Diskusi Karya dan Kisah Wiji Thukul di ASEAN Literary Festival 2014
Resensi
Kutipan Resensi Diskusi Karya dan Kisah Wiji Thukul di ASEAN Literary Festival 2014
Karya galehpramudianto
Baca selengkapnya di Penakota.id

dengar!

Ayo gabung ke kami!

Biar jadi mimpi buruk presiden!


Larik terakhir dari puisi “Nyanyian Akar Rumput” menjadi tema dari ASEAN Literary Festival 2014 yaitu “Anthems for The Common People.” Seperti temanya, festival ini diharapkan bisa menjadi media penyampai suara orang-orang biasa. Wiji Thukul. Begitulah sosok yang menjadi inspirator dan spirit diselenggarakannya ASEAN Literary Festival 2014 ini. Abdul Khalik dan Okky Madasari melalui Yayasan Muara menginisiasi gelaran festival sastra ASEAN untuk kali pertama (21-23 Maret 2014) di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Dengan semangat perlawanan dari penindasan, Wiji Thukul yang diberitakan hilang pada 24 Maret 2000 oleh Kontras menjadi bukti kelaliman pemerintah di masa itu.


Pojok pengarang itu digelar di hari kedua (22/03/2014) di pelataran Teater Kecil, mengangkat tema “Wiji Thukul: Karya dan Kisah.” Pembicara di acara itu adalah penyair Joko Pinurbo, editor detik.com Mumu Aloha dan anak Wiji Thukul Fitri Nganti Wani bercerita tentang kisah hidup Wiji Thukul dan karya-karyanya yang relevan hingga saat ini.


“Bapak tidak mati, tapi ia menjadi korban zaman” ujar Fitri ketika ditanya tentang bapaknya oleh moderator Krishna Pabichara. “Wiji Thukul menuntaskan dahaganya lewat puisi-puisinya yang menyuarakan perlawanan. Hal tersebut karena ia mengalami penindasan, kemiskinan dan keputusasaan, maka dari situ baris-baris yang lahir memiliki makna yang begitu mendalam. Coba saja yang mengatakan hanya ada satu kata: LAWAN! itu adalah Farhat Abbas, maka akan tidak menjadi apa-apa. Karena dalam baris tersebut tidak mengalami penindasan dan tidak memiliki spirit hidup yang penuh perjuangan seperti Wiji Thukul,” seloroh Joko Pinurbo.


Ketika sebagian orang menilai Wiji Thukul sebagai ‘penyair rakyat’ ia justru menyatakan dirinya menulis puisi sama sekali bukan untuk membela rakyat. Ia menulis puisi karena percaya puisi adalah media yang mampu menyampaikan permasalahan orang kecil, dan orang kecil itu bukanlah siapa-siapa melainkan dirinya sendiri.


Sementara Mumu mengkritisi, bagaimana buku Wiji Thukul saat ini bisa dihargai sangat mahal, namun puisinya sendiri cukup jarang diperbincangkan. “Dalam jagad kepenyairan Indonesia, mungkin Wiji Thukul lebih dikenal sebagai aktivis politik bukan sebagai penyair. Kalau mengikuti jual beli buku di internet, buku-buku Wiji Thukul itu dijual mahal dan menjadi rebutan orang-orang. Entah karena apresiasi atau karena buku itu sebagai komoditi yang langka. Sementara, pembicaraan untuk puisinya kita jarang mendengar,” ungkap Mumu Aloha.


Wiji Thukul menolak disebut penyair protes. Wiji Thukul adalah penyair yang menyadari proses. Bagi Wiji Thukul, menulis puisi persoalannya adalah selalu kembali ke persoalan diri sendiri. Tapi, yang disebut sebagai “persoalan diri sendiri” itu pada kenyataannya tidak pernah bisa lepas dari lingkungan. Namun, apapun yang hendak disampaikan Wiji Thukul lewat puisinya, pada dasarnya potret yang dihadirkan adalah kemiskinan, kekalahan dan ketertindasan, dan pada titik tertentu kadang muncul keputusasaan, yang disebabkan oleh ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penguasa (dalam hal ini Orde Baru). Seni bagi Wiji Thukul mungkin adalah seni yang terlibat, menyatu dalam dinamika masyarakatnya, bukan hasil imajinasi belaka.


ASEAN Literary Festival juga memberikan uang senilai 50 juta rupiah untuk penerima penghargaan ASEAN Literary Award yakni penyair Wiji Thukul. “Sudah saatnya diberikan penghargaan yang selayaknya, reformasi 1998 itu kita berutang besar pada Wiji Thukul,” kata Direktur ASEAN Literary Festival 2014 Abdul Khalik pada pembukaan acara itu di Jakarta, Jumat malam (21/03/2014).


Fitri sangat mengapresiasi penghargaan yang diberikan kepada ayahnya ini. “Terima kasih atas penghargaan yang diberikan kepada bapak saya, ini mengejutkan. Bapak saya adalah orang benar yang dihilangkan negara. Penghargaan ini kami pakai sebagai motivasi melawan lupa, menyuarakan apa yang diyakini benar”. Semoga semangat itu akan selalu diusung, semangat untuk menggelorakan pemikiran kritis, perlawanan, dan perjuangan untuk kemanusiaan.


Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan

Di sana bersemayam kemerdekaan


AlineaTV, 2014

https://alinea.tv/asean-literary-festival-2014-karya-dan-kisah-wiji-thukul/

18 Jul 2020 12:36
159
Jalan Wadassari 2, Pondok Betung, Kota Tangerang Selatan, Banten, Indonesia
1 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: