gelombang pasai dan internet menyeretku ke akunmu, mbak tara, pada kolase foto yang digulirkan ibu jari. ada mbak salma (ajari aku hidup happy tanpa perlu mengganti nama, mbak!) dan cerpenis makassar pada daftar pengikut dan aku tetap nyasar ke cuplikan promosi gundala, baju dan sepatu, warna langit yang membingkai sesimpul senyum, kuku-kuku hijau daun, beberapa poster digital dimana kau awal dikenal. kemudian vakansi, sepiring mie, dan sumpit yang kau angkat sambil menari, membuatku sedikit mengerti bagaimana sebaiknya hari-hari dihabiskan. sebab aku sedang capek, mbak tara, kaki dan tanganku pegal membangun panggung dengan cerita-cerita tentang ibu, tentang ayah, tentang seekor burung lepas dari sangkar yang lesap terisap bebas udara. aku kepingin bersantai sebentar dengan menyeduh teh kantung melati setelah mandi sambil menyesap rokok favorit kakek (duh, jadi kangen!) dan mendengarkan diri sendiri. instagram, kamu mati dulu, ya.
aku ingin jadi telinga bagi diri sendiri.
pwt, 2019