Perempuan yang Panen di Petakan Waktu
Cerpen
Kutipan Cerpen Perempuan yang Panen di Petakan Waktu
Karya fyanfendidn
Baca selengkapnya di Penakota.id

Kanal-kanal selebar lima ratus kaki ialah aliran sungai serupa kaca bening membentuk labirin yang memesona, memantulkan kemegahan sebuah tatanan madani. Di antara kanal, cincin-cincin daratannya menopang gedung-gedung beratap lengkung serupa kubah. Sebulatan pulau kecil sebagai inti labirin, di sanalah Kuil Poseidon dan bangunan Kristal Energi berdiri kokoh. Segala arsitektur bangunan yang Symmetrical Geometry itu berbicara dalam bisu tentang hasil gagasan cemerlang yang diterjemahkan dari hukum alam.

Para penduduk terus bergerak dinamis, melayang rendah tanpa meninggalkan jejak kotor dari alas terompah mereka. Bahwa waktu yang bergerak memberi kehidupan untuk tetap bernapas. Bagi mereka, waktu ialah perihal memiliki dan mengangkat adiluhung, menguatkan potensi untuk menjaga eksistensi di tengah harmoni. Keberagaman karsa semua penduduk disetarakan dengan pakaian yang sama. Bening, tembus pandang seperti kaca. Seperti sungai-sungai itu. Kaum lelaki pun tak berbeda dengan perempuan, memakai rok pendek ataupun panjang dari bahan yang sama.

Tidak ada yang lebih indah dari wujud sebuah peradaban kecuali ketulusan kasih dan kepedulian terhadap sesama. Saling menghargai posisi, keahlian dan bakat masing-masing penduduk. Ya, termasuk saat seorang perempuan, petani muda—yang akan pergi ke Perkebunan Agung demi menyemai bibit zaitun—melayang pelan melewati jalanan marmer di antara hiruk-pikuk aktivitas penduduk pagi itu. Tak ada satu pun di antara mereka yang berwajah kecut. Semua tersenyum ramah. Mereka kemudian menghentikan kepakan sayap mungilnya. Termasuk Si Kepala Serigala, mematung menundukkan kepala; takzim kepada sang petani yang bersemangat untuk berladang demi perut-perut mereka, sambung nyawa peradaban kota itu.

Demeter membalas senyum tulus mereka. Tak ada yang kuasa berhati busuk, cemoohan apalagi menyerukan persengketaan. Tanpa terkecuali. Mereka semua diberkahi untuk mampu saling membaca bisikan hati, peta pikiran satu sama lain. Demeter berkata dalam batinnya bahwa lumbung gandum telah terisi penuh dan siap disebarkan ke tiap rumah. Mendengar hal itu, para Angelia mewartakannya ke segenap penjuru kota. Semua orang melebarkan senyum sebagai sorak-semarai sukacita tanda terima kasih. Petani perempuan itu berpakaian bening dengan pita yang diikat di dada, menyilang di pinggang belakangnya terlihat anggun dengan rambut ikal warna emas menjelai, melanjutkan perjalanan menuju Perkebunan Agung di timur laut kota itu.

Setibanya di pangkal Perkebunan Agung, Demeter menyapa para Unicorn yang sedang merumput. Mereka mengangguk membalas salam sambil mengibaskan ekor indahnya. Kilatan cahaya keemasan berpendar dari tanduk tunggal mereka. Unicorn dipercaya entah dari mana datangnya, mereka datang jika kemakmuran, ketenteraman dalam damai melingkupi suatu bangsa utopia. Tapi sepertinya, sebentar lagi mereka akan meninggalkan klan ini. Sama halnya dengan Delfin si lumba-lumba, dalam kemurungan yang pekat dia pun telah pamit sejak pekan lalu.

Demeter selalu saja mencoba bertelepati, mengirim pesan batin ke masa depan, melintasi rentang waktu yang sangat jauh dari saat dia menghitung sisa ruang dari lumbung gandum saat itu. Entah kepada siapa.

Dari Orakel, Sang Guru yang berumur 160 tahun, Demeter mengetahui adanya kekeliruan dari para Ilmuwan perihal percobaan mereka mengubah dan mengendalikan empat unsur utama; air, angin, api dan tanah. Hal itu akan merusak keseimbangan alam. Keserakahan dan nafsu materiil perlahan menyelinap di jiwa-jiwa mereka, lalu meletup ke permukaan memancing perselisihan. Perang dipersiapkan demi kekuasaan dan merebut daerah lain di seberang samudera sana. Yunani, peradaban yang baru muncul, menjadi sasaran selanjutnya setelah bangsa Lemuria. Setiap kubu berlomba memutakhirkan persenjataan, termasuk nuklir. Perusakan lingkungan tak terelakkan, lahan pertanian semakin dipersempit, ratusan barak dibangun demi kepentingan itu. Sang Orakel menyakini, kiamat akan segera datang melanda jika hal-hal itu tetap berlanjut.

Demeter tak kuasa berbuat banyak. Keterampilan dan bakat dia hanyalah bercocok-tanam, sesuai dengan arahan Orakel saat Demeter masih berumur 7 tahun, kala belajar di Akademi pendidikan anak. Dia selalu ingat, kemampuan telepatinya tak sebaik anak-anak lain, maka cita-citanya menjadi seorang Angelia—penerima kabar dari jauh, lalu menyebarkannya kepada seluruh penduduk, dari atas awan — urung tercapai.

Dia semakin tak yakin dapat mewariskan ilmu bercocok-tanam serta kemegahan peradaban kepada anak-cucunya kelak. Dia hanya memiliki satu keyakinan, seseorang atau ras lain di masa yang akan datang, mengingat atau mengetahui meskipun serupa fiksi bahwa Atlantis pernah benar-benar ada, sebagai salah satu tatanan bangsa yang menghuni planet ini. Ada kegetiran jiwa yang tak bisa dipulihkan oleh para Penyembuh dan Kristal Energi. Ada tangisan batin yang tak mampu dibagikan kepada lumba-lumba bijak di pesisir sana.

***

Di kejauhan, terlihat sebagian dari para petani beristirahat dan makan siang di dalam dangau. Erin memotret mereka, lalu sesekali bercengkerama dengan para petani yang masih sibuk memanen di sebuah petakan. Rambut panjangnya tersibak angin tatar Parahyangan. Angin timur. Panen raya masih akan berlangsung hingga esok, dan di kepalanya berjubel gagasan-gagasan dan pertanyaan demi meliput ritual Seren Taun, dua hari lagi.

Perjalanan dari Bandung pagi tadi menuju kampung di suatu kota sebelah timur Jawa Barat itu ternyata lumayan meletihkannya. Jika bukan pesanan khusus dari Redaktur untuk mengisi laman lembar budaya di Surat Kabar itu, mungkin dia bisa sedikit mangkir. Dari sejumlah keterangan, Erin mendapati kesamaan Seren Taun dengan festival di bulan Januari yang dilakukan bangsa Romawi kuno untuk menghormati Dewi Ceres, penjaga tanaman padi-padian. Atau juga festival Saturnalia.

Erin menuju ke sebuah dangau yang masih kosong. Dengan perlahan, langkahnya hati-hati menapaki galengan. Para petani yang terampil menuai padi menggunakan ani-ani, menebar senyum—mungkin sedikit menertawakan gadis kota yang tak biasa berjalan di pematang. Sesekali dia berhenti, memerhatikan betapa indahnya susunan terasering di hamparan saujana. Sepertinya dia pernah melihat pola yang lebih teratur daripada itu.

Kekagumannya melihat pola undakan bertingkat-tingkat dari atas sana membentuk tangga raksasa dari tanah yang digali melintangi lereng, mengurangi kemiringan dan panjang lereng menjaganya supaya tidak erosi. Air mengalir ke tiap tingkat petak-petaknya melalui kanal-kanal kecil. Erin mengambil gambar beberapa kali. Dia seperti berada di salah satu anak tangga piramida suku Aztec. Sebuah mahakarya!

Di dangau, Erin menghela napas panjang setelah berjalan beberapa ratus meter, di bawah terik. Dia membuka tasnya, merogoh kotak berisi bekal makan siang. “Sial! Aku lupa membawa sendok,” umpatnya. Dia melirik ke sisi kanan dangau. Ada kolam kecil! Sebuah petak pembibitan padi yang masih belum terpakai. Airnya bening, bersih pula. Dia kemudian mencuci tangan di kolam dangkal itu. Bayangan langit biru cerah dan arak-arakan awan terpantul di wajah kolam. Hal itu menambah semarak panen raya, dan semestinya cukup menghibur sedikit kejengkelannya karena dia harus makan tanpa sendok.

Dan, lumba-lumba itu seakan mengutarakan sesuatu kepadanya bahwasanya; kearifan jiwa dan moralitas belakangan ini kian merosot. Kebenaran sudah sulit dipertahankan. Sebagian kecil Ilmuwan yang melakukan kesalahan itu tak begitu jadi masalah, tetapi sebagian besar klan justru mengabaikan perihal itu, membiarkannya kemudian tanpa disadari perlahan menyetujui penyimpangan itu. Sangat disayangkan.

Erin terkesiap.

Setengah bingung dia bangkit menjauhi kolam. Perutnya kembali bersuara meminta jatah untuk diisi. Nasi pulen dengan sambal goreng cumi adalah suapan-suapan langka penuh berkah. Sesekali dia meneguk air mineral dari botol kemasan. Hingga di beberapa suapan terakhir, dia berhenti mengunyah. Menoleh, memicingkan mata. Mengerutkan dahi. Dia mendengar rintihan pilu, entah dari balik sisi dangau yang ditutupi bilik bambu atau dia hanya salah dengar.

Erin merasakan perih yang sangat dari sosok petani perempuan muda yang hadir dalam kepalanya. Perempuan anggun dengan kerat wajah yang unik, tinggi perempuan cantik berbaju bening itu dua kali lipat tinggi badan Erin! Di salah satu sudut perkebunan, perempuan itu tak menemukan tanggul untuk air matanya saat ia memunguti zaitun-zaitun dan memasukkannya ke dalam keranjang. Erin merasakan gelisah yang tak terungkapkan. Tentang mimpi atau lamunan bawah sadar. Atau déjà vu?

Erin segera menyudahi makan siangnya. Tanpa mencuci tangan, dia langsung membereskan kotak bekal. Berjalan tergesa sambil melanjutkan kunyahan terakhir. Dia pergi ke seberang petakan itu, mencari sebuah pohon rindang untuk berteduh. Kamera tetap menggantung di lehernya. Di bawah pohon, dia membereskan barang bawaannya. Sebentar kemudian dia mengambil buku catatan. Menuliskan sesuatu.

***

Pagi cerah di pekan terakhir Rayagung.

Perayaan agung tradisi jati Sunda warisan karuhun itupun dihadiri oleh khalayak, aparatur pemerintahan, tokoh pemangku adat juga para pemuka agama. Erin, salah satu dari sekian banyak orang luar daerah yang turut menyaksikan, telah hadir sejak pukul setengah delapan. Dengan khidmat dia memerhatikan tahap-tahap ritual ngajayak; para tokoh masyarakat menyambut kedatangan padi-padi itu diiringi kesenian angklung buncis dan tarian buyung. Kemudian para petani menyerahkan hasil panen itu kepada Ketua Adat. Para pemuka lintas agama bergantian merapal doa-doa dan puji syukur mengantar hasil panen dimasukkan ke dalam Leuit Si Jimat, lumbung utama untuk cadangan pangan desa ini hingga musim panen yang akan datang. Sisanya dimasukkan ke Leuit Leutik. Tokoh adat itu membawa dan memberkatinya, memberi tuah pada gabah indukan; pare Abah dan pare Ambu dari Leuit Leutik untuk diserahkan kembali kepada Pak Camat dan tokoh masyarakat untuk nanti disemai lagi oleh warga petani.

Erin bersemangat mewawancarai beberapa warga, juga memotret momen saat mereka berebut gabah dari saung Pwah Aci lalu menumbuk padi bersama-sama. Pak Camat dan tokoh agama melakukannya terlebih dahulu.

Karinding dibunyikan sekelompok pemuda. Ular-ular sawah berdamai, memilih diam di lubang-lubang mereka. Tikus-tikus berlarian menjauhi areal pesawahan. Ritual semakin terasa sakral saat kidung Pangemat dan Angin-angin digemakan para petani sebagai tanda syukur kepada Tuhan atas limpahan rejeki pangan hasil panen mereka. Semua warga khusyuk mengundang keberkahan Nyi Pohaci Sanghyang Asri. Mereka bangga telah menjadi petani, meneruskan kesuburan garapan warisan leluhurnya yang mungkin saja mereka adalah bagian dari generasi yang tak tercatat dalam sejarah.

Kepedihan yang mendidih dalam batin perempuan itu. Begitu berat untuk meninggalkan rumah hidupnya—Perkebunan Agung yang telah ia rawat lebih dari seratus tahun. Pasrah, jika esok hari adalah sebuah ketetapan turunnya sekawanan Phoenix yang akan membumihanguskan seluruh isi pulau ini, tak terkecuali ladang jiwanya. Demeter belum juga beranjak meninggalkan pulau megah itu.

Puncak tumpeng dipotong, pucuk piramida kerucut itu dipangkas.

Erin ikut berbaur dengan para warga menyantap tumpeng dan makanan olahan dari hasil bumi kampung itu. Sementara beberapa orang berkerumun, menyembelih seekor kerbau untuk disedekahkan kepada warga yang kurang mampu.

Beberapa kelompok kecil yang menyadari akan datangnya bencana besar telah menyebar mencari daratan baru. Tanah-tanah sunyi menjadi sebuah pilihan. Yang mahir menyelam telah meluncur ke palung-palung samudera terdalam. Jenis-jenis campuran; mereka yang berkepala burung dan berkepala anjing telah menemukan tempat persembunyian. Yang berbadan hewan pun telah berperahu menjelajah lautan asing. Demeter masih ingat, Unicorn sempat bertutur sebelum lenyap, “Pergilah ke barat, menemui kedamaian baru!”

Tarawangsa mengalun dari panggung di lapangan dekat pesawahan, menarik simpul kesadaran menuju ceruk paling bawah. Aroma mistis mengental. Embusan angin dan jarum jam terasa melambat. Demeter menatap awan kelam yang semakin mendekati permukaan bumi. Bersamaan dengan itu, gempa-gempa skala kecil tak henti menggetarkan dinding lumbung berisi puluhan keranjang murbei.

Hawa panas meluncur serentak dari gunung-gunung berapi yang mulai bergemuruh di sekeliling pulau, firasat kuat panen zaitun dan anggur akan gagal. Demeter bersama para petani lainnya, juga para nimfa kebun saling bertatapan tanpa kata. Kecintaan mereka pada tiap bibit yang disemai, pada pucuk-pucuk hijau tetumbuhan di Perkebunan Agung itu mau tak mau harus berangsur digadaikan. Kilauan jiwa-jiwa itu harus tetap bernas. Sekarang hingga nanti.

Semakin lama, gesekan-gesekan tarawangsa kian menyayat ruang dan waktu. Erin menangkap penglihatan yang menggambarkan saat Demeter berkemas. Gesekan itu serupa kilas balik tentang mula siklus kehidupan dan hakikat kematian. Demeter akhirnya memilih pergi, mengundi tarikan napas demi bibit-bibit harapan lain. Demi lingkaran jiwa dan akal pikirannya yang senantiasa merawat tanaman jelai dan buah-buahan hingga masa panen tiba mengenyangkan senyuman segenap klan.

***

Malam merangkak naik, pagelaran wayang golek ngaruwat semakin seru mengisahkan babak awal pertikaian para Batara dengan sejumlah raksasa. Erin seperti tengah disajikan pertunjukan Alkyoneus atau kaum Laestrigonians seperti di buku mitologi Yunani yang pernah dia baca. Dia hampir lupa untuk memotret, mengabadikan pertunjukan itu juga padatnya penonton yang antusias meski duduk di atas tanah. Sebagian dari mereka diharudum sarung. Di sekeliling tampak berjajar puluhan lampu dari gerobak tukang kacang rebus, bajigur dan lainnya. Semarak.

Erin melihat kelebatan Demeter melintasi cincin pulau terluar. Dia mengendap di antara remang petang, lalu pergi berkendara cahaya menuju antah, ke arah berantah. Meninggalkan Perkebunan Agung tak lebih sulit dibandingkan dengan kepatuhan dan ketulusan para Penjaga Kristal Energi yang harus senantiasa memasok aliran energi untuk ke seantero kota. Kebanyakan penduduk; klan yang telah memiliki ‘tuhan baru’ memilih tetap tinggal dalam keangkuhan dan menganggap kejadian ketidakseimbangan alam itu bukanlah serpihan awal dari penyebab malapetaka dahsyat yang akan menyapa mereka, sebentar lagi.

Menuju dini hari, dentuman-dentuman dari puncak pertempuran sengit bangsa raksasa semakin bergemuruh. Panah-panah api beterbangan. Detak jantung berlarian. Nayaga memainkan gamelan dengan tempo kian menanjak. Erin, seperti halnya para penonton lainnya menahan napas, jarang mengedip karena takut melewatkan bagian penting dari lakon tanpa siaran ulang itu. Asap rokok memekat. Suara latar erangan kesakitan menambah kengerian. Di palung alam terdalam, sebuah kepiluan hadir tanpa diminta. Ada derai yang tak disadari oleh Erin.

Lusinan gunung berapi meletus serentak memuntahkan batu api, mengalirkan lahar-lahar panas. Malam itu laksana pesta kembang api, dan sekumpulan Phoenix turut menyemarakannya. Angin bertiup kencang. Samudera pasang, air asin memenuhi kanal tumpah seketika ke daratan menerjang pilar-pilar bangunan. Air laut dan lahar panas melarut, menggenangi seluruh kelopak mata kota itu. Guncangan gempa dahsyat yang tiada henti meruntuhkan atap-atap megah yang telah hangus. Semua penduduk Atlantis terperanjat, berhamburan mencari perlindungan. Selama ini mereka yakin, kecanggihan teknologi mereka dapat menangkal segala bencana. Ternyata keliru. Kota luluh-lantak. Daratan amblas kian dalam. Tak ada napas yang selamat. Puing-puing peradaban beserta penghuninya karam ke dasar sana.

Musnah seketika.

Hening.

Perhatian Erin terbagi antara merasakan dinginnya perjalanan jauh yang ditempuh Demeter, juga sambil menyimak narasi tokoh wayang tentang pentingnya keselarasan antar sesama manusia. Silih asah, silih asih, silih asuh demi terciptanya damai dalam kesahajaan dan keberagaman. Menjaga kelestarian alam dan bersyukur atas segala limpahan nikmat karunia juga ialah bagian dari ibadah kepada Yang Maha Esa. Ki Dalang menutup lakon dengan epilog, “Heug, urang teundeun di handeuleum hieum geusan sampeureun, urang tunda di hanjuang siang geusan alaeun. Cag!”

***

Bening embun seakan menawan Erin untuk tetap tinggal di kampung asri itu. Seren Taun telah membekalinya kesadaran ruhaniah yang sangat berharga, sejumput warisan dari nenek-moyang, dari Nyi Pohaci. Juga kiriman pesan dari Demeter. Tentang sebuah nilai dari siklus waktu, sejatinya lingkaran kehidupan yang diperlihatkan hijaunya padi, kemudian menguning dan menunduk, dipanen lalu disemaikan lagi menumbuhkan hijau-hijau yang baru. Di ruang dan waktu yang lampau di sana, bening embun di daratan asing menyambut Demeter yang baru saja tiba. Tanahnya subur meski sistem pertanian warganya belumlah mapan. Dia hanya mendesis. Mungkinkah ini tanah peradaban yang belum sempat dan hampir musnah diserang-diberanguskan oleh prajurit-prajurit dari klan-nya; Atlantis?***



Bandung, 2018



Catatan:
^Seren Taun : Upacara adat panen padi masyarakat Sunda (Seren=serah, menyerahkan. Taun=tahun).
^Galengan : Pematang sawah.
^Rayagung : Bulan terakhir kalender Hijriah (Zulhijah).
^Karuhun : Leluhur.
^Leuit Si Jimat : Lumbung utama/keramat.
^Leuit leutik : Lumbung kecil/cadangan.
^Pare Abah, Pare Ambu : Padi induk (padi ayah, padi ibu).
^Pwah Aci/ Nyi Pohaci
Sanghyang Asri : Dewi kesuburan dan pertanian. (di daerah/kebudayaan lain= Dewi Sri/ Dewi Shri/ Shridevi).
^Ngaruwat : Tolak bala, menangkal kesialan/nasib buruk. Ruwatan.
^Diharudum : Berselimut.
^Nayaga : Pemain gamelan Sunda.

^Heug urang teundeun di handeuleum sieum geusan sampeureun, urang tunda di hanjuang siang geusan alaeun:
(Falsafah Sunda, yang berarti harus pandai menyimpan, menjaga, menyikapi dan melestarikan sesuatu ciri budaya/ yang bermanfaat untuk masa/generasi yang akan datang).
01 Nov 2018 10:16
268
Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat
1 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: