oranment
play icon
Badai di Bulan November : Terjebak dan Bertahan
Kutipan Cerpen Badai di Bulan November : Terjebak dan Bertahan
Karya fitrianggraininazlimtd1622
Baca selengkapnya di Penakota.id

 

Safa, Setya, dan Yahya adalah tiga bersaudara yang penuh semangat. Mereka merantau ke kota besar untuk melanjutkan pendidikan di universitas ternama. Safa, yang paling tua, kuliah di fakultas teknik. Setya, si tengah, memilih jurusan ekonomi, sementara Yahya, yang paling muda, menekuni sastra. Mereka tinggal di sebuah kost – kostan sederhana, jaraknya hanya beberapa menit dari kampus. Kost itu kecil tapi nyaman, dengan kamar bersama yang penuh tawa dan obrolan malam hari. Kota ini biasanya panas terik, dengan langit biru yang jarang diganggu awan. Tapi bulan November ini berbeda.


Hujan mulai turun pada hari Senin pagi. Awalnya, mereka menganggapnya sebagai hujan biasa yang akan reda dalam beberapa jam. Safa sedang menyiapkan sarapan, Setya membaca buku kuliahnya, dan Yahya bermain gitar sambil bernyanyi. "Hujan ini enak, dingin – dingin," kata Yahya sambil tersenyum. Mereka tertawa, tidak menyadari bahwa hujan ini akan berlangsung seminggu penuh tanpa henti.


Hari kedua, hujan semakin deras. Jalanan mulai tergenang, dan mereka tidak bisa keluar rumah seperti biasa. Kuliah daring pun terpaksa dibatalkan karena sinyal internet yang tidak stabil. "Ini gila, kayaknya kita terjebak disini," gerutu Setya sambil melihat air hujan yang membasahi jendela. Safa mencoba menghibur, "Tenang, ini pasti sebentar. Kita bisa pakai waktu ini buat belajar." Yahya mengangguk, tapi hatinya mulai gelisah. Mereka bertiga jauh dari orangtua di kampung, dan biasanya setiap malam mereka video call untuk bertukar kabar.


Pada hari ketiga, hujan tak kunjung reda. Mereka melihat kabar di sosial media, kampung orangtua mereka jadi salah satu kawasan yang terdampak banjir parah. Foto – foto serta video rumah yang terendam air membuat hati mereka mencelus. Sudah empat hari tak ada kabar dari ayah dan ibu. Biasanya, ibu selalu menelepon pukul delapan malam, bertanya tentang makan dan tidur. "Mama pasti baik – baik saja," kata Safa, meski suaranya bergetar. Setya mengangguk, tapi matanya berkaca – kaca. Yahya diam saja, memeluk gitarnya erat – erat.


Malam itu, sekitar pukul dua dini hari, mereka sedang bersiap tidur setelah seharian lelah. Safa sudah mematikan lampu, Setya meringkuk di kasurnya, dan Yahya baru saja meletakkan gitar. Tiba – tiba, suara gemuruh air terdengar dari luar. Banjir bandang datang tiba – tiba, menerjang kota dengan ganas. Kost mereka, yang berada di dataran rendah, tak luput dari amukan. Air banjir meluap, masuk melalui pintu dengan deras, membanjiri lantai hingga setinggi lutut dalam sekejap mata.


Mereka terbangun kaget. "Apa ini?!" jerit Yahya, kakinya sudah basah. Safa langsung melompat dari kasur, "Banjir! Cepat, kita harus menghadangnya!" Setya panik, tapi segera bergabung. Air terus naik, mengancam barang – barang mereka. Buku – buku kuliah yang berserakan di meja ikut basah kuyup. "Buku – bukuku!" jerit Setya, berusaha menyelamatkan catatan ekonominya. Safa dengan cepat mengangkat barang – barang ke tempat tinggi, sementara Yahya membantu menutup celah dengan kain lap dan juga kantung kresek.


Tapi air tak berhenti. Mereka bergadang sepanjang malam, bekerja keras untuk menghadang banjir agar tidak lebih tinggi lagi. Safa, dengan pengetahuannya sebagai mahasiswa teknik, mengarahkan mereka membuat tanggul darurat dari bantal, selimut, dan ember kosong yang disusun di depan pintu dan jendela. "Pakai ini untuk menahan airnya!" katanya sambil mendorong bantal ke celah. Setya memompa air keluar dengan ember, bolak – balik ke luar kost meski hujan deras. Yahya, meski takut, terus menyumpal retakan dengan kain basah, sambil bernyanyi lirih untuk menenangkan diri. "Kita bisa lakukan ini, guys!" serunya, suaranya bergetar.


Sepanjang malam, mereka bergantian berjaga. Air naik turun, tapi tanggul mereka berhasil menahan hingga pagi. Tubuh mereka lelah, mata merah, tapi persaudaraan membuat mereka kuat. "Kita selamat," kata Safa saat fajar menyingsing, memeluk adik – adiknya.


Tak lama setelah itu, listrik padam total. Kota gelap gulita, dan jaringan internet hilang sepenuhnya. "Ini bencana," keluh Yahya. Mereka yang sedang kuliah kesulitan besar. Tugas – tugas harus dikirim via email, tapi tanpa internet, semuanya mandek. Safa mencoba menggunakan data seluler, tapi sinyal hilang. Setya frustrasi, "Deadline besok, gimana nih?" Yahya mencoba menghibur dengan bermain musik, tapi suasana tetap tegang. Mereka makan sisa makanan kaleng, minum air hujan yang disaring, dan berbagi cerita untuk mengisi waktu. Kekhawatiran tentang orangtua semakin membara. Kampung mereka, yang jauh di pedalaman, dilaporkan terisolasi. Jembatan putus, jalanan hilang ditelan banjir. "Apa Mama dan Papa baik – baik saja?" tanya Yahya lirih. Safa memeluk adiknya, "Kita harus percaya mereka baik – baik saja." Setya mencoba mencari informasi dari radio transistor tua yang masih berfungsi, tapi berita hanya tentang kota mereka. Malam – malam mereka habiskan dengan doa bersama, berharap ada keajaiban.


Pada hari keenam, hujan mulai reda. Air banjir surut perlahan, meninggalkan lumpur dan reruntuhan. Listrik kembali menyala di pagi hari, meski intermiten. Yahya langsung mengecek ponselnya, sinyal internet muncul. Mereka bergegas menghubungi orangtua mereka. Telepon pertama gagal, tapi yang kedua berhasil. Suara ibu terdengar lemah tapi lega. "Kami baik – baik saja, anak – anak. Rumah tidak sampai rusak kok." Ayah menambahkan, "Kalian juga hati – hati di sana." Air mata bahagia mengalir di wajah mereka bertiga. Video call singkat itu seperti sinar matahari setelah badai.


Setelah itu, mereka membersihkan kost bersama. Buku – buku basah dikeringkan di bawah sinar matahari yang akhirnya muncul. Kuliah kembali normal, tugas – tugas dikirim tepat waktu. Pengalaman ini menguatkan ikatan mereka. Safa, Setya, dan Yahya belajar bahwa banjir bukan hanya air, tapi ujian persaudaraan. Mereka pulang ke kampung saat libur, membawa cerita dan pelajaran berharga. Hidup terus berjalan, lebih kuat dari sebelumnya.


Safa merenung dalam perjalanan pulang. "Aku selalu pikir aku yang paling kuat, tapi banjir itu mengajari aku untuk bergantung pada kalian," katanya kepada adik – adiknya. Setya mengangguk, "Aku belajar bahwa uang dan tugas kuliah bukan segalanya. Keluarga lebih penting." Yahya tersenyum, "Dan aku sadar musikku bisa menghibur, tapi persaudaraan yang benar – benar menyelamatkan." Di kampung, mereka membantu orangtua membangun kembali rumah, bekerja sama dengan tetangga. Banjir telah pergi, tapi kenangan itu membuat mereka lebih dekat, siap menghadapi apa pun di masa depan.


END

 


calendar
04 Dec 2025 16:50
view
12
idle liked
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
close
instagram
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
close
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh:
example ig