut aku," bisiknya, suaranya seperti angin dingin. Reza mencoba membuka pintu, tapi panas mulai terasa. Arkan berteriak, "Maira, kami bukan musuhmu! Kami akan pergi!"


Tiba-tiba, penginapan berguncang. Nyala api yang tampak seperti siluet manusia muncul dari permukaan, tidak nyata namun terasa membakar kulit. Zara ingat foto di loteng itu, ternyata Maira adalah anak Pak Surya sendiri. Kebakaran itu disengaja oleh ayahnya untuk menutupi kesalahannya, mungkin kecelakaan atau pembunuhan. "Maafkan ayahmu, aku tau pasti selama ini kau sudah menderita," kata Zara spontan, mengulurkan tangan ke siluet itu. Api padam seketika. Maira menghilang, meninggalkan aroma bunga mawar. Pintu loteng terbuka, dan mereka berlari ke luar.


Pak Surya menunggu di bawah, wajahnya penuh penyesalan. "Dia... anakku. Aku tak sengaja," gumamnya. Sekumpulan anak SMA itu melarikan diri saat fajar, tak pernah kembali. Tapi di malam-malam berikutnya, mereka masih mendengar tangisan itu dalam mimpi, seperti peringatan bahwa beberapa rahasia tak boleh digali. Dan aroma asap itu, selalu mengingatkan mereka pada gadis kecil yang terperangkap dalam api abadi.


Ketika Zara, Layla, Reza, dan Arkan berlari keluar dari Villa Puncak Lama, mereka tidak hanya melarikan diri dari tempat itu, tetapi juga dari bayang-bayang yang akan terus menghantui mereka. Suara tangisan Maira mengikuti mereka seperti bayangan yang tak pernah hilang. Di mobil, suasana hening, hanya suara mesin yang mendengung dan deru angin yang menggetarkan kaca jendela.


Setiap kali Arkan menginjak pedal gas, terbayang oleh mereka saat siluet Maira melayang di dinding. "Kita tidak boleh bercerita tentang ini kepada siapa pun," kata Zara, merasa ketakutan yang mendalam merayapi tubuhnya. Layla mengangguk, matanya masih berkilau oleh air mata. Mereka semua tahu, rahasia ini akan membebani mereka selamanya.

 

Namun, ketika matahari mulai terbenam, keanehan mulai muncul lagi. Di sepanjang jalan pulang, setiap kali mereka melewati rumah atau gedung tua, Layla merasa seolah-olah ada yang mengawasi mereka. Kegelapan malam mulai membawa rasa ngeri yang tak terjelaskan. Hati mereka berdegup kencang, seolah-olah Maira sedang menunggu kesempatan untuk kembali.


Malam itu, saat mereka kembali ke rumah masing-masing, Zara terjaga dari tidurnya oleh suara yang lembut, sebuah suara yang sangat familiar. "Zara...," panggil Maira di tengah kegelapan. Zara terloncat dari tempat tidurnya, berusaha meyakinkan dirinya bahwa itu hanya mimpi. Tapi saat dia berbalik, cermin di ruang tamunya menunjukkan bayangan Maira, wajahnya yang penuh luka dan mata kosong yang menembus jiwa. "Berhenti menggangguku!" teriak Zara, tetapi suara itu hanya semakin mendekat. Dia merasakan hawa dingin yang menusuk, seolah Maira berada di sampingnya. Di luar, langit mendung dan angin bersiul, seolah menyanyikan lagu kesedihan. Jantungnya berdegup cepat saat dia berlari keluar dari kamarnya menuju ruang tamu, berharap Layla atau yang lainnya akan ada di sana.


Paginya, Layla tidak bisa tidur sama sekali. Setiap kali dia menutup mata, sosok Maira terbayang di hadapannya, dan suara tangisan kembali merasuk ke dalam pikirannya. Ketika dia melihat keluar jendela, hujan deras mulai mengguyur, menambah suasana mencekam. Dia memutuskan untuk terhubung dengan Zara dan yang lainnya.


Ketiga temannya bersatu di rumah Zara, dan mereka menceritakan mimpi yang sama. Reza yang biasanya tenang, kini terlihat putus asa. "Ada sesuatu yang salah. Maira belum pergi. Pasti ada yang ingin dia sampaikan pada kita," ujarnya dengan keluh kesah.


Saat malam kembali menjelang, mereka berempat berkumpul di ruang tamu, memberikan satu sama lain kekuatan. Mereka berencana untuk kembali ke penginapan, bukan untuk mengungkapkan rasa ingin tahu, tetapi untuk memberikan kedamaian bagi jiwa Maira. Namun sebelum mereka pergi, Layla merasakan sesuatu yang mengerikan. Cermin di ruang tamu mulai bergetar, dan refleksi mereka tampak samar dengan wajah Maira di belakang mereka. "Dia datang!" teriaknya. Reza dan Arkan memegangi tangan Layla, berusaha menenangkan, tetapi wajah Maira di cermin semakin mendekat, suara tangisannya menggema dan semakin keras. Mereka tidak bisa melawan rasa takut yang menjalar di tubuh mereka.


Akhirnya, dengan penuh tekad, mereka melakukan perjalanan kembali ke Villa Puncak Lama, berbekal pelita dan keberanian mereka. Saat mereka tiba, tempat itu tampak sama, namun hawa panas dan dingin terpancar dari dalamnya. "Kita harus nemuin cara untuk berbicara sama Maira," kata Zara.


Mereka menyalakan lilin dan bersiap untuk mengajukan pertanyaan, berharap bisa memberikan Maira apa yang dia inginkan. "Kami datang untuk membantu, Maira," teriak Reza. Tiba-tiba, api di lilin menyala lebih terang, dan suara tangisan muncul, kali ini jauh lebih dekat. “Bantu... aku,” suara Maira menggema, dan siluetnya tampak lagi, semakin jelas. Mereka merasakan tubuh mereka bergetar seperti terkena gelombang, dan bangunan tua itu seolah bergetar bersama dengan mereka.


Arkan berteriak, "Kami tidak ingin melukaimu! Kami hanya ingin membantumu!" Sosok Maira menatap mereka, matanya berkaca-kaca. "Hanya ada satu cara... berikan aku keadilan," bisiknya, suaranya membaur dengan tiupan angin.


Malam itu, mereka menyadari bahwa untuk mengakhiri siklus penderitaan, mereka harus menghadapi kebenaran di balik kebakaran yang merenggut nyawa Maira. Di sinilah ketegangan semakin memuncak, karena mereka tidak hanya berjuang melawan roh, tetapi juga melawan rahasia kelam yang terpendam di dalam diri mereka.


Apakah mereka mampu memberikan kedamaian bagi Maira dan membebaskan diri dari kutukan? Atau akankah mereka terperangkap selamanya di dalam kisah kelam yang tak pernah usai? Hanya waktu yang akan menjawab, sementara bayangan Maira terus mengintai di kegelapan.


calendar
23 Nov 2025 14:30
view
10
idle liked
1 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
close
instagram
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
close
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh:
example ig