oranment
play icon
Binatang dalam Sastra. M.A. Haris Firismanda, Dkk
Kutipan Resensi Binatang dalam Sastra. M.A. Haris Firismanda, Dkk
Karya harisfirismandalcom
Baca selengkapnya di Penakota.id

Dari masa awal sejarah peradaban manusia hingga masa sekarang, manusia melihat binatang sebagai ‘makhluk alam’ yang hidup dan berkembang dilingkungan sekitar mereka. sejak zaman Paleolitikum, melalui lukisan-lukisan guanya, sampai pada masa pascamodern binatang, binatang piaraan cyber, manusia melihat binatang tidak lebih dari sekedar ‘makhluk alam’ atau ‘makhluk biologis’. Binatang sebagai makhluk biologis, mudahnya adalah binatang liar yang diperlakukan dalam hal esensial dan literal. Ironisnya, binatang ini adalah subyek anatomi dan fisiologi, bahkan peta genetiknya telah menjadi penanda biologis yang utama. Binatang biologis, oleh karena itu diimajinasikan secara literal, material, fungsional, atau mekanikal dan kemudian secara reduktif, tetapi dapat juga dipahami secara estetik (Bleakley dalam Sukmawan, 20016:206). Karena kehadirannya yang demikian ‘dekat’ dengan kehidupan manusia, selain memberikan manfaat secara ekonomis, binatang juga banyak memberikan warna dan nuansa dalam budaya manusia.

Salah satu aspek penting dalam pembentukan budaya manusia adalah bahasa. Pada aspek ini, binatang secara tradisional telah mengisi lanskap bahasa manusia. Ungkapan ‘tubuhmu sekuat macan’, ‘dasar keong racun’, ‘lelaki buaya darat’, ‘politisi selicin belut’ dan lain-lain, merupakan bukti bahwa binatang telah sedemikian rupa berkembang dalam fantasi manusia dan membentuk metafora manusia.

Dalam contoh tekstual diatas, binatang berada dalam angan-angan manusia, mereka tidak mempunyai jasad yang nyata tetapi lebih seperti roh. Binatang dalam contoh ungkapan diatas juga membawa sebuah ide, yaitu jasadnya yang terhubung ke dalam asosiasi pikiran pembaca adalah sebagai kehadiran yang menganimasi dan dianimasikan. Dalam contoh-contoh di atas, tekstual sendiri dianimasikan karena animasi ada di dalam tulisan, dan pembaca diundang sebagai partisipan dalam penganimasian melalui respon emosi (Bleakley dalam Sukmawan, 2016:206).

Tegasnya, bahwa kehadiran binatang dalam bahasa (sastra) telah melampaui pemahaman literal yang dikenal selama ini, yakni hadir sebagai ‘makhluk alam’ atau ‘makhluk biologis’. Binatang dapat hadir beragam, baik secara konseptual maupun psikologis. Dengan adanya variasi kehadiran binatang secara konseptual dan psikologi, bahasa imajinasi dalam budaya akan menjadi sangat kaya.



1.1     Kehadiran Binatang Sebagai ‘Makhluk Biologis’

Tingginya kepercayaan manusia pada dunia pengetahuan dan bangkitnya humanisme telah menghancurkan rasa ketertarikan manusia terhadap keindahan binatang dalam habitatnya. Manusia lebih tertarik pada keinginannya untuk mengklasifikasikan binatang dan mempelajarinya (anatomi dan fisiologi) dan akhirnya memetakan genetiknya dalam ilmu zoologi daripada keseluruhan kehidupan dan kualitasnya. Binatang biologis adalah subjek anatomi dan fisiologi. Fungsi ini adalah untuk pemetaan genetic sebagai penanda biologisnya (Bleakley dalam Sukmawan, 2016:207). Karena kehadirannya secara fisik berada dilingkungan yang berpusat pada manusia (antroposentris), binatang jenis ini biasanya sering mendapatkan perlakuan secara tidak adil (animal wrongs). Meskipun manusia sering memperlakukan secara tidak adil, binatang biologis selalu berkorban untuk manusia. Akan tetapi, ada binatang-binatang yang menolak berkorban dan tidak mau kooperatif dengan manusia. Mereka adalah binatang yang mengganggu diam-diam di sekitar manusia. Menariknya, mereka mengganggu manusia tanpa kenal lelah, misalnya, tikus, kecoa, dan ular. Manusia melihat mereka sebagai hewan berbahaya atau ‘hama’. Mereka sepenuhnya other, makhluk lain yang tidak diinginkan kehadirannya (Bleakley dalam Sukmawan, 2016:207).

Dalam perkembangan zaman, binatang biologis mengalami perkembangan sekaligus peluasan makna. Menurut Giegerich (Bleakley dalam Sukmawan, 2016:208), makna kini (mutakhir) binatang adalah (i) punah; (ii) spesies langka. (iii) atraksi turis dalam kebun binatang atau reservasi alam; (iv) binatang peliharaan; (v) mesin produksi susu dan daging dalam industry peternakan; (vi) kelinci-kelinci percobaan bagi eksperimen di laboratorium; (vii) organisme biologis dan evolusi; (viii) terbunuh di jalan-jalan karena tertabrak kendaraan; (ix) beradaptasi dengan lingkungan kota yang biasanya mengais-ngais tong sampah; (x) mengisi lemari pendingin dan rak-rak di pasar swalayan; (xi) menjadi hama; dan (xii) menjadi reality show di TV dalam program documenter alam liar.

Binatang biologis, dengan beragam jenis dan manfaatnya, dapat terlacak dalam berbagai mantra, misalnya dalam Mantra ‘Membajak Sawah’ tredapat penyebutan sapi abang, sapi putih, sapi ireng, sapi kuning ‘sapi merah, sapi putih, sapi hitam, sapi kuning’. Dalam ‘Mantra Membajak Sawah’, sapi diklasifikasikan berdasarkan warna kulit dan dideskripsikan manfaatnya sebagai binatang pekerja dan binatang peliharaan. Binatang biologis umumnya dimanfaatkan sebagai binatang pembawa beban, termasuk binatang pekerja, dan sebagai binatang peliharaan (Baudrillard dalam Sukmawan, 2016:208).

Rincian detail bagian-bagian alam biologis sebagaimana terungkap sebelumnya mengimplikasikan setidak-tidaknya dua hal. Pertama, secara ekologis hal ini menyiratkan kecermatan pengamat dan pemahaman masyarakat terhadap lingkungannya. Sebuah sikap yang terlahir dari keterlibatan yang terus menerus dan intensif dengan lingkungannya. Kedua, intensifikasi dan ekstensifikasi hubungan masyarakat dan lingkungan ini tentunya memiliki acuan atau landasan tertentu. Landasan atau acuan yang dimaksutkan adalah pandangan mitologi masyarakat (Jawa) tentang (i) keutuh paduan jagat alit dan gedhe, (ii) pembagian jagat utuh tersebut kedalam empat katagori ruang, watak, arah, dan warna, (iii) simbolisasi alam, misalnya burung melambangkan dunia atas yang menggambarkan elemen hidup berupa udara (angina) dan melambangkan watak luhur. Kadangkala, burung juga menjadi lambing nenek moyang yang telah meninggal atau sebagai kendaraan yang dipakai roh menuju pencipta-Nya. Penggunaan ragam hias burung pada kain dodot misalnya, melambangkan bahwa manusia pada akhirnya akan kembali ke sangka paran: Sang Pencipta



1.2    Kehadiran Binatang Sebagai ‘Makhluk Konseptual’

Di dalam sebuah tradisi ataupun kebudayaan masyarakat tentunya tidaklah lepas dari yang namanya kehadiran nama-nama mitologi termasuk penamaan dari binatang tertentu seperti Ular, Gajah, hingga penamaan hewan yang hidup di udara dan di laut. Penamaan hewan yang dianggap sebagai cerita oleh masyarakat tentunya tidak hadir dalam ketidaktahuan masyarakat terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di dalam sebuah cerita lisan, bahwa hewan atau binatang adalah mahluk konseptual yang mana dalam ilmu semiotik dihubungkannya sebagai suatu tanda dalam bahasa ataupun sebagai symbol dari suatu masyarakat yang memiliki tradisi atau kebudayaan tertentu (Sukmawan, 2016:210).

Seperti halnya penggambaran kehadiran burung gagak yang mana masyarakat menerimanya sebagai suatu pertanda mengenai kematian seseorang atau pertanda bahwa ada orang yang meninggal dunia dan segera untuk dikuburkan, selain itu juga bisa dimaknai mengenai suatu pertanda buruk seperti musibah kecelakaan atau kehadiran mahluk supranatural, burung gagak sendiri juga identik dengan burung pemakan bangkai, tentunya perlambangan ini yang dapat merangkai suatu konsep mengenai cerita dibalik penamaan binatang sendiri sebagai suatu cerita yang dianggap penting oleh masyarakat seperti yang dijelaskan oleh Sukmawan (2016:210) binatang pikiran bukanlah binatang esensial melainkan binatang kontruksi sosial kehadirannya tidak ditentukan oleh identitas binatang itu sendiri, tetapi bagaimana binatang dikonstruksikan oleh elemen-elemen dalam budaya manusia.

Selain itu nama binatang juga bisa di simbolisasikan sebagai mantra ataupun tradisi lisan masyarakat itu sendiri baik mantra untuk pengobatan ataupun jenis mantra untuk sesaji yang dipersembahkan oleh mahluk supranatural tentunya penggunaan metafora dalam penamaan sebuah mahluk tidak hanya binatang saja melainkan alam yang turut mewakili itu semua yang mana alam tersebut dihubungkannya dalam suatu tindakan yang merepresentasikan kehadiran atau tindakan manusia yang mana dipahami oleh setiap manusia yang lain adalah sesuatu masuk akal dan dipahami secara harfiah. Durkheim (Sukmawan, 2016:211) contoh halnya seperti halnya legenda danau Toba yang mana asal usul ini di simbolkan kepada sosok manusia yang mengingkari janji yang telah disepakati ataupun orang yang mengenakan baju merah ditengah hutan dimaknai sebagai amarah, memancing hewan buas atau pun mahluk yang lainnya sehingga dapat disimpulkan alam pun turut menolaknya dapat diartikan ketika kehadiran alam yang menolak manusia, dapat di representasikan bahwa penyebab asal kejadian itu adalah karena ulah manusia sendiri.

Dalam pandangan agama pun masyarakat menjadikan kekuatan alam sebagai bagian dari kesatuan dari hidup mereka mengenai cara berpikir dan memahami mengenai situasi yang terjadi terhadap alam tersebut, Durkheim (Sukmawan, 2016:212).

Contoh Kehadiran Binatang Sebagai ‘Makhluk Konseptual’

Orangutan

oleh: Junizal Deanil

Orangutan, oh Orangutan

Wajahmu memancarkan kelembutan

Tinggalmu dibelantara hutan

Yang alami… hijau menawan

Orangutan…

Engkau binatang yang lembut

Matamu memancarkan kehangatan

Bagai kemilau sinar matahari pagi

Di sejuknya padang rumput musim semi

Orangutan…

Kini engkau terancam punah

Hutan tempat tinggalmu dibabat sudah

Dijadikan pemukiman

Dan industri lainnya

Demi keserakahan kami, para manusia

Yang tidak memperdulikan lingkungan sekitar

Yang membuat engkau terancam…

Lalu…dimanakah engkau akan tinggal?

Orangutan…

Andai saja kami bisa lebih bijaksana

Dalam mengelola bumi tercinta

Dan tidak menggunakan kerakusan semata

Engkau pasti akan bisa berkembangbiak

Dan hidup di habitat yang layak

Bersama flora fauna yang lainnya

Sehingga keseimbangan ekosistem tetap terjaga



1.3   Kehadiran Binatang Sebagai ‘Makhluk Psikologis’

Binatang psikologis adalah binatang yang dialami sebagai imajinasi manusia. Binatang ini bukan nyata dalam istilah biologis dan abstrak dalam hal kognitif, tetapi berada diantara dunia fisik dan non-fisik. Dalam masyarakat tradisional, binatang tersebut berupa roh penolong atau roh pelindung yang diharapkan, tidak menakutkan (Bleakley dalam Sukmawan, 2016:212-213).

Kehadiran binatang dapat ditemukan dalam tradisi lisan yang muncul ditengah-tengah ritual masyarakat setempat. Wujud binatang tersebut juga berbagai macam wujud, seperti roh pelindung/penyelamat/pengayom maupun perwujudan sebagai roh yang menakutkan.

Dalam mantra “tandur tanam” disebut Dhadung Awuk sebagai roh penguasa/raja segala binatang yang membawa keberadaan binatang imajiner lainnya dengan sebutan Mbok Sri Susupan dan Mbok Sri Dhodhotan karena keberadaan yang mengancam dan menakutkan. Pada saat akan bercocok tanam, masyarakat akan meminta tolong kepada roh Sang Asri untuk menjaga tanaman mereka dari Dhadhung Awuk .

Masyarakat setempat juga meminta tolong perlindungan kepada ‘Penguasa Ladang’, yakni Kaki Bumi Nini Bumi, agar segala hama tidak mengancam tanaman mereka. Biasanya hal tersebut dilakukan pada saat memulai tradisi Mbubak yakni tradisi membuka ladang. Hal tersebut dijadikan sebagai pemberitahuan kepada bumi akan dibukanya ladang tersebut.

Selain menjadi hama perusak tanaman Dhadhung Awuk juga menjadi penyakit binatang ternak. Dhadhung Awuk juga dianggap menjadi roh yang patut dihindari karena menjadi penimpa bala. Dalam mantra penyembuh lembu juga ditemui bahwa Dhadhung Awuh  menjadi penyebab sakit binatang ternak.

Dalam pewayangan Ciptaning karya Mangkunegara VII, dikisahkan bahwa Dhadhung Awuk atau Sang Hyang Slewah menyimbolkan sisi baik dan sisi jahat dalam dirinya adalah penggembala kerbau Andanu milik Betara Guru. Kerbau dianggap sebagai pancal panggung yang berarti penolak bala, mengusir hama serta untuk pengobatan. Dikabupaten Batang Dhadhung Awuk  dikenal sebagai raja makhluk halus. Dalam Legenda Batang, raja ini dikalahkan oleh Ki Ageng Baureksa. Selanjutnya pada cerita Babat Demak, Dhadhung Awuk seorang preman yang ditakuti masyarakat dan prajurit kesultanan Demak. Dalam ketiga cerita diatas Dhadhung Awuh memiliki peran yang berkarakter jahat atau antagonis, meski dalam Ciptaning dikisahkan memiliki dua sisi yakni baik dan buruk.

Pada pemahaman masyarakat Jawa, kehadiran sosok psikologis hewan dalam Dhadhung Awuk terilhami kisah pewayangan. Selain sesuai dengan padangan mitologis masyarakat, secara umum penamaan situs suci dan legenda berdasarkan pewayangan. Dengan demikian kehadiran Dhadhung Awuk secara psikologis dapat menjaga dan menyelamatkan masyarakat dari bencana.

Selain Dhadhung Awuk, dalam masyarakat Lereng Arjuna terdapat psikologis hewan yang sangat kental, misalkan Singa Buntut dan Singa Siung.ungkapan ini didasari oleh tembang pangkur Warawedha yang merupakan bentuk pitutur atau nasehat yang dapat menyejukkan dan membersihkan jiwa. Berikut adalah kutipan nya :

Singgah-singgah kala singgah, pan sumingah kala-durga sumingkir,singa ama singa wulu, sing suku singa sirah,singa tenggak klawan kala singa buntut, pada singa sumingkira,muliha asal-ireki.

‘Menyingkir dan menjauhlah kala-durga. Singa ama, singa bulu, singa kepala,singa ekor kembalilah ke asalmu’

           Penggalan tembang diatas menjelaskan bahwa kala (rintangan/halangan) disebabkan oleh kekuatan jahat. Kekuatan jahat disebut singa ama, singa wulu diminta untuk menyingkir dan tidak menghalangi jalan hidup manusia. Singa selain melambangkan kala, juga melambangkan nafsu binatang : keganasan, keberingasan.

           Sifat imajinasi dan hubungan dengan kebudayaan manusia menyebabkan binatang-binatang psikologis tidak stabil dalam ikatan ruang dan waktu. Imajinasi binatangterdapat pada diri manusia berada dirumahnya yaitu ‘imajinasi manusia’ dan konstruksi mental manusia. Dengan demikian mereka tidak dapat ditebak dalam penampakannya dan menjadi tamu ta diundang ketika mereka hadir dalam imajinasi yang menakutkan. Hal tersebut yang menjadikan manusia lebih bersyukur (Breakley dalam Sukmawan, 2016:216)






SUMBER : Deanil,Junizal. Puisi dan Kisah.[Online].Tersedia: https://www.wattpad.com/328383521-puisi-dan-kisah-orangutan


Sukmawan, Sony. 2016. “Ekokritik Sastra: Menanggap Sasmita Arcadia”. Malang:

UB Press










calendar
25 Jun 2020 11:01
view
158
wisataliterasi
Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Indonesia
idle liked
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
close
instagram
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
close
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh:
example ig