oranment
play icon
Windradi
Cerpen
karya @hasani
Kutipan Cerpen Windradi
Karya hasani
Baca selengkapnya di Penakota.id

Perlahan senyum dan garis cahaya di wajahnya memudar, suaranya semakin bergetar. Di ujung ranjang, bahuku berguncang.


Aku mencintaimu dengan beku, dengan api yang memburu, dengan segala hal yang ku jamin kamu aman bersamaku. Namun apa? Ah, aku menyakitimu. Aku menggoresmu. Jiwa yang rentan. Jiwa yang rapuh, bahu yang tidak bisa aku sandari lagi.


Aku menatapmu dengan nanar, bertanya dan mencari apakah masih ada cahaya sedikit di jiwa itu, nihil. Nyatanya nihil. Benturan berkali-kali yang kau derita, membuatmu hancur rupanya. Apa ini kutukan? Kutukan karena aku menebar sakit dimana-mana bak menyebar jala untuk menjaring ikan di lautan?


Kau mengeluh dalam lenguhan panjang, kepalamu penuh dengan segala macam. Jangan…. Jangan tengadahkan wajah dan menunjukkan rupa penuh sakit seluruh tubuh. Jangan, ku mohon. Aku memang menjadi lukamu, setidaknya berikan aku kesempatan untuk membasuh dan menjadi penyembuh.


‘tapi kau sudah asing bagiku’


Asing?


‘aku menyayangimu dengan seluruh, kau memporak-porandakannya dengan luluh. Aku luluh sebelum dan sesudahnya’


Lantas?


‘aku hendak pergi, namun aku masih waras untuk tidak menambah beban lagi. Biarlah kamu menjadi asing. Aku tidak tahu bagaimana rupamu.’


Ya… aku penuh dosa. Aku melapisi diri dengan topeng berukir rumit. Salahku meragu pada satu tubuh, sesuatu hal yang sama sekali tidak perlu. Aku kembali terantuk dan terbentur, bukan… kali ini bukan rumah yang memanggil. Ini gubuk pengasingan dimana aku sendiri terasing dan tersesat pada jalanku.


Tiada jalan, katamu


Ada jalan, kataku


Ilusi, katamu. ‘kamu selalu menyuguhkan ilusi padaku. Kamu hanya jiwa-jiwa semu yang berbakat memberi perih dan luka berkali-kali.’

Aku diam, di saat seperti ini, aku ingin menjelma Windradi. Istri yang dikutuk suaminya jadi arca di perbatasan alengka.

Kutuk aku saja, menjadi batu, menjadi asu. Kutuk aku saja, menjadi Windradi, menjadi kera putih, menjadi raksasi. Kutuk aku saja….


‘sekali-kali tidak, hadapi saja. Hidup adalah jalan rumit melebihi gelapnya kematian’


Dikau benar, lelahnya hidup hanya ditanggung orang-orang yang kuat. Sementara menghadapi mati, adalah bagi orang-orang yang berani.


Dimana aku? Aku bukan orang kuat, bukan pula termasuk pemberani.


Aku hanyalah pengecut yang bersembunyi dari sepi


Pencuri yang harus terus berlari


Aku… adalah wasu yang ragu hingga menjadi panah buta di ladang Kuru yang bisu.


Aku mengoyakmu, sekali lagi, namun menghujam kejam.


Aku mengoyakmu, perlahan dengan menumpuk lembaran yang kian memberat, kian susah, kian mempat. Aku kembali mengoyakmu, dengan unsur kesengajaan supaya kamu tidak kemana-mana namun kamu malah terhisap. Semakin dalam, semakin runyam, semakin padam.


‘kamu sosok asing. Tetap asing’


Aku semakin tenggelam pada pusaran yang aku bikin sendiri. Kecil awalnya, namun besar pada akhirnya. Dia semakin menghisapmu, menelanmu. Seluruh rasa itu, seluruh raga itu, seluruh sinar itu. Kedalaman laut dalam yang tak terjamah seumur hidupmu, akhirnya kamu rasakan. Karenaku… ulahku… tulahku.


Apa yang harus ku lakukan demi memperbaiki semuanya?


Kamu bingung, menghela napas berulang kali.


Aku tahu, di kebingungan itu, kamu semakin muak dan ingin muntab. Beruntungnya, kamu tahan dengan alasan sungkan. Dalam kebingunganku, mencari jawaban, aku ingin lari ke Tuhan. Naif, memang. Tapi apa aku ada daya?


Entahlah… jawabku sendiri.


Aku asing, dan semakin terasing. Dalam pintu yang tak pernah benar-benar ku ketuk, suara-suara itu bergerombol hendak keluar, tersendat. Terpatah-patah. Rebah, tanpa makna. Aku memandangmu, sekali lagi. Menelusuri yang tersembunyi, dalam kejauhan penglihatan itu, aku menelusurimu lagi dan lagi. Dalam rupa lain yang entah bagaimana lagi.


‘aku hanya ingin tentram,’ katamu.


‘kita akan selamat’ bisikku, tidak benar-benar ku lontarkan sebab itu redam sia-sia. Aku redam, aku tahan, biar aku mati membawa harap-harap cemas.


Dalam berat nafasmu, dalam tetes tangisku yang sia-sia, dalam tatapan kita yang sama-sama nanar…. Aku memberat, aku membeku, dalam titik didihmu, dan segala yang kau anggap asing….


Aku, di ujung ranjang… terbaring, sendirian, menikmati dingin dengan belati yang perlahan mengiris, menggerogoti tulang, menggiris nadi.


‘tak boleh… tak boleh mati’ ujarmu, ujarku.


Hadapi. Sekali lagi. Meski tanpa apa-apa, sama seperti ketika kita lahir di bumi. Sebuah awal mula yang tidak menyimpan apa-apa. Dan begitulah kita, di sini. Di tempat yang asing, berpandangan dengan bayang yang asing. Tidak merasai apa-apa, tidak memeluk apa-apa. Kecuali hanya beling. Yang sama-sama kita peluk, dan kita tergiling.

calendar
25 Feb 2022 12:36
view
58
wisataliterasi
Bekasi, Jawa Barat, Indonesia
idle liked
1 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
close
instagram
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
close
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh:
example ig