Gemrintik hujan seketika mulai membasahi jalanan suhat malang. Terlihat dua gadis yang tengah berlari sambil menenteng tas mencari tempat teduh di pinggiran jalan. Siang ini begitu mendung namun kalau pagi cuaca begitu cerah sempat seketika mata mereka melihat penjual paying berjalan menghampiri kedua gadis tersebut.

“Mau payung ning murah cuman dua puluh ribu saja”

Alona kemudian merogoh dompet berharap masih ada sisa uang pecahan kembalian sehabis ia membeli beberapa buku novel di toko.

“Sudah pakai payung ku saja kita buat berdua, sepertinya hujan masih lama untuk reda”

Dengan wajah yang merasa sungkan Abidah pun kemudian tak jadi untuk membuka dompetnya lebih dulu, Alona merupakan sahabat baiknya di kampus meskipun berbeda agama tak sungkan-sungkan ketika saat itu Abidah tak memiliki uang Alona selalu hadir meminjaminya, bahkan ketika Abidah mengikuti kontestasi pemilihan DPM kampus ia memborong semua teman-temannya untuk memilih Abidah, meski dengan cara apapun untuk merebut hati mereka yang apatis terhadap kondisi kampus. Memang rezeki tidak bisa berubah walaupun akhirnya Abidah tak lolos, Alona selalu hadir untuk menghiburnya.Terlihat persahabatan yang begitu akrab tak membuat mereka ragu menganggap seolah diri mereka adalah seperti saudara sekandung yang selalu bersama-sama berbagi nasib dan cobaan hidup.

Ketika kampus tak lagi ramai saat mahasiswa menikmati hari liburnya . Abidah harus pergi pada pagi hari setelah subuh entah apa yang ia lakukan. Ketika itu Alona mengetahuinya bahkan selama sebulan ini Abidah selalu keluar dari indekost setiap pagi di hari minggu. Meskipun Abidah tak ingin memberitahukan kemana ia akan pergi dan kecurigaan Alona hanya dibalasnya dengan wajah dingin. Saat itu pula Alona harus pergi ke gereja untuk sembahyang dan tak jauh dari idekostnya bersama Abidah

“Siapkan bahan peledak dan kau Abidah kalau bisa coba kau susup sampai ke dalam gereja itu, jangan sampai orang lain bahkan satpam mengetahui kami berjaga-jaga diluar untuk mengawasimu”

Siang hari itu Abidah berusaha mengendap-ngendap masuk tanpa diketahui. Satpam itupun tak ada di tempat kebetulan ia menyusur masuk melalui loron pintu yang sepi. Kemudian terdengar suara letupan tembakan dimana-mana. Orang-orang gereja dan pendeta berhamburan mencari tempar perlindungan satu persatu orang pun tewas karena insiden penembakan tersebut dan disusul suara letupan bom yang meledak menghancurkan kaca-kaca yang pecah, menyisakan beberapa alkitab yang tak berbentuk dan beberapa mayat yang tergeletak tanpa dosa.

Dengan pistol yang dibawanya Abidah terus menembaki orang-orang yang tersisa sebelum ia meledakan dirinya dengan bom yang dibawanya tanpa sadar ia melihat sahabatnya Alona yang tewas bersimpuh darah. Ada rasa senang bercampur kecewa antara keyakinan dan perasaan bersalah dalam diri abidah ia tak menyangka bawa gereja yang ia sasar terdapat sahabat yang ia cintai. Dengan tangisan yang mendalam Abidah mulai sadar dan mengutuk tindakannya

“Apakah ini perintahmu tuhan? Atau perbuatan orang-orang yang berbohong atas namamu”

Ada rasa kekosongan pada diri abidah atas tindakannya yang percuma dihadapan tuhan, ia sekarang tak lagi memikirkan mengenai surga dan selogan jihat dalam hatinya ia merasa hidup ini adalah suatu hal yang sia-sia. Kemudian ia melihat pistol yang di genggamnya sementara itu diluar polisi dan beberapa aparat TNI tengah memasuki gereja. Pistol yang ia genggam ia arahkan ke kepalanya dan terdengar letupan suara tembakan yang terakhir saat kemudian ia terkapar tewas mengenaskan dalam keadaan mata yang melotot kearah mayat sahabatnya