Gratis = Seribu, Seribu = Gratis
Cerpen
Kutipan Cerpen Gratis = Seribu, Seribu = Gratis
Karya hafizhotunnisa
Baca selengkapnya di Penakota.id
“Gratis sama dengan seribu, seribu sama dengan gratis. Harga Kak Windy berapa?”

Selepas magrib, tepat di depan panggung Fakultas Ekonomi. Fizah, mahasiswa baru yang belum lama bergabung dengan komunitas teater di kampusnya, yakni Teater Zat. Saat itu, ia masih pendiam. Wajar apabila ketiga orang yang duduk bersila di hadapannya seketika terkejut sesaat ia tiba-tiba melontarkan perkataan barusan.

“Kok gua diharga-hargain sih?” protes Kak Windy yang tak lain merupakan ketua teater tersebut.

Fizah menahan senyum. “Salah! Jawabannya itu seribu!” pekiknya bersemangat.

Kak Windy melongo. “Dih, parah. Masa gua cuma dihargain seribu?” katanya tak terima.

Lalu di sisi lain, Kak Lanny, yang berada tepat di samping kiri Kak Windy, akhirnya melayangkan tatapan penuh selidik ke arah Fizah. Persis seperti orang yang tengah memikirkan sesuatu.

“Coba deh ulangi,” titah Kak Lanny tanpa bisa menyembunyikan nada penasaran.

Sekali lagi, Fizah menahan senyum. “Gratis sama dengan seribu, seribu sama dengan gratis. Harga Kak Zaki berapa?”

Orang yang tersebut namanya seketika mengerjap. Ya, kala itu Kak Zaki memang sedang duduk tepat di samping kiri Fizah. Laki-laki itu termenung, mencoba menerka-nerka berapa sekiranya harga yang pantas untuk dirinya sendiri.

“Err... seribu juga?” tebak Kak Lanny kemudian.

“Salah!” tuding Fizah. “Jawabannya dua ribu!”

Ketiga orang itu pun serentak terdiam.

“Mampus lo, Zak. Cuma dihargain dua ribu,” ledek Kak Windy seraya memukul ringan lengan laki-laki itu.

“Mending juga gue, daripada elu cuma seribuan,” balas Kak Zaki sangat menohok.

Selanjutnya, atensi orang-orang di sana kembali tertuju kepada si adik tingkat berkacamata. Kak Lanny, yang tampaknya semakin penasaran dengan trik di balik teka-teki yang diberikan Fizah itu, lagi-lagi meminta pertanyaan yang lain.

Fizah menarik napas. “Gratis sama dengan seribu, seribu sama dengan gratis. Harga...” Perempuan itu melirik sekilas ke sekitar, mencari-cari objek yang dapat ia jadikan korban selanjutnya. “... Kak Pipit berapa?” lanjut Fizah begitu tak sengaja mendapati kakak tingkat lainnya yang tengah bersandar pada pohon besar yang berada tak jauh dari posisi mereka saat itu.

“Dua ribu?” jawab Kak Windy tak yakin.

Fizah menggelengkan kepala.

“Terus berapa?”

“Seribu.”

“Kok seribu sih?” celetuk Kak Lanny heran. “Coba sekali lagi, sekali lagi.”

Susah payah, Fizah menahan tawa. Ah, menyaksikan air muka kebingungan dari ketiga kakak tingkatnya itu seratus persen sukses membuatnya ingin tergelak penuh kemenangan. Untung saja, saat itu posisi Fizah adalah adik tingkat yang belum berani melakukan tindakan junioritas. Alhasil, ia masih dapat mengontrol diri agar tidak memasang ekspresi kepuasan atas rasa heran para kakak tingkatnya.

Sabar, Zah. Jangan ketawa, ja-ngan ke-ta-wa, batin perempuan berkacamata itu berusaha menenangkan diri.

“Gratis sama dengan seribu, seribu sama dengan gratis. Harga si Robby berapa?”

Serempak, pandangan Kak Windy, Kak Lanny, dan Kak Zaki tertuju lurus mengikuti ibu jari Fizah yang mengarah kepada seseorang yang tengah mengobrol sekitar tiga langkah di samping kanan Fizah. Sementara itu, Robby yang sepertinya merasa risih telah menjadi objek tatap-menatap, akhirnya menoleh kemudian bertanya, “Apa?”

“Harga lu berapaan, Rob?” tanya Kak Windy enteng.

Robby mengernyit. “Hah? Maksudnya? Saya mana bisa dikasih harga-hargaan.”

“Betul sekali!” Celetukan Fizah yang terlalu tiba-tiba barusan benar-benar sukses membuat orang-orang yang berada di sana terlonjak, kompak mengarahkan pandangannya kembali kepada perempuan berkacamata tersebut. “Robby itu emang gratis. Dia nggak dikasih harga!” lanjutnya sembari memamerkan deretan gigi atasnya yang tersusun rapi.

Berbeda dengan sebelum-sebelumnya, kali ini ada reaksi lain dari salah seorang ketiga kakak tingkat di hadapan Fizah. Perempuan itu menengok ke samping kiri, mendapati perubahan raut wajah Kak Zaki yang tampaknya telah mendapatkan pencerahan.

“Kayaknya gue udah mulai paham deh.”

Ah, ternyata benar. Kak Zaki sudah menemukan rahasia di balik teka-teki tersebut.

“Zah, coba sekali lagi, tapi harganya harus di atas dua ribu,” pinta laki-laki itu kemudian.

Fizah terdiam, melayangkan pandangan sejauh yang ia bisa, berusaha mencari objek lain yang sesuai dengan permintaan Kak Zaki barusan. Lalu ketika matanya berhenti pada serentetan kalimat pada bangunan yang terletak di sisi kirinya, Fizah pun kembali membuka suara:

“Gratis sama dengan seribu, seribu sama dengan gratis. Harga Panggung Fakultas Ekonomi berapa?”

Tak langsung menjawab, Kak Zaki tertegun sejenak. Netranya fokus mengamati kalimat yang dimaksud oleh Fizah barusan, jemarinya tanpa sadar mulai menghitung sesuatu. Lalu tak sampai tiga puluh detik, laki-laki itu kemudian menjawab, “Tiga ribu, ya?”

Fizah terperangah lalu tertawa kecil. “Yaahh, udah ngerti nih kayaknya Kak Zaki.” Perempuan itu mendengus lesu. “Iya, bener. Jawabannya emang tiga ribu.”

“HAHA!” Tak kuasa menahan rasa kemenangan atas dirinya sendiri, laki-laki itu kembali meminta pertanyaan lain kepada Fizah. Mungkin untuk memastikan apakah spekulasinya itu benar atau tidak. “Ayo, Zah. Kasih gue pertanyaan lagi.”

Sedikit kesal karena ada yang sudah berhasil memecahkan misteri darinya, Fizah berdecak pelan. Namun, perempuan itu tetap kembali melontarkan pertanyaan tambahan, “Gratis sama dengan seribu, seribu sama dengan gratis. Harga saya berapa?” tanyanya seraya melirik singkat figur Kak Zaki.

Tanpa pikir panjang, ditemani rasa percaya diri yang sangat tinggi, Kak Zaki pun menjawab, “Dua ribu, ‘kan?”

Dengan berat hati, Fizah mengangguk.

Yang tentu saja berhasil membuat laki-laki itu kembali tergelak puas. “Beneran ngerti gue sekarang! Parah nih, cuma gitu doang triknya ternyata.”

“Gimana emang, Zak?” timbrung Kak Windy setelah lama bungkam.

Belum sempat Kak Zaki menjawab pertanyaan sang ketua teater, Fizah buru-buru melakukan interupsi. “Jangan dikasih tau, Kak!”

Laki-laki itu mengerjap.

“Kasih tau aja, Zak,” bujuk Kak Lanny.

Bagusnya, dibanding menjawab pertanyaan Kak Windy serta memenuhi permohonan Kak Lanny, Kak Zaki lebih memilih menarik sebelah sudut bibirnya sedikit, membentuk senyum miring. “Merasa terhina gue dibodoh-bodohi sama junior. Ternyata triknya sesederhana itu. Ngerti beneran gue sekarang,” tuturnya mendengus gusar.

Mati-matian, Fizah menahan gelak tawa yang ingin segera dilepaskan.

“Harga Lanny seribu, si Mbul itu gratis, si Topan seribu, si Tenggut juga gratis, Bang Darma tiga ribu, Bang Fajrin dua ribu, dan lu Windy...” Kak Zaki mengambil jeda. “... harga elu itu gratis.”

“Kok gua gratis?” Kernyitan samar terlihat menghiasi jidat lebar Kak Windy. “Tadi bukannya seribuan?” katanya tak mengerti.

“Karena si Fizah yang ngomong, makanya seribu.” Kekehan pelan lolos dari pita suara si laki-laki. “Kalau gue yang ngomong, berarti lu gratis.”

“Gini deh, Kak. Aku kasih petunjuk.” Fizah yang tak lain adalah pelaku dari segala kebingungan di malam itu kembali ikut mengangkat suara. “Intinya sih, harga Kak Windy itu seribu, tapi harga Windy itu gratis.”

Benar-benar gagal paham atas pernyataan Kak Zaki juga Fizah, kerutan di kening mulus Kak Windy pun tercetak semakin dalam.

“Kok bisa gitu?”

“Karena gratis sama dengan seribu, Win.”

“Dan seribu sama dengan gratis, Kak.”

Lalu ketua teater itu pun dibuat kian pusing karenanya, Kak Lanny yang sedari tadi diam hanya terbengong-bengong, seperti ingin menjawab, tetapi kembali ia tahan. Sementara Fizah dan Kak Zaki tertawa puas bersama-sama.

.

.

.

“Gratis sama dengan seribu, seribu sama dengan gratis. Harga Penakota berapa?”

“Dua ribu!”

.

.

.


***

A/N: Teka-teki laknat itu saya dapat dari antah berantah. Saya juga awalnya nggak ngerti sama sekali, tapi pas udah diperhatiin baik-baik, ternyata triknya “sesederhana” itu. Ada yang udah paham?

Kalau ada yang udah ngerti, jangan kasih tau yang lain, biarkan aja temen-temen kalian penasaran.

Melihat kesengsaraan teman (dalam hal candaan) adalah sebuah hiburan tersendiri, bukan?

Mending juga kalian coba jawab ini:

“Gratis sama dengan seribu, seribu sama dengan gratis. Harga rasa sayang aku sama kamu berapa?”
24 Mar 2018 08:43
6.4K
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: